Oleh: Benyamin Rahmat
Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng
Istilah korupsi tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Dibaca di media cetak, ditonton di televisi atau didengar di radio, istilah korupsi seakan tak lepas dari kehidupan kita. Tentu hal yang tidak patut dibanggakan.
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dan corru ptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Juga diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitna.
Negara Indonesia sudah lama melakukan praktik korupsi. Upaya pemerintah dan bangsa dalam melawan serta memerangi korupsi telah menapaki sebuah perjalanan sejarah yang amat panjang.
Hasil yang signifikan dari upaya itu belum begitu tampak. Korupsi tidak lagi hanya berpusat dan terjadi di tingkat pusat, tetapi sering dengan otonomi daerah. Korupsi juga telah merambah dan merata ke daerah-daerah.
Korupsi bagai kanker ganas yang telah menyerang sebagian tubuh negeri ini, dan telah menempatkan Indonesia sebagai negara religius yang kehilangan percaya diri karena menduduki urutan yang tinggi dalam prestasi korupsi.
Korupsi berkaitan dengan moral, sistem, ekonomi, politik, serta hukum. Sebab itu, korupsi tak bisa dilawan hanya dari satu sudut saja. Korupsi mesti dihadapi secara bersama dengan seluruh potensi dengan kekuatan yang dimiliki bangsa.
Sikap moral tidak lagi ada dalam pribadi manusia sehingga kebebasan untuk melakukan tindakan korupsi terus berjalan dan merusakan tatanan negara Indonesia sehingga berujung pada kemiskinan.
Kalau kita mendeteksi segala rumpun persoalan yang terjadi di negara Indonesia seperti tindakan korupsi, bahwa manusia dirusaki oleh dosa asal. Karena itu, kita mesti memahami apa itu dosa asal. Dosa asal merupakan sikap mencurigai Allah.
Dosa asal bukan karena ketidaktaatan. Tetapi manusia mencurigai Allah sehingga melahirkan ketidaktaatan.
Dalam Kitab Kejadian 2:1-25, Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkanya dalam Taman Eden untuk mengusaha dan memelihara.
Namun manusia mencurigai Allah, dengan memakan buah dari pohon yang terlarang. Manusia mencurigai karena mennganggap bahwa mengapa Allah menetapkan batas-batas atau larangan.
Jangan- jangan di balik larangan itu ada kejayaan sehingga Ia tetap Allah dan manusia tetap menyembahnya.
Ular yang digambarkan dalam Kitab Kejadian merupakan suara hati ke dua dalam hati manusia antara sisi yang mencurigai Allah dan sisi yang mengatakan Allah bisa diandalkan. Ada perdebatan dalam diri manusia antara sisi yang mencurigai dan sisi yang percaya kepada Allah.
Namun lambat laun curiga menang dan manusia makan buah itu. Ketika manusia makan buah terlarang itu ia menjadi sadar bahwa ia telanjang dan merasa diri tidak sama seperti Allah.
Semua konsep mencurigai tidak sama seperti apa yang dipikirkan oleh manusia. Yang ada adalah manusia telanjang.
Telanjang artinya manusia itu lemah dan tidak sama seperti Allah. Kecurigaan yang membuat manusia jatuh ke dalam dosa.
Ketika manusia sadar dan keluar dari Taman Eden maka manusia harus mencari dasar eksistensinya dengan cara yang salah.
Manusia tidak merasa puas dengan keberadaanya dan tidak menjadikan Allah sebagai dasar hidupnya. Sehingga manusia menjadi rakus serta mendewakan pikirannya sendiri dan tidak percaya kepada Allah.
Hal yang lebih menakutkan ketika manusia keluar dari Taman Eden adalah manusia tidak merasa puas dengan hidupnya ia terus mencari untuk kejayaan hidupnya. Dengan cara mengeksploitasi alam serta melakukan tindakan korupsi.
Manusia tidak menemukan kejayaan seperti di Taman Eden sebagai gambaran kejayaan manusia. Ketika manusia berada di luar situasi Eden maka ia harus berusaha sendiri untuk menjaga eksistensinya.
Ketika manusia berjuang sendiri maka Allah tidak lagi menjadi dasar hidup tetapi ketidakpuasan yang melekat pada diri manusia.
Sehingga lahirlah praktik-praktik mencuri hak milik orang lain atau melakukan tindakan korupsi untuk kejayaan hidupnya sendiri.
Kerakusan yang melekat pada diri manusia ketika berada di luar situasi Taman Eden sehingga melihat yang lain sebagai saingan karena ketidakpuasan itu.
Sehingga dosa melekat terus pada pribadi manusia.
Bagaimana manusia harus keluar dari situasi seperti itu? Jawabannya adalah manusia harus kembali ke Taman Eden dengan membangun kepercayaan dalam diri bahwa Tuhan Allah sebagai dasar hidup. Percaya kepada Allah dan membenah diri dalam kehidupan Roh Allah.
Ketika manusia menjadikan Allah sebagai dasar hidup maka praktik-praktik korupsi bisah teratasi.
Ketidakpuasan yang ada dalam diri manusia merupakan karena manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Oleh sebab itu, hanya Allah yang bisa mengendalikan diri manusia agar tidak mencuri hak orang lain.
Tentunya Indonesia adalah negara yang memiliki nilai KeTuhanan yang tertera dalam nilai-nilai Pancasila dan seluruh rakyat harus memegang pada nilai-nilai itu untuk mengurangi praktik-praktik korupsi.