Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Bukan rahasia lagi. Selama kontestasi pesta demokrasi seperti pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) berlangsung, rakyat sebagai akar rumput hampir selalu diperhadapkan dengan beragam simbol berupa suguhan janji-janji yang ditawarkan para kandidat.
Suguhan janji-janji yang ditawarkan para kandidat dikemas dengan menggunakan satuan kebahasaan bernuansa estetis.
Karena itu, rakyat sebagai akar rumput seolah-olah terbuai dalam samudera kehidupan yang utopia dengan menggadaikan suara hatinya.
Satuan kebahasaan yang digunakan para kandidat ketika tampil di depan rakyat sebagai akar rumput selama kontestasi pesta demokrasi, selain mengandung keindahan bentuk ketika dilihat dalam tataran mukaan, juga mengungang kenikmatan inderawi ketika dituturkan dan disimak.
Bukan cuma itu. Esensi isi yang tersurat dan tersirat di balik bentuk tekstual satuan kebahasaan berdimensi estetis yang didendangkan para kandidat begitu sarat makna dengan muatan pesan moral dan etika.
Muatan makna pesannya bernada profetis bak tetesan hujan yang lagi turun di tengah padang gurun yang sudah sekian lama diterpa gersang.
Kehadiran para kandidat dalam rangkaian acara tatap muka dan tukar tutur dengan rakyat sebagai akar rumput ibarat kehadiran sang juru selamat yang membebaskan mereka dari kerangkeng kehausan dan kelaparan karena dilanda kemiskinan dan kemelaratan hidup.
Mengapa tidak? Karena visi dan misi yang dikumandangkan para kandidat bermuara pada peningkatan kesejahteraan hidup rakyat banyak dan rakyat kebanyakan. Kesejahteraan hidup yang hendak ditingkatkan tidak hanya menyentuh aspek jasmaniah, tetapi juga merengkuh aspek rohaniah.
Fenomena menarik adalah, bukan cuma kandidat petahana yang rajin menguak janji, tetapi juga kandidat pendatang baru tidak sungkan mengumbar janji setinggi langit dengan mengandalkan rekam jejak sebelumnya sebagai sumber rujukan.
Karena itu, tidak heran jika pesta demokrasi diplesetkan sebagian kalangan rakyat sebagai akar rumput sebagai sebuah ajang perang simbol dengan taburan janji-janji para kandidat.
Tungku pesta demokrasi sebagai ajang perang simbol terasa semakin memanas karena kandidat petahana tidak malu menebar janji-janji baru meskipun sebagian besar janji yang selama masa jabatan sebelumnya belum dilaksanakan sepenuhnya sesuai resapan harapan rakyat sebagai akar rumput.
Letak perbedaan yang menggambarkan fenomena perubahan agar tampak dimensi kebaruannya hanya ditandai dengan penggantian bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan.
Deretan janji-janji yang ditebar ibarat anggur lama dalam kemasan baru karena esensi isi pesan masih sama seperti dalam kontestasi pesta demokrasi yang dilakoni sebelumnya.
Agar tidak ketinggalan kereta, kandidat pendatang baru juga menguak dengan penuh semangat janji-janji perubahan di hadapan rakyat sebagai akar rumput yang menjadi kelompok sasaran tandangan politiknya.
Kekurangan kandidat petahana diobok-obok sebagai kegagalan. Maksud dan tujuannya agar janji-janji yang dikuaknya dianggap sebagai kehadiran seorang dokter yang membawa panacea alias obat dari segala-galanya.
Kelebihan kandidat petahana sengaja diumpet agar nama kandidat petahana terlecet dan tercoreng dalam benak dan hati nurani rakyat sebagai akar rumput.
Dengan demikian, rakyat sebagai akar rumput terombang-ambing dalam menentukan preferensi politik antara kandidat petahana atau kandidat pendatang baru.
Demikian beberapa cuilan dagelan politik yang diperagakan para kandidat dalam kontestasi pesta demokrasi selama ini.
Dengan demikian, kontestasi pesta demokrasi yang sedianya merupakan ajang pesta rakyat yang sarat dengan nuansa kegembiraan berubah rupa menjadi sebuah ajang perang simbol yang dipadati dengan taburan dan tebaran janji-janji.
Sebagai dampak lebih lanjut dari akrobat politik yang dilakonkan para kandidat, tungku politik yang mewadahi dan mewahanai kontestasi pesta demokrasi semakin hari semakin memanas dengan berbagai bentuk persaingan tidak sehat.
Tanpa mempersoalkan lebih lanjut soal itu, hampir dapat dipastikan, semua kandidat yang berpartisipasi dalam kontestasi pesta demokrasi menggengam rindu akan peningkatan kesejahteraan hidupnya sendiri dan keluarganya.
Bukan cuma keluarga batih, tetapi juga keluarga luas ikut terciprat. Mengapa? Karena memangku jabatan politik memang gajinya relatif kecil, namun pendapatannya bisa setinggi gunung yang diperoleh dari berbagai sumber, entah sumbernya itu halal atau haram.
Lagi-lagi, pengaruh keinginan meraup pendapatan setinggi langit, para kandidat yang berpartisipasi dalam kontestasi pesta demokrasi rela menguras isi pundi-pundi yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun demi membiayai kepesertaannya dalam kontestasi pesta demokrasi.
Karena itu, melalui berbagai bentuk dan cara, para kandidat tidak tanggung-tanggung memoles wajah pesta demokrasi dari pesta rakyat yang sarat kegembiraan dengan berpayungkan adagium, Vox populi vox De’i ‘Suara rakyat suara Tuhan’, menjadi ajang perang simbol melalui taburan dan tebaran janji-janji.
Sebagian janji-janji tersebut memang tampak realistis, namun sebagian yang lain sama sekali tidak realistis karena terlalu meroket sampit ke langit seolah-olah mereka mau membangun dunia antariksa.
Ini adalah konsekuensi dari kenyaataan, lidah memang tidak bertulang sehingga kata-katanya tidak terbatas dengan surplus makna yang sulit diwujudkan dalam rentang waktu lima tahunan.
Karena jika lidah bertulang, maka proses artikulasi kata-kata tatkala bertutur, tidak terkecuali dalam konstelasi pesta demokrasi sehingga mengalami ketersendatan dalam menguak janji-janji yang menyiratkan makna pesta demokrasi sebagai ajang perang simbol.
Sebagai kata akhir, penulis mengajak, mari kita menikmati kontestasi pesta demokrasi, seperti pileg dan pilkada, sebagai ajang perang simbol para kandidat melalui umbaran janji-janji yang tidak pasti, namun kita tetap menjadi diri sendiri dalam menentukan preferensi politik.
Mengapa? Karena, dalam kontestasi pesta demokrasi, sebagaimana disinggung sebelumnya, Vox populi vox De’i ‘Suara rakyat suara Tuhan’ adalah obor yang memandu langkah kita menuju tempat pemungutan suara.
Pungkas kata, kita sebagai akar rumput tidak boleh terjebak dalam lilitan janji-janji palsu dengan iming-iming lain berupa uang dan sejenisnya.
Dengan demikian, suara rakyat adalah suara Tuhan tidak berubah rupa menjadi suara uang atau suara beras dan gula pasir melalui serangan fajar agar tidak tertangkap cahaya mentari pagi yang kelak menjadi saksi.