Oleh: Wilfridus Fon
Mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere
Pola laku pemimpin di bumi Nusantara de facto sangat memuakan. Antara ide dengan praksis kepemimpinan memiliki garis demakrasi yang lebar.
Hal ini mengindikasikan bahwa mimpi tentang kehadiran sosok pemimpin ideal sebagaimana kita gandrungi sekadar utopia.
Dengan segala kebobrokan kualitas intelektual, moral, kepribadian, dan spiritual, para pemimpin kita mudah terperosok ke dalam pelbagai tindakan tak terpuji.
Salah satunya ialah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Korupsi semakin menggurita. Kolusi makin menjalar.
Nepotisme semakin mengakar. Mereka menghabok uang masyarakat seenak perut. Dana proyek menjadi ‘koloni’ mereka. Miris!!
Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan kasus korupsi di Indonesia. Laporan tersebut disampaikan oleh Farli Bahuri, ketua KPK, saat seminar di gedung Juang KPK Merah Putih, Jakarta Selatan pada Selasa, 18 Juli 2023.
Dia merincikan kasus korupsi di Indonesia sebagai berikut. Pada peringkat pertama, kasus korupsi di Indonesia berasal dari kalangan swasta dengan jumlah 404 tersangka.
Pada peringkat kedua berasal dari pejabat pelaksana eleson 1 sampai 4 dengan jumlah 351 tersangka.
Peringkat ketiga berasal dari lembaga Legislatif yaitu DPR dan DPRD tercatat 344 tersangka.
Lalu, pada peringkat keempat, Wali Kota dan Bupati berjumlah 246 orang dan dari kalangan hakim berjumlah 31 tersangka.
Ada juga gubernur tercatat 24 tersangka, pengacara 18 orang, jaksa 11 orang, Polisi 5 orang, dan duta besar 4 orang (Kompas.com, 18/7/2023 diakses pada Senin, 16/10/2023).
Realitas di atas serentak melahirkan tiga pertanyaan reflektif berikut. Pertama, kapan kursi kekuasaan negeri ini akan diduduki oleh pemimpin populis?
Kedua, bagaimana alternatif-solutif untuk menghadang perjalanan pemimpin korup menuju tampuk kekuasaan?
Ketiga, apa saja tanda-tanda pengenal sosok pemimpin yang sedang kita cari?
Guna menjawabi ketiga pertanyaan reflektif tersebut, penulis akan membawa sidang pembaca untuk masuk ke dalam ruang pergumulan intelektual Al-Farabi tentang tipologi pemimpin ideal.
Tipologi Pemimpin Ideal Al-Farabi
Al-Farabi adalah salah satu filosof tersohor dalam dunia Islam. Dia dilahirkan di Wasij, sebuah desa dekat daerah Farab, Kazakhstan pada 870 M/275 H. Semasa hidupnya, dia telah melahirkan banyak karya.
Salah satu magnum opusnya yang terkondang ialah tentang negara sempurna (Al-Madinah Al-Fadhilah).
Dalam karya ini, dia mengagas tentang konsep negara sempurna dan pemimpin ideal.
Baginya, negara yang sempurna selalu berjuang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Hal ini, demikian Al-Farabi, dimungkinkan bila dipimpin oleh pemimpin ideal.
Lalu, bagaimana pandangan Al-Farabi tentang pemimpin ideal? Jawabannya akan dibentangkan oleh penulis sebagai berikut.
Pertama, sang pemimpin mesti memiliki anggota tubuh yang sempurna. Pemimpin harus tampil prima.
Artinya, dia tidak boleh cacat baik secara fisik maupun psikis.
Ketika sang pemimpin memiliki tubuh yang sempurna, maka kiprah kepemimpinannya akan berjalan secara efektif.
Begitupun sebaliknya, sang pemimpin akan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya bila dia cacat.
Namun, tubuh yang sempurna tidak selalu menjamin kiprah kepemimpinan yang baik. Karena itu, dia mesti memiliki kualitas lainnya.
Kedua, setiap orang yang menjadi pemimpin mesti cerdas.
Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang berjiwa revolusioner; pandai menelurkan gagasan, strategi, ide-ide kreatif dalam membangun sebuah bangsa, cerdas dalam membaca realitas kehidupan masyarakat yang disesaki oleh beragam pesoalan, menganalisisnya sembari berusaha semaksimal mungkin untuk mencari alternatif solutifnya.
Ketiga, pemimpin mesti mencintai kebenaran. Pemimpin ideal selalu menjalankan tugas kepemimpinan di bawah panji kebenaran.
Pola kepemimpinan yang berpedomaan pada kebenaran berkiblat pada upaya untuk melayani kepentingan umum bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Jika kebenaran menjadi pedomaan pola kepemimpinannya, maka segala penyelewengan dan kebobrokan dalam negara tidak akan tercipta.
Karena itu, tekad yang kuat dan tegas untuk berpihak pada kebenaran mesti mendarah daging dalam diri sang pemimpin.
Keempat, pemimpin yang baik selalu frontal terhadap kritikan. Kritikan adalah cermin kehidupan.
Pemimpin mesti tidak alergi terhadap kritikan masyarakat. Dia mesti menyendengkan telinga terhadap kritikan.
Hemat Al-Farabi, kritikan bukanlah sebuah penghinaan atau cemoohan, melainkan pengontrol setiap kebijakan agar terhindar dari kebijakan yang menyimpang.
Selain itu, kritikan sebagai sarana untuk mengintrospeksi diri.
Keenam, pemimpin yang tidak maniak terhadap uang. Salah satu godaan yang menjatuhkan seorang pemimpin ialah uang.
Jika sang pemimpin mudah tergiur oleh uang, maka dia akan mudah terperosok jatuh ke dalam tindakan korupsi.
Korupsi dapat meruntuhkan tatanan negara pada umumnya dan masyarakat pada khususnya.
Jika korupsi semakin mendarah daging, maka katastrofe dalam sebuah negara akan segera tercipta.
Korupsi inklusif dalam tindakan barbarisme sebab bukan bonum communae yang dikejar melainkan bonum privatio.
Guna mencapai pemimpin ideal yang digandrungi oleh Al-Farabi, seorang pemimpin mesti mengenggam prinsip bonum vaciendum, malum fitandum.
Awasan Pemilu 2024
Pesta demokrasi di bumi Nusantara akan terjadi tahun depan. Perhelatan pemilu 2024 pun sontak menjadi wacana aktual bagi masyarakat.
Pemilu 2024 mesti menjadi ajang untuk mencari seorang pemimpin ideal: pemimpin yang bonafid, berkulitas, dan berintegritas.
Sosok pemimpin berkualitas mumpuni dalam menentukan kiprahnya sebagai pelayan masyarakat.
Artinya, dia selalu berdiri di garda terdepan untuk menghantar masyarakat menuju kesejahteraan. Begitu pun dengan pemimpin yang berintegritas.
Pemimpin berintegritas memiliki kecakapan dalam menjaga fitrah negara, kekuasaan, dan kewibawaannya. Ini adalah mimpi masyarakat Nusantara.
Namun, tak dapat disangkal bahwa banyak figur berkeinginan kuat untuk berdedikasi dalam pertarungan pemilu 2024.
Mereka tampil dengan kualitas yang tak dapat diragukan untuk menjadi pemimpin di masa depan.
Alhasil, masyarakat masuk dalam fase kebinggungan dalam menentuan pilihan yang tepat.
Hal ini diperparah bila mereka menjejali masyarakat dengan janji-janji politik yang memikat lewat kekuatan retorik yang menyakinkan (Lilijawa, 2010).
Di tengah kebinggungan itu, masyarakat mesti tetap bijak dalam menentukan pilihan agar pemilu 2024 dapat melahirkan para pemimpin ideal.
Karena itu, langkah konkret yang mesti dilakukan ialah mencari pemimpin dengan memperhatikan tanda-tanda pengenal dalam diri setiap politisi sebagaimana diutarakan oleh Al-Farabi.
Catatan Akhir
Para koruptor mesti segera hengkang dari tampuk kekuasaan. Pemilu 2024 menjadi ajang bagi masyarakat Nusantara untuk mencari pemimpin ideal guna menggantikan pemimpin koruptif.
Hal ini dapat terwujud bila masyarakat tidak memilih secara serampangan.
Masyarakat mesti menanamkan sikap ‘epoche’ (istilah dalam Filsafat Stoa) yang berarti suatu sikap agar tidak membuat keputusan tanpa konsiderasi yang matang.
Pada aras inilah, konsep tipologi pemimpin ideal Al-Farabi menjadi ikhtiar dalam memilih pemimpin pada pemilu 2024.
Pertama, sang pemimpin mesti memiliki anggota tubuh yang sempurna.
Kedua, setiap orang yang menjadi pemimpin mesti cerdas.
Ketiga, pemimpin mesti mencintai kebenaran.
Keempat, pemimpin yang baik mesti frontal terhadap kritikan.
Kelima, pemimpin tidak maniak terhadap uang.