Oleh: Florentina Yuni Duhat
Mahasiswi semester VII STIPAS St. Sirilus Ruteng
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri dengan keputusan pengadilan.
Ada cukup banyak alasan bahwa antara hubungan suami-istri tersebut tidak akan hidup rukun lagi dalam bahtera rumah tangga.
Perceraian adalah putusnya hubungan yang sudah disatukan dengan iman dan pemberkatan sehingga tidak dapat bersatu lagi dan memutuskan mencari kehidupan masing-masing.
Saat ini perceraian buknlah sutu fenomena yang asing lagi kita dengar. Masalah perceraian ini sering kita temukan dalam masyarakat.
Banyak sekali penyebab terjadinya perceraian. Perceraian kadang dimulai dari masalah kecil yang sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan.
Bukan hanya itu perceraian juga terjadi karena masalah internal yang dilatarbelakangi dari kedua belah pihak yaitu kurangnya kestabilan perekonomian keluarga.
Sedangkan masalah eksternal biasanya dilatarbelakagi dari lingkungan atau dari pihak-pihak lain yang memiliki niat jahat untuk menghancurkan keluarga atau rumah tangga.
Selain itu, perceraian umumnya sering terjadi karena kasus kekerasan dalam rumah tngga (KDRT).
Kasus lainnya juga seperti kesenjangan atau ketidaksesuaian kualitas antara kedua pasangan tersebut.
Banyak pasangan suami-istri yang cepat-cepat mengambil keputusan untuk bercerai.
Mereka hanya memikirkan keinginanan semata saja tanpa memikirkan akibat atau dampak yang akan terjadi jika mereka melakukan perceraian.
Mereka tidak memikirkan bagaimana dampak bagi mental anak-anak jika bercerai, serta dampak bagi antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Percerian dalam gereja katolik sudah sangat jelas ditentang dan tidak disukai oleh Tuhan.
Tuhan sangat benci dengan yang namanya perceraian. Orang yang melakukan perceraian bukan hanya merugikan keluarga, lingkungan dan anak-anak tetapi juga bagi agama kristen.
Perjuangan untuk kesetian tidak berhasil dan usaha persatuan berakhir dengan perceraian.
Bisa juga terjadi orang merasa kecewa lalu terpaksa mengalah dalam perkawinan.
Perpecahan yang dialami setiap manusia dan yang mengancam kebersamaan semu orang, kegagalan dan dosa, juga merupakan bagian hidup perkawinanan.
Seruan Ensiklik Amoris Elaetitea
Gereja memandang perkawinan adalah lembaga yang sah karena terbetuk dengan sah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Perkawinan adalah kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan dinyatakan secara legitim membuat perkawinan.
Persetujuan bebas dalam pernyataan bersama secara sah mewujudkan perkawinan sebagai lembaga hukum.
Ajaran Sosial Gereja (ASG) merupakan tanggapan gereja terhadap masalah-masalah atau persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia, serta memberikan bantuan kepada mereka untuk berjalan ke arah yang lebih baik.
Dalam Ensiklik Amoris Laetitia, Santo Yohanes Paulus II memberikan perhatian istimewa dan meminta kepada para gembala dan seluruh persekutuan umat beriman, supaya membantu orang-orang yang telah bercerai dengan perhatian penuh kasih. Jangan sampai mereka menganggap diri terpisah dari gereja.
Memang pelayanan pastoral untuk orang yang telah bercerai dan yang mungkin sudah hidup dalam perkawinan kedua tidaklah mudah.
Perceraian dapat juga berarti perkawinan yang tadinya diikat dengan tergesa-gesa tanpa persiapan yang matang, berakhir dalam perpecahan, kendati sudah banyak mencari kesatuan.
Hukum perkawinan mengandaikan kemauan tulus untuk saling mengasihi, namun hukum juga tidak dapat membuktikannya.
Kasih tumbuh dalam hati orang dan kesetian terwujud pertama-tama dalam hati nurani.
Maka pastoral gereja terhadap orang yang telah bercerai dan menikah kembali, pertama-tama harus menanggapi hati nurani mereka masing-masing.
Dalam ikatan perkawinan, yang paling utama adalah saling mengasihi antara kedua belah pihak.
Ketika kedua belah pihak menumbuhkan sikap saling mengasihi, memberikan perhatian dan membangun komunikasi dengan baik, maka keluarga itu menjadi sebuah keluarga yang harmonis.
Apapun masalahnya, seberat apapun masalah dalam keluarga, hendaknya diselesikan dengan baik.
Bukan dengan cepat mengambil keputusan yang dapat merugikan diri sendiri, keluarga, anak-anak, lingkungan dan juga agama.