Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Seperti kita ketahui bersama, bahasa adalah media komunikasi paling efektif yang digunakan suatu masyarakat dalam berbagai ranah kehidupannya, tidak terkecuali dalam ranah politik.
Penggunaan bahasa dalam ranah politik memang unik dan menarik karena bergayut dengan percaturan kekuasaan dengan berbagai manifestasi seni.
Karena itu, tidak heran jika politik tidak hanya dipandang sebagai ilmu dalam tataran teoritis, tetapi juga dipahami sebagai seni dalam tataran praksis yang tidak jarang begitu sarat dengan trik dan intrik sehingga politik diartikan sebagai seni bermain tipu ibarat ‘politisi main umpet’.
Hal itu dapat disaksikan, antara lain, dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) di suatu wilayah yang ditandai dengan amalgamasi beragam gaya bahasa.
Salah satu gaya bahasa yang biasa digunakan adalah metafora karena metafora adalah bagian dari keseharian hidup kita sebagai manusia sehingga kita seolah-olah kita hidup dalam lingkaran metafora.
Tidak hanya dalam cara berpikir, metafora juga menyata dalam cara bertindak. Jenis metafora yang digunakan pula beragam sesuai konteks situasi yang melatarinya, termasuk metafora binatang yang ditandai dengan penggunaan jenis binatang atau organnya seperti sayap sebagai kata inti.
Tulisan ini mengulas fenomena penggunaan metafora binatang dalam kontestasi pilkada di Manggarai.
Materi yang diulas memang merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan penulis beberapa waktu silam, namun selalu menjadi isu seksi dalam pilkada di Manggarai karena jumlah bakal calon dan calon yang tampil setiap kali pilkada relatif banyak.
Bahkan dalam pilkada kali ini jumlah yang mendafar sebagai bakal calon mencapai belasan.
Masalah itu menarik karena metafora binatang yang digunakan adalah salah satu ungkapan tradisional tetesan sejarah lalu yang diwariskan leluhur masyarakat Manggarai.
Bentuk dan makna satuan kebahasaannya bercorak khas dan khusus. Bentuknya memang singkat, namun esensi isinya padat makna sesuai konteks situasi yang melatari penggunaannya.
Metafora binatang yang digunakan sebagai strategi kampanye politik dalam pilkada di Manggarai selama ini adalah, Tekur cai retuk, lawo cai bao, yang secara leksikal berarti ‘Tekukur yang baru datang, tikus yang baru datang’.
Ungkapan tradisional ini dicirikan sebagai metafora binatang karena menggunakan kata (nomina) tekur ‘tekukur’ dan kata (nomina) lawo ‘tikus’ sebagai kata inti.
Sebagaimana tampak dalam strukur mukaan, pilihan kata dan cara pengungkapan mengandung keindahan bentuk yang mengundang kenikmatan inderawi ketika ditutur dan disimak.
Keindahan bentuk dan kenikmatan inderawi diwahanai melalui penggunaan pasangan kata berasonansi /e-u/ dalam kata tekur dan kata retuk dan pasangan kata beasonansi /a-o/ dalam kata lawo dan kata bao.
Keselarasan tempo dan ritme ketika dituturkan tercipta pula karena kata-kata yang digunakan dalam kedua gugus kata sama-sama berjumlah tiga kata.
Sesuai konteks situasi yang melatari penggunaanya, metafora binatang itu digunakan sebagai salah satu strategi kampanye yang diperagakan kandidat petahana dalam menengarai kehadiran kandidat pendatang baru yang dianggapnya sebagai kehadiran pesaing.
Maksud dan tujuan penggunaan metafora binatang itu melecehkan dan merendahkan sosok kandidat pendatang baru yang dipandang kandidat petahana sebagai ‘sosok yang baru naik badan’ karena belum memiliki banyak pengalaman memimpin.
Maksud dan tujuan itu diisyaratkan melalui penggunaan gugus kata atau frasa, cai retuk ‘baru datang’ yang tampil dalam sandingan dengan gugus kata atau frasa, cai bao ‘baru datang’ yang berpadanan makna.
Kandidat pendatang baru dianggap sebagai seekor tekukur dan seekor tikus yang baru datang.
Kedatangannya hanya membuat kegaduhan politik karena berjingkrak sana-sini melakukan akrobat politik padahal belum begitu banyak makan garam dalam memimpin.
Tekukur membuat kegaduhan karena bunyinya dan tikus membuat kegaduhan karena sifatnya sebagai hewan pengerat tumbuhan dan tanaman.
Penggunaan metafora binatang dengan mempersonifikasikan tekukur dan tikus berkonotasi makna negatif karena menyiratkan kecongkakan politik kandidat petahana yang enggan memberi ruang dan peluang yang lapang bagi pendatang baru untuk bersaing.
Ditilik dari perspektif makna, konsep filosofis tekukur dan tikus dalam budaya Manggarai berbanding terbalik dengan konsep filosofis yang berlaku dalam budaya lain.
Sesuai konsep filosofis yang berlaku dalam budaya Cina, misalnya, tikus melambangkan kebijaksanaan, kekayaan dan kemakmuran.
Seandainya pilkada itu berlangsung di Cina, maka penyematan predikat tikus kepada kandidat pendatang baru merupakan sebuah tanda awal menuju sukses. May God Bless You.