Keprihatinan gereja terhadap keadaan dan masalah sosial direfleksikan dengan munculnya Ajaran Sosial Gereja
Oleh: Salome A. Adul
Mahasiswi semester VII STIPAS Santo Sirilus Ruteng
Perceraian bukanlah hal asing lagi didengar di Negara Indonesia. Saat ini, perceraian mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali umat katolik.
Dahulu banyak kasus perceraian yang ditutupi karena dianggap aib, di mana pasangan menikah karena sudah sama-sama matang dan siap, sehingga perceraian merupakan persoalan yang sangat besar terhadap gereja dan menimbulkan pencemaran nama baik keluarga.
Namun, sekarang ini perceraian bukan lagi sesuatu yang dianggap aib.
Ironisnya lagi, bagi mereka yang dikategorikan sebagai figur publik, kasus perceraian justru menjadi alat untuk mendongkrak popularitas.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik 2023, jumlah kasus perceraian di Indonesia melonjak lagi mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022.
Jelas angka ini meningkat 15% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus.
Perceraian dipandang sebagai upaya terakhir setelah semua upaya rekonsiliasi tidak membuahkan hasil.
Dalam perspektif Kristiani perceraian merupakan putusnya hubungan yang sudah disatukan dengan janji perkawinan dan pemberkatan, sehingga tidak dapat disatukan lagi.
Banyak alasan mengapa pasangan suami-istri berecerai. Umumnya yang sering terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan masalah ekonomi.
Sedangkan faktor lainnya seperti ketidaksesuaian harapan akan kulitas pasangan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang pasti mendambakan pasangannya memiliki kepribadian yang setia, bertanggung jawab, pekerja keras dan satu frekuensi.
Kecendrungan lain gagal dalam komunikasi, yang seringkali dianggap sepele. Sebab, tidak semua pasangan memiliki kemampuan masuk dalam relasi interpersonal sehingga mengakibatkan miskomunikasi, konflik dan kepercayaan lenyap.
Tantangan ini dapat diperburuk oleh gaya hidup yang sibuk, tanggung jawab yang bertentangan dan sikap apatis terhadap hubungan dan meninggalkan kebencian yang lebih besar.
Kecendrungan lain yaitu pernikahan dini yang membuat pasangan tidak memahami dan belum siap menghadapi berbagai kesulitan dalam kehidupan perkawinan.
Sehingga seringkali masalah ini menimbulkan kemerosotan moral perkawinan dan pada akhirnya memilih jalan sendiri atau bercerai.
Keputusan bercerai antara pasangan suami-istri akan berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup pasangan dan mentalitas anak.
Adapun masalah yang dialami pasangan yang bercerai yaitu mengalami pengalaman hidup yang tidak stabil bahkan depresi.
Lebih fatalnya lagi akan berpengaruh terhadap mentalitas dan emosional anak, di mana anak mengalami perasaan sedih, bingung, merasa kehilangan, takut dan marah.
Perilaku anak akan berubah apabila mereka sulit menemukan orang yang tepat untuk bercerita.
Akibatnya, prestasi anak menurun dan pada akhirnya merasa putus asa, stres bahkan seringkali berpandangan bahwa hidupnya sangat kelam dan tidak berarti.
Seruan Apostolik Familiaris Consortio
Pandangan gereja katolik terhadap hidup keluarga atau perkawinan terbentuk sejak awal.
Keprihatinan gereja terhadap keadaan keluarga direfleksikan dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang merupakan tanggapan gereja terhadap fenomena atau persoalan-perasoalan yang dihadapi oleh umat manusia dalam kancah nasional maupun internasional berupa imbauan, kritik, atau dukungan.
Familiaris Consortio dokumen berisi tanggapan Paus Yohanes Paulus II atas sinode para uskup sedunia di Roma tahun 1980 yang terdiri dari 4 bagian utama.
Kemudian, 86 artikel membahas posisi resmi Gereja Katolik Roma mengenai arti dan peran pernikahan dalam keluarga, menjabarkan tantangan -tantangan dalam merealisasikan tujuan mulia tersebut.
Ada sebagian pokok penting dari seruan Apostolik Familiaris Consortio berkaitan dengan perkawinan sebagai suatu panggilan dari Allah.
Pada bagian pertama, Paus Yohanes Paulus II menyoroti keluarga masa kini, yang hidup dalam budaya khas di tiap-tiap daerah.
Karena itu, ia menegaskan gereja wajib memahami situsi dan mendampingi keluarga tersebut. Keluarga merupakan sel terkecil gereja yang terlibat langsung dalam situasi dunia dan sekaligus harus menghayati rencana Allah bagi hidup mereka sebagai keluarga.
Pada bagian kedua, Paus menggambarkan panggilan suami-istri untuk cinta kasih, sama seperti “Allah adalah cinta kasih (1 Yoh 4:8) di dalam diri-Nya.
Ia menghayati misteri persatuan pribadi yang penuh kasih melalui Yesus Kristus kepada manusia.
Begitu pula pasangan suami-istri dipanggil Allah untuk mengikuti teladan cinta Kristus melalui pemberian diri yang total kepada Tuhan dan sesama.
Salah satunya seksualitas sebagai wujud penyerahan diri, baik menyangkut biologis maupun kenyataan pribadi yang paling inti.
Hanya dengan mengamalkan panggilan mendasar itulah pasangan suami-istri akan mencapai kebahagiaan yang diharapkan dalam perkawinan.
Ia kemudian membahas bahwa cinta kasih suami-istri menjadi gambaran dan lambang penyatuan Allah dan umatnya.
Hal ini dapat menerangkan bahwa dosa ataupun perceraian itu sendiri adalah ketidaksetiaan suami-istri kepada panggilan Allah.
Dalam penegasan lain, Paus menggambarkan perkawinan antara dua orang yang terbaptis sebagai simbol nyata perjanjian baru dan kekal antara Kristus dan gereja.
Sakramen keselamatan yang sifat sakramental menjadikan suami dan istri terikat satu daging secara mendalam dan tak terceraikan. Keduanya saling memiliki.
Pada bagian ini mengantar kita pada isi ayat kitab suci, di mana Tuhan Yesus membenci perceraian dan tidak menginginkan pengkianatan (Maelakhi 2:15-16).
Selanjutnya, Paus juga menyoroti bahwa anak dalam keluarga merupakan rencana Allah sebagai wujud cinta kasih. Begitu pula kebutuhannya merupakan sebuah mahkota perkawinan.
Kalimat ini bisa menegaskan bahwa perceraian yang berdampak pada anak merupakan keputusan yang tidak bertanggung jawab terhadap panggilan dan menghancurkan mahkota perkawinan.
Pada bagian ketiga, Paus mengajak untuk merefleksikan kembali panggilan keluarga. Pada awal mula penciptaan Allah yang sebagaimana setiap keluarga menemukan dalam dirinya suatu undangan yang tidak dapat diabaikan, dan mengkonkretkan martabat serta tanggung jawabnya karena keluarga seturut rencana Allah. Sebab itulah keluarga ditetapkan sebagai persekutuan mesra kehidupan cinta kasih.
Oleh karena itu, diharapkan mengemban misi untuk menjaga, mengungkapkan, serta menyalurkan kasih.
Refleksi ini mengingatkan kita, bahwa Allah membenci perceraian. Sebab hal itu tidak dalam rencana penciptaan Allah. Jika itu terjadi, karena kebabalan hati manusia.
Paus kembali memberikan pencerahan bahwa hanya dengan menghayati cinta kasih dapat mengantar suami -istri kepada persekutuan kian mendalam dan intensif.
Suami-istri itu bukan dua lagi melainkan satu daging. Hal ini merujuk kepada janji pernikahan antara pria dan wanita bahwa persekutuan suami dan istri itu tak terpisahkan.
Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam persekutuan melalui kesetiaan janji perkawinan, sehingga selalu menyerahkan diri timbal balik dan termasuk berkaitan keturunan.
Paus berharap kesatuan ini tak terceraikan. Seperti isi kitab suci, di mana pasangan suami-istri menjadi satu daging meninggalkan orangtuanya dan hidup bersama mengamalkan Yesus dengan Gereja-Nya. Begitupula suami -istri juga hendaknya selalu setia.
Lebih pentingnya lagi Paus mengajak untuk selalu berdoa. Sebab, doa merupakan bagian penting yang tidak boleh dilupakan bagi kita orang Kristiani. Doa merupakan intensif terkuat bagi keluarga untuk memikul dan mematuhi sepenuhnya tanggung jawab sebagai sel utama dan fundamental dalam hidupnya.
Pada bagian terakhir Paus menjabarkan karya-karya nyata gereja dalam menjawabi kebutuhan keluarga seperti pendampingan dan juga pastoral bagi keluarga.
Harapannya, melalui seruan Apostolik Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II mengingatkan kembali makna hidup dan perkawinan.
Pada akhirnya semoga keluarga-keluarga Kristiani semakin teguh menjawabi tugas panggilan hidup mereka sebagai suami-istri yang disemangati cinta kasih dalam perjanjian suci.