Oleh: Pater Vinsensius Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Pendahuluan
Pendidikan adalah fondasi utama bagi terciptanya generasi yang unggul, adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berkembang, konsep Merdeka Belajar muncul sebagai sebuah inisiatif yang menjunjung tinggi partisipasi aktif peserta didik dan guru dalam proses pembelajaran.
Melalui kebebasan berpikir, inovasi, dan kreativitas, Merdeka Belajar memberi ruang bagi setiap individu untuk mengeksplorasi potensi diri mereka secara optimal, sekaligus membentuk pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia nyata.
Namun, di tengah upaya mewujudkan pendidikan berkualitas, sering kali suara guru dan peserta didik masih dibatasi atau bahkan diberangus oleh sistem yang kaku dan birokratis.
Kebijakan yang tidak responsif terhadap kebutuhan lapangan serta keterbatasan ruang bagi pendidik untuk berkreasi, berinovasi, dan menyuarakan aspirasi menjadi tantangan serius.
Dalam kondisi seperti ini, peran partisipasi aktif semakin mendesak dan krusial, bukan hanya untuk memperkuat proses pembelajaran, tetapi juga untuk memperjuangkan hak pendidikan yang adil dan inklusif bagi semua kalangan.
Pentingnya partisipasi aktif peserta didik dan guru tidak hanya terletak pada pencapaian hasil akademis yang baik, melainkan juga sebagai fondasi bagi terwujudnya pendidikan yang berkelanjutan.
Peserta didik yang aktif terlibat dalam proses belajar akan memiliki keterampilan berpikir kritis dan problem solving yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global.
Sementara itu, guru yang diberdayakan untuk mengambil peran aktif sebagai fasilitator dan pendamping belajar dapat menghidupkan suasana kelas yang dinamis, inklusif, dan mendukung pengembangan holistik setiap siswa.
Partisipasi yang aktif dari semua elemen dalam pendidikan juga menjadi landasan bagi pendidikan yang lebih manusiawi, di mana keadilan, keberagaman, dan keberlanjutan menjadi pilar utama.
Dengan menciptakan lingkungan yang terbuka terhadap dialog, kolaborasi, dan kebebasan berekspresi, Merdeka Belajar dapat menjadi gerakan untuk mengembalikan hak-hak dasar guru dan peserta didik, serta menjawab tantangan pendidikan di masa depan.
Pemberdayaan ini tidak hanya akan menghasilkan lulusan yang kompeten, tetapi juga individu yang siap berkontribusi pada masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Konsep Merdeka Belajar
Konsep “Merdeka Belajar” yang diusung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sejak tahun 2019 bertujuan untuk memberikan kebebasan dan fleksibilitas bagi sekolah, guru, dan siswa dalam pembelajaran.
Namun, dalam implementasinya, ada sejumlah kritik yang menilai bahwa suara peserta didik dan guru belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik.
Meskipun Merdeka Belajar bertujuan untuk memberikan otonomi kepada sekolah dan guru, banyak kebijakan pendidikan yang disusun secara sentralistik tanpa melibatkan partisipasi yang signifikan dari para guru dan siswa.
Misalnya, peraturan-peraturan terkait kurikulum dan evaluasi seringkali dibuat tanpa konsultasi yang cukup dengan komunitas pendidik di lapangan.
Beberapa guru merasa bahwa mereka hanya menjadi pelaksana kebijakan tanpa dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan tersebut.
Berdasarkan kajian oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), banyak guru di daerah mengeluhkan bahwa mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait Kurikulum Merdeka, dan kebijakan tersebut seringkali dianggap datang dari “atas” tanpa adanya diskusi yang cukup di tingkat sekolah.
Program Asesmen Nasional berbasis Komputer (ANBK)yang menggantikan Ujian Nasional sebagai bagian dari Merdeka Belajar diharapkan memberikan evaluasi yang lebih komprehensif, tetapi masih ada anggapan bahwa fokus pada tes berbasis standar ini bisa membatasi kebebasan pembelajaran di kelas.
Para guru sering merasa terbebani oleh target dan standar yang harus dipenuhi, yang pada akhirnya mengekang kreativitas dalam pembelajaran.
Penelitian dari Lembaga Penelitian Pendidikan dan Pembangunan Daerah (LPPPD) menunjukkan bahwa 65% guru merasa tekanan untuk mencapai standar penilaian asesmen nasional justru membatasi inovasi mereka di ruang kelas .
Konsep Merdeka Belajar seharusnya memberi ruang bagi siswa untuk lebih aktif dalam menentukan proses pembelajaran mereka.
Namun, di banyak sekolah, suara siswa masih minim terdengar, terutama dalam proses pengambilan keputusan.
Contoh konkretnya adalah bagaimana pembentukan kebijakan sekolah, seperti jam belajar atau metode pembelajaran, seringkali tidak melibatkan siswa.
Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa hanya sekitar 30% siswa merasa suara mereka didengar dalam pengambilan keputusan di sekolah .
Banyak kebijakan pendidikan dalam rangka Merdeka Belajar masih belum memberikan solusi atas masalah kesejahteraan guru, yang sering kali menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan pembelajaran yang kreatif dan fleksibel.
Dalam beberapa kasus, guru yang vokal memperjuangkan hak mereka justru mengalami tekanan atau sanksi dari pihak sekolah atau dinas pendidikan.
Survei oleh Komnas HAM pada tahun 2023 menemukan adanya laporan dari sejumlah guru di beberapa daerah yang menyatakan bahwa mereka mengalami intimidasi saat menyampaikan kritik terhadap kebijakan pendidikan di sekolah .
Meskipun Merdeka Belajar berusaha memberikan kebebasan kepada guru untuk mengatur metode dan materi pembelajaran, pada kenyataannya, banyak sekolah yang masih memberlakukan aturan yang ketat dan birokratis terkait metode pengajaran.
Guru seringkali dibatasi oleh aturan administratif yang memberatkan dan tidak memungkinkan mereka sepenuhnya menerapkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
Laporan dari Education Policy Review (2022) menyatakan bahwa banyak guru di tingkat dasar dan menengah masih merasa tidak diberi cukup kebebasan untuk menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa di kelas mereka.
Meskipun konsep Merdeka Belajar memiliki tujuan yang mulia, implementasinya masih menemui banyak kendala, terutama dalam hal melibatkan partisipasi aktif dari guru dan siswa.
Pembungkaman suara ini tercermin dalam berbagai aspek, mulai dari minimnya pelibatan dalam penyusunan kebijakan hingga terbatasnya ruang otonomi di tingkat sekolah.
Partisipasi Aktif dari Guru dan Siswa
Partisipasi aktif mengacu pada keterlibatan penuh dan bermakna dari siswa dan guru dalam proses pembelajaran, pengambilan keputusan, dan pengembangan kebijakan pendidikan di sekolah.
Ini berarti siswa dan guru tidak hanya menjadi objek dari kebijakan, tetapi juga menjadi subjek yang terlibat langsung dalam proses pendidikan.
Dalam konteks Merdeka Belajar, partisipasi aktif siswa dan guru bertujuan untuk meningkatkan kemandirian, kreativitas, dan inovasi di sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memperkenalkan konsep ini untuk mengakomodasi kebutuhan unik dari masing-masing sekolah, guru, dan siswa, sehingga pembelajaran dapat berlangsung lebih fleksibel dan kontekstual.
Merdeka Belajar adalah sebuah paradigma yang berfokus pada kebebasan dalam pembelajaran, di mana guru diberi keleluasaan dalam menentukan metode mengajar, dan siswa diberi ruang untuk lebih aktif dalam proses belajar.
Konsep partisipasi aktif mencakup:Kebebasan memilih materi: Siswa diberi kesempatan untuk lebih banyak menentukan topik yang mereka minati, sehingga pembelajaran menjadi lebih relevan dan bermakna.
Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi berperan sebagai fasilitator yang mendampingi siswa dalam belajar secara mandiri.
Siswa dan guru diharapkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di sekolah, seperti perancangan kurikulum, penentuan metode evaluasi, dan kebijakan sekolah lainnya.
Guru diberi kebebasan untuk memilih metode pengajaran yang paling sesuai dengan karakteristik siswa.
Ini dapat berupa penggunaan metode berbasis proyek, diskusi, pembelajaran berbasis masalah, hingga integrasi teknologi. Hal ini memungkinkan guru untuk merancang proses pembelajaran yang lebih adaptif dan dinamis.
Partisipasi aktif dalam Merdeka Belajar menekankan pentingnya pemberdayaan siswa sebagai pembelajar mandiri.
Siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait cara mereka belajar, sumber daya yang digunakan, serta bagaimana mereka akan dievaluasi. Ini memberi mereka rasa tanggung jawab dan kepemilikan terhadap proses pembelajaran.
Kolaborasi adalah inti dari partisipasi aktif. Guru dan siswa bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung.
Guru mendengarkan masukan siswa tentang cara terbaik mereka belajar, sementara siswa dapat berkontribusi pada desain pembelajaran dan penilaian yang lebih relevan dengan kebutuhan mereka.
Siswa dan guru perlu dilibatkan dalam pembuatan keputusan penting di sekolah, seperti penyusunan kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, dan kebijakan evaluasi. Ini menciptakan budaya demokrasi di sekolah, di mana suara mereka dihargai dan dipertimbangkan.
Partisipasi aktif juga terkait dengan penilaian. Guru perlu melibatkan siswa dalam penilaian reflektif, di mana siswa menilai perkembangan diri mereka sendiri. Ini memberi mereka pemahaman yang lebih baik tentang proses belajar dan mendorong pembelajaran yang lebih mendalam.
Dengan memberi siswa kebebasan untuk berpartisipasi secara aktif, mereka akan merasa lebih termotivasi dan terlibat dalam proses pembelajaran. Siswa yang terlibat dalam pengambilan keputusan akan belajar untuk bertanggung jawab atas proses belajar mereka sendiri.
Guru yang diberi kebebasan lebih dalam metode pengajaran dapat mengembangkan strategi pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif. Tidak semua guru dan siswa siap untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran yang demokratis.
Keterampilan komunikasi, refleksi diri, dan manajemen kelas yang efektif sangat diperlukan. Birokrasi di sekolah dan sistem pendidikan yang masih cenderung sentralistik dapat menjadi hambatan bagi partisipasi aktif yang sejati.
Beberapa sekolah yang telah berhasil menerapkan prinsip Merdeka Belajar dengan partisipasi aktif siswa dan guru adalah sekolah-sekolah berbasis komunitas, di mana kurikulum disusun bersama antara guru, siswa, dan masyarakat lokal, sehingga pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan relevan.
Sekolah Berbasis Komunitas
Sekolah Berbasis Komunitas adalah model pendidikan yang berfokus pada keterlibatan aktif semua pihak di komunitas sekolah—guru, siswa, orang tua, dan masyarakat—untuk bersama-sama menciptakan lingkungan pembelajaran yang holistik dan kontekstual.
Sekolah-sekolah ini berhasil menerapkan Merdeka Belajar dengan prinsip partisipasi, kebebasan, dan otonomi yang diimbangi dengan kolaborasi antara komunitas pendidikan dan masyarakat sekitar.
Sekolah berbasis komunitas mengacu pada pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan sumber daya dan nilai-nilai lokal dari komunitas ke dalam proses pembelajaran.
Fokus utamanya adalah membangun hubungan yang erat antara sekolah dan komunitas lokal, sehingga pendidikan yang diberikan relevan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sosial di sekitarnya.
Dalam konteks Merdeka Belajar, sekolah berbasis komunitas memberi ruang kebebasan bagi guru untuk menyesuaikan kurikulum sesuai konteks lokal, serta memberi siswa kebebasan untuk belajar dari pengalaman di lingkungan mereka.
Ini berarti proses pendidikan tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi melibatkan keterlibatan aktif dari masyarakat dalam mendukung pengembangan siswa.
Sekolah berbasis komunitas yang sukses menerapkan Merdeka Belajar beroperasi dengan beberapa prinsip utama: Semua elemen sekolah (guru, siswa, orang tua, dan komunitas) bekerja bersama dalam pengambilan keputusan dan pembelajaran.
Pembelajaran dihubungkan dengan kondisi dan kebutuhan lokal, seperti budaya, ekonomi, atau isu lingkungan. Siswa dan guru diberi peran aktif dalam menentukan materi dan metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sumber daya dan pengetahuan lokal digunakan untuk memperkaya proses pembelajaran, sehingga siswa tidak hanya mendapatkan teori, tetapi juga keterampilan nyata yang relevan dengan komunitas mereka.
Sekolah berbasis komunitas mengundang partisipasi dari semua pihak di sekitar sekolah, termasuk orang tua, pemerintah lokal, lembaga masyarakat, dan organisasi non-pemerintah.
Hal ini memastikan bahwa pendidikan yang diberikan relevan dengan konteks lokal dan mendukung pembangunan masyarakat. Orang tua, misalnya, tidak hanya berperan sebagai pengamat tetapi juga sebagai mitra dalam proses pendidikan.
Guru dalam sekolah berbasis komunitas diberi kebebasan untuk menyesuaikan kurikulum berdasarkan kebutuhan lokal dan karakteristik siswa.
Otonomi ini memungkinkan guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam merancang metode pengajaran yang relevan. Mereka dapat mengintegrasikan unsur-unsur budaya lokal, sejarah daerah, atau isu-isu masyarakat dalam pembelajaran.
Sekolah berbasis komunitas sering kali menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) di mana siswa mengerjakan proyek nyata yang bermanfaat bagi masyarakat.
Proyek ini bisa berupa konservasi lingkungan, pemberdayaan ekonomi lokal, atau pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan komunitas. Dengan cara ini, siswa dapat belajar dengan cara yang lebih praktis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Sekolah berbasis komunitas tidak hanya menilai siswa berdasarkan tes atau ujian standar, tetapi juga melalui penilaian berbasis proses, di mana siswa dinilai berdasarkan kontribusi mereka dalam proyek komunitas, keterampilan kolaborasi, serta pemahaman kontekstual yang mereka dapatkan dari proses belajar. Penilaian ini lebih holistik dan mencerminkan pembelajaran seumur hidup.
Sekolah berbasis komunitas memastikan bahwa kurikulum yang dikembangkan mencerminkan nilai-nilai lokal, seperti kebudayaan, tradisi, atau norma sosial.
Dengan cara ini, pendidikan tidak hanya mendidik secara akademis, tetapi juga secara sosial dan kultural, sehingga siswa dapat tumbuh dengan pemahaman yang mendalam tentang identitas dan tanggung jawab sosial mereka.
Sekolah bekerja sama dengan berbagai institusi lokal, seperti perusahaan, lembaga pemerintahan, dan organisasi nirlaba, untuk memperkaya pengalaman belajar siswa.
Kemitraan ini membantu menghubungkan pendidikan dengan dunia nyata, memberikan siswa akses ke sumber daya yang lebih luas, dan memungkinkan mereka berkontribusi langsung ke masyarakat.
Di beberapa sekolah yang berbasis komunitas, siswa dan guru bersama-sama mengembangkan proyek seperti pertanian organik atau pengolahan limbah yang tidak hanya mendidik tetapi juga bermanfaat bagi komunitas setempat.
Guru menyesuaikan materi pembelajaran dengan konteks lokal. Misalnya, di daerah pesisir, pembelajaran sains mungkin melibatkan studi ekosistem laut dan kegiatan penanaman mangrove untuk melindungi lingkungan.
Orang tua aktif dilibatkan dalam pengambilan keputusan sekolah, serta menjadi mitra dalam proses pembelajaran, seperti memberikan pelatihan keterampilan atau menjadi narasumber dalam mata pelajaran tertentu.
Kurikulum yang disesuaikan dengan konteks lokal membuat pendidikan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Sekolah berbasis komunitas membantu mengangkat potensi lokal dan memberdayakan masyarakat melalui pendidikan.
Siswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan aplikatif melalui proyek-proyek yang berdampak langsung pada masyarakat.
Tidak semua sekolah memiliki akses ke sumber daya yang memadai untuk mengembangkan program berbasis komunitas.
Guru dan masyarakat mungkin perlu waktu untuk mengubah cara pandang mereka tentang pendidikan, dari yang sebelumnya berbasis instruksi menjadi berbasis kolaborasi dan partisipasi aktif.
Lingkungan Pembelajaran yang Holistik dan Kontekstual
Merdeka Belajar adalah sebuah inisiatif pendidikan yang bertujuan untuk memberikan kebebasan dan otonomi bagi peserta didik dan guru dalam proses pembelajaran, serta menekankan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat lokal.
Dalam konteks ini, lingkungan pembelajaran yang holistik dan kontekstual berperan penting untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas unggul, berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan.
Pembelajaran yang holsitik merujuk kepada pembelajaran yang mencakup semua aspek perkembangan peserta didik, termasuk kognitif, emosional, sosial, spiritual, dan fisik. Pendidikan tidak hanya berfokus pada hasil akademis, tetapi juga pada pengembangan karakter dan kompetensi hidup.
Pembelajaran yang terhubung dengan lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi tempat peserta didik tinggal. Pembelajaran ini mendorong relevansi dengan kehidupan nyata, serta berfokus pada keterampilan yang dibutuhkan dalam konteks komunitas lokal dan global.
Kedua pendekatan ini berkontribusi pada penciptaan pendidikan yang lebih personal, relevan, dan adaptif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa, sehingga mewujudkan tujuan Merdeka Belajar.
Konsep lingkungan pembelajaran holistik dan kontekstual dalam Merdeka Belajar menekankan beberapa prinsip utama: Peserta didik diberdayakan untuk menjadi pusat dari proses pembelajaran, di mana mereka aktif berpartisipasi dalam merancang, memilih, dan menilai pembelajaran mereka sendiri.
Guru diberikan kebebasan untuk merancang kurikulum dan metode pengajaran yang sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, memungkinkan pendekatan pembelajaran yang lebih relevan dan personal.
Pembelajaran dikontekstualisasikan dengan mengintegrasikan budaya, sejarah, dan tradisi lokal, sehingga siswa dapat memahami dan menghargai lingkungan mereka sambil mengembangkan identitas mereka.
Lingkungan pembelajaran mendorong interaksi aktif antar siswa, serta antara siswa dengan guru dan komunitas lokal. Ini meningkatkan keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis siswa.
Pembelajaran dirancang untuk mendukung keberlanjutan, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan, sehingga siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap masa depan dunia.
Lingkungan pembelajaran holistik menempatkan peserta didik sebagai individu yang harus berkembang dalam berbagai dimensi, tidak hanya intelektual tetapi juga emosional, spiritual, sosial, dan fisik.
Sistem pembelajaran yang memberikan perhatian pada kesejahteraan psikologis siswa, seperti melalui dukungan konseling, pembelajaran sosial-emosional, dan pembentukan lingkungan belajar yang inklusif.
Mendorong nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab sosial di dalam kelas, serta memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan rasa empati, kerja sama, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Pembelajaran kontekstual memastikan bahwa apa yang diajarkan relevan dengan kehidupan nyata siswa dan kondisi lokal.
Ini dilakukan melalui: Kurikulum yang diadaptasi untuk mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan kondisi lingkungan di mana siswa tinggal, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Metode pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan siswa dalam proyek nyata yang relevan dengan komunitas lokal, seperti proyek lingkungan atau ekonomi sosial yang melibatkan kolaborasi dengan masyarakat sekitar.
Merdeka Belajar mendorong keterlibatan seluruh ekosistem pendidikan, termasuk orang tua, komunitas, dan organisasi lokal, dalam proses pendidikan.
Elemen kunci dalam aspek ini adalah:
Sekolah bekerja sama dengan berbagai lembaga di lingkungan lokal, seperti pemerintah daerah, perusahaan lokal, atau organisasi masyarakat sipil, untuk memperkaya pengalaman belajar siswa dan menjembatani antara pendidikan dan dunia nyata; Orang tua diberdayakan untuk berperan lebih dalam pendidikan anak-anak mereka, baik sebagai mitra dalam proses pembelajaran maupun sebagai sumber daya dalam pengetahuan lokal.
Lingkungan pembelajaran holistik dan kontekstual juga harus inklusif dan berkeadilan, mencakup seluruh siswa tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau kemampuan fisik dan mental. Elemen kuncinya meliputi: Menciptakan lingkungan di mana setiap siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, mendapat akses yang adil terhadap sumber daya pendidikan yang berkualitas; Guru menyesuaikan metode pengajaran berdasarkan kebutuhan dan kemampuan unik setiap siswa, memastikan bahwa semua siswa dapat belajar dengan cara yang sesuai dengan gaya belajar mereka.
Elemen keberlanjutan dalam pendidikan menekankan pentingnya mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan masa depan, seperti krisis lingkungan dan ketidaksetaraan sosial.
Hal ini melibatkan: Kurikulum yang mengajarkan siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan, berpartisipasi dalam proyek keberlanjutan, dan menjadi pemimpin dalam perubahan sosial di komunitas mereka; Siswa diajak untuk memahami isu-isu global, seperti kemiskinan, perubahan iklim, dan ketidaksetaraan, serta terlibat dalam aksi nyata untuk memberikan kontribusi terhadap solusi.
Implikasi Lingkungan Pembelajaran Holistik dan Kontekstual terhadap Pendidikan Berkualitas, Berkeadilan, Inklusif, dan Berkelanjutan. Dengan memberikan ruang untuk otonomi dan inovasi, pendidikan menjadi lebih relevan, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan individu siswa dan komunitas lokal.
Dengan menanamkan nilai-nilai keberlanjutan, pendidikan mempersiapkan siswa untuk menjadi pemimpin masa depan yang peduli pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Pendekatan ini memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa, tanpa memandang perbedaan latar belakang, sehingga mewujudkan sistem pendidikan yang lebih inklusif.
Mewujudkan Pendidikan yang Semakin Inklusif
Melvin Ainscow adalah seorang tokoh terkemuka dalam bidang pendidikan inklusif, yang telah mengembangkan berbagai teori dan pendekatan tentang bagaimana menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif bagi semua siswa.
Salah satu teori utama dari Ainscow adalah bahwa inklusi tidak hanya berkaitan dengan integrasi siswa dengan kebutuhan khusus ke dalam sistem pendidikan yang ada, tetapi lebih pada perubahan sistemik dalam seluruh budaya dan praktik sekolah.
Menurut Ainscow, pendidikan inklusif memerlukan perubahan pada semua aspek sekolah, termasuk kurikulum, pengajaran, penilaian, dan manajemen.
Sekolah harus membangun budaya yang menghargai perbedaan dan memandang keberagaman sebagai sumber kekuatan. Inklusi membutuhkan perubahan dalam cara berpikir dan sikap seluruh komunitas sekolah.
Praktik-praktik pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa. Guru perlu mengembangkan metode pengajaran yang fleksibel dan responsif terhadap beragam gaya belajar dan kebutuhan siswa.
Pendidikan inklusif harus didukung oleh kebijakan sekolah yang jelas dan mendukung. Sekolah perlu merancang kebijakan yang memastikan semua siswa mendapatkan akses yang adil terhadap pembelajaran
Ainscow, bersama Tony Booth dan susunan rekan lainnya, mengembangkan Index for Inclusion, alat yang membantu sekolah untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengatasi hambatan bagi inklusi. Index for Inclusion terdiri dari tiga dimensi utama yang perlu dikembangkan dalam pendidikan inklusif:
Ini berarti menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung inklusi dengan membangun rasa saling menghargai dan kolaborasi di antara semua anggota komunitas sekolah, termasuk siswa, guru, dan staf.
Sekolah harus memiliki kebijakan yang memastikan bahwa semua siswa, tanpa memandang latar belakang atau kebutuhan khusus mereka, dapat berpartisipasi dalam semua aspek pembelajaran dan kegiatan sekolah.
Praktik-praktik pengajaran dan penilaian harus mendukung pembelajaran bagi semua siswa. Guru harus fleksibel dalam metode pengajaran mereka dan menggunakan pendekatan yang memungkinkan setiap siswa mencapai potensi maksimal mereka
Ainscow juga menekankan pentingnya kolaborasi antara guru, orang tua, dan profesional lain, seperti psikolog pendidikan atau terapis, dalam mendukung pendidikan inklusif.
Menurut Ainscow, kolaborasi ini harus berfokus pada pengembangan kapasitas kolektif untuk mendukung pembelajaran semua siswa, khususnya mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Guru tidak boleh bekerja secara individual dalam mengatasi tantangan inklusi, melainkan harus berkolaborasi dengan rekan sejawat untuk merancang dan melaksanakan strategi pembelajaran yang inklusif.
Orang tua harus dilibatkan dalam perencanaan pendidikan anak mereka. Ainscow percaya bahwa orang tua memiliki wawasan yang penting tentang kebutuhan dan potensi anak mereka, yang dapat membantu guru dalam merancang pendidikan yang sesuai.
Ainscow berpendapat bahwa guru harus mengembangkan keterampilan pengajaran yang responsif terhadap kebutuhan beragam siswa di kelas. Konsep ini berkaitan erat dengan pembelajaran diferensiasi, di mana guru menyesuaikan metode dan materi pengajaran untuk mendukung berbagai gaya belajar siswa.
Kurikulum harus fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa, bukan satu ukuran untuk semua. Ainscow menekankan pentingnya modifikasi kurikulum untuk memungkinkan semua siswa mencapai hasil yang optimal.
Guru harus menggunakan berbagai metode pengajaran untuk memastikan semua siswa dapat mengakses materi yang diajarkan. Ini termasuk penggunaan visual, audio, dan kinestetik serta dukungan teknologi.
Ainscow percaya bahwa pendidikan inklusif tidak hanya menuntut perubahan dalam praktik pengajaran, tetapi juga harus disertai dengan pemberdayaan guru dan sekolah secara keseluruhan. Guru harus diberikan pelatihan yang tepat dan dukungan untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan dalam mengajar di lingkungan yang inklusif.
Guru harus dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengelola kelas yang inklusif. Ini termasuk pelatihan dalam pengajaran diferensiasi, manajemen kelas, serta pengembangan empati dan komunikasi yang efektif.
Sekolah harus menyediakan sumber daya yang memadai untuk mendukung pendidikan inklusif, termasuk staf pendukung, perangkat teknologi, dan layanan tambahan seperti konseling atau terapi.
Ainscow juga menekankan pentingnya partisipasi aktif semua siswa dalam semua aspek kehidupan sekolah. Ini berarti bahwa siswa dengan kebutuhan khusus harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kegiatan akademik, sosial, dan ekstrakurikuler.
Pendidikan inklusif menurut Ainscow adalah tentang memastikan bahwa semua siswa memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi pendidikan mereka.
Ini juga melibatkan penciptaan suasana di mana siswa merasa diterima dan dihargai, sehingga mereka dapat berpartisipasi dengan percaya diri.
Guru harus didorong untuk terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan terkait dengan inklusi di sekolah, termasuk dalam pengembangan kebijakan dan praktik yang mendukung inklusi.
Menurut Melvin Ainscow, pendidikan inklusif bukan hanya tentang integrasi siswa dengan kebutuhan khusus, tetapi tentang menciptakan perubahan sistemik dalam seluruh lingkungan sekolah untuk mendukung semua siswa.
Hal ini melibatkan perubahan budaya, kebijakan, dan praktik, serta kolaborasi antar-profesional untuk menciptakan lingkungan belajar yang benar-benar inklusif.
Ainscow percaya bahwa dengan pelatihan yang tepat dan dukungan yang memadai, guru dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa semua siswa, tanpa memandang perbedaan mereka, dapat berhasil dalam pendidikan.
Pendidikan Inklusif dalam Konteks Merdeka Belajar
Pendidikan inklusif dalam konteks Merdeka Belajar menekankan keterlibatan aktif semua peserta didik tanpa diskriminasi. Hal ini mencakup perbedaan dalam hal kemampuan fisik, kognitif, ekonomi, sosial, budaya, dan latar belakang lainnya, sehingga semua siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.
Pendidikan inklusif adalah pendekatan pendidikan yang memastikan bahwa semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau berasal dari kelompok marginal, memiliki akses yang adil dan merata ke pendidikan yang berkualitas. Dalam pendidikan inklusif, perbedaan dipandang sebagai potensi yang memperkaya lingkungan belajar, bukan sebagai hambatan.
Dalam Merdeka Belajar, pendidikan inklusif berfokus pada memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada siswa dan guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung keberagaman dan merespons kebutuhan individu siswa.
Tujuannya adalah membangun sistem pendidikan yang adil dan memberdayakan, di mana semua siswa merasa dihargai dan didukung dalam mencapai potensi maksimal mereka.
Semua siswa, tanpa memandang perbedaan, memiliki hak yang sama atas pendidikan berkualitas. Ini mencakup hak untuk belajar di sekolah reguler bersama teman-teman sebayanya.
Pendidikan inklusif menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran, di mana guru menyesuaikan metode pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan, minat, dan gaya belajar individu.
Lingkungan inklusif melihat keberagaman siswa sebagai sumber daya yang memperkaya pembelajaran dan pengalaman sosial di sekolah. Guru, orang tua, siswa, dan komunitas bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung setiap siswa dalam komunitas yang inklusif.
Aksesibilitas dalam pendidikan inklusif berarti memastikan bahwa semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas fisik, sensorik, atau kognitif, memiliki akses penuh ke seluruh fasilitas dan sumber daya pendidikan. Elemen ini mencakup:
Menyediakan infrastruktur yang ramah disabilitas, seperti akses kursi roda, alat bantu dengar, atau perangkat teknologi yang mendukung. Menyediakan materi pembelajaran dalam berbagai format (cetak, audio, visual) untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan berbagai keterbatasan.
Pembelajaran yang diferensiasi adalah pendekatan di mana guru menyesuaikan strategi pengajaran, materi, dan lingkungan belajar berdasarkan kebutuhan, kemampuan, dan minat individu siswa. Elemen ini meliputi: Menyesuaikan kurikulum untuk memungkinkan semua siswa, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, dapat mengikuti pembelajaran dengan cara yang sesuai dengan kemampuannya.
Guru menggunakan berbagai metode pengajaran, seperti pembelajaran visual, auditif, atau kinestetik, untuk memastikan semua siswa dapat memahami materi dengan cara yang paling efektif bagi mereka.
Pendidikan inklusif memerlukan kolaborasi antara guru, siswa, orang tua, dan anggota komunitas lainnya. Ini berarti melibatkan semua pihak dalam mendukung pembelajaran dan perkembangan siswa, termasuk:
Orang tua berperan aktif dalam mendukung proses belajar anak-anak mereka, termasuk berpartisipasi dalam perencanaan pendidikan dan memberikan masukan terkait kebutuhan khusus anak mereka.
Sekolah bekerja sama dengan lembaga kesehatan, layanan sosial, dan organisasi non-profit untuk menyediakan dukungan tambahan bagi siswa yang membutuhkan, seperti konseling atau terapi.
Pendidikan inklusif menekankan pentingnya mendukung perkembangan sosial-emosional semua siswa, sehingga mereka dapat merasa diterima, dihargai, dan mampu berpartisipasi secara penuh di sekolah. Elemen ini mencakup: Menciptakan lingkungan yang bebas dari diskriminasi, perundungan, dan stigma, sehingga semua siswa merasa aman untuk belajar dan berinteraksi.
Mengajarkan nilai-nilai empati, kerjasama, dan toleransi kepada semua siswa untuk membangun hubungan yang positif dengan teman sekelas dari berbagai latar belakang.
Kebijakan sekolah harus mendukung inklusi dengan menetapkan aturan yang memastikan bahwa tidak ada siswa yang ditolak atau dipinggirkan karena perbedaan mereka. Elemen ini meliputi:
Sekolah harus memiliki kebijakan yang jelas terhadap segala bentuk diskriminasi dan perlakuan tidak adil berdasarkan disabilitas, etnisitas, agama, atau faktor lainnya.
Guru diberikan pelatihan khusus untuk memahami kebutuhan siswa yang beragam dan bagaimana mengelola kelas inklusif dengan efektif.
Penilaian dalam pendidikan inklusif harus menyesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, sehingga setiap individu dapat dinilai secara adil dan proporsional.
Elemen ini mencakup: Penilaian yang fokus pada perkembangan kompetensi siswa secara individual, daripada sekadar membandingkan dengan standar umum; Menggunakan berbagai metode penilaian, seperti penilaian proyek, observasi, atau presentasi, yang memungkinkan semua siswa, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, untuk menunjukkan pemahaman mereka.
Pendidikan inklusif dalam konteks Merdeka Belajar memberikan dampak positif baik untuk siswa, guru, maupun masyarakat luas, antara lain: Dengan memberi akses yang setara kepada semua siswa, pendidikan inklusif memastikan bahwa setiap individu mendapat kesempatan untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka; Dengan melibatkan siswa dari berbagai latar belakang dan kemampuan dalam satu lingkungan belajar, pendidikan inklusif mengajarkan nilai-nilai toleransi, empati, dan solidaritas sosial.
Pendekatan yang lebih personal dan berpusat pada siswa meningkatkan kualitas pengalaman belajar, karena siswa belajar sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar mereka sendiri.
Siswa dan Guru Diterima dan Dihargai secara Holistik dan Autentik
Dalam konteks Merdeka Belajar, penerimaan dan penghargaan secara holistik dan autentik terhadap siswa dan guru memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, adil, dan berfokus pada pengembangan potensi individu secara utuh. Hal ini tercermin dari beberapa elemen kunci yang mendukung prinsip Merdeka Belajar, yaitu kebebasan berpikir, kreativitas, dan otonomi pendidikan.
Dalam Merdeka Belajar, siswa dihargai tidak hanya berdasarkan capaian akademik mereka, tetapi juga dilihat dari seluruh aspek perkembangan diri mereka, seperti kecerdasan emosional, keterampilan sosial, moral, spiritual, dan kreativitas. Penerimaan holistik ini memungkinkan siswa berkembang sesuai dengan karakteristik dan keunikan mereka masing-masing.
Setiap siswa memiliki kekuatan dan tantangan yang berbeda. Merdeka Belajar memberi ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi berbagai potensi yang dimiliki, baik dalam ranah kognitif, emosional, maupun fisik. Siswa dipandang sebagai individu yang memiliki bakat yang unik, dan kurikulum disesuaikan agar bisa menampung kebutuhan tersebut.
Dalam model Merdeka Belajar, pendekatan yang digunakan bersifat “student-centered,” di mana guru berperan sebagai fasilitator. Siswa didorong untuk aktif dalam proses pembelajaran, mengeksplorasi minat mereka, dan terlibat secara langsung dalam menentukan arah pembelajaran mereka.
Guru dalam Merdeka Belajar diberikan ruang yang lebih besar untuk berinovasi dan menggunakan kreativitas dalam pengajaran. Mereka diakui sebagai bagian integral dari sistem yang mampu menciptakan suasana belajar yang inspiratif dan bermakna bagi siswa.
Guru juga dihargai secara holistik melalui pengembangan profesional yang mencakup peningkatan keterampilan pedagogis, pengetahuan bidang studi, serta aspek emosional dan sosial. Merdeka Belajar mendorong guru untuk terus belajar dan berkembang, baik secara akademis maupun dalam keterampilan sosial dan emosional.
Salah satu pilar Merdeka Belajar adalah memberi kebebasan bagi guru dalam merancang metode pembelajaran yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan siswa. Guru diberi kesempatan untuk menyesuaikan metode pengajaran mereka agar lebih relevan, kontekstual, dan responsif terhadap kebutuhan siswa.
Dalam Merdeka Belajar, siswa dengan kebutuhan khusus diterima dan diberikan dukungan yang sesuai. Ini mencakup layanan pendidikan khusus yang memastikan setiap siswa, terlepas dari kemampuan atau tantangannya, mendapatkan hak yang sama untuk belajar dan berkembang.
Siswa tidak hanya dianggap sebagai penerima pasif pengetahuan, tetapi juga sebagai individu yang berhak untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar. Suara siswa dihargai dalam diskusi kelas, pemilihan proyek, serta penentuan metode evaluasi. Ini menciptakan rasa memiliki dan menghargai pembelajaran mereka.
Merdeka Belajar menekankan pentingnya mengakui dan merayakan keberagaman dalam pendidikan. Siswa dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya diterima secara setara. Ini bukan hanya tentang kesetaraan, tetapi juga tentang menciptakan ruang yang menghargai perbedaan sebagai sumber kekayaan intelektual dan pengalaman.
Guru dalam Merdeka Belajar juga dihargai dari sisi emosional dan kesejahteraan mental mereka. Dengan memberikan kebebasan dalam mengajar, guru merasa lebih dihargai secara profesional dan pribadi, yang pada gilirannya memotivasi mereka untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif.
Guru dihargai bukan hanya berdasarkan hasil akademik siswa mereka, tetapi juga melalui dedikasi mereka dalam mendidik siswa dengan cinta dan perhatian. Merdeka Belajar menghargai kerja keras dan komitmen guru dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna dan kontekstual.
Merdeka Belajar mendukung pendidikan yang adil, di mana semua siswa dan guru memiliki akses yang sama terhadap sumber daya pendidikan yang berkualitas. Tidak ada diskriminasi berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi, atau kemampuan akademik.
Merdeka Belajar juga selaras dengan prinsip pendidikan inklusif, di mana setiap siswa, tanpa memandang perbedaan apapun, memiliki hak untuk berpartisipasi dan belajar. Dalam hal ini, guru diharapkan untuk menerapkan pendekatan pembelajaran yang inklusif dan relevan dengan kebutuhan berkelanjutan di masyarakat.
Dengan menghargai keunikan dan kebutuhan siswa dan guru, Merdeka Belajar berusaha menciptakan kualitas pendidikan yang unggul, tidak hanya dalam hal pengetahuan akademik, tetapi juga dalam pengembangan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas
Dalam Merdeka Belajar, penerimaan dan penghargaan terhadap siswa dan guru secara holistik dan autentik menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Siswa dan guru dihargai sebagai individu dengan potensi unik, dan pembelajaran dirancang untuk mendukung perkembangan mereka secara menyeluruh.
Dengan menghargai kebebasan, kreativitas, dan otonomi, Merdeka Belajar membangun fondasi bagi pendidikan yang berkualitas tinggi dan relevan dengan tantangan global masa depan.
Penutup
Pendidikan berkualitas unggul, adil, inklusif, dan berkelanjutan hanya dapat terwujud melalui partisipasi aktif dari seluruh elemen yang terlibat, khususnya peserta didik dan guru.
Merdeka Belajar memberikan kerangka yang memungkinkan setiap individu berperan secara penuh dalam proses pembelajaran, menekankan pentingnya kebebasan berpendapat, kreativitas, dan inovasi dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang dinamis dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Di tengah arus yang cenderung membungkam suara peserta didik dan guru, Merdeka Belajar menjadi platform untuk mengembalikan hak mereka dalam menentukan arah pembelajaran dan mengaktualisasikan diri.
Keterlibatan aktif ini bukan hanya soal mengubah cara belajar dan mengajar, tetapi juga soal memperjuangkan keadilan dan inklusivitas dalam pendidikan.
Ketika suara peserta didik dan guru dihargai, proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan berorientasi pada pengembangan holistik.
Guru yang diberdayakan akan mampu memfasilitasi ruang kelas yang inklusif dan memotivasi siswa untuk berkembang sesuai potensi mereka.
Sebaliknya, peserta didik yang aktif terlibat akan menjadi pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu menghadapi tantangan global dengan kesadaran sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu, memperjuangkan partisipasi aktif dalam Merdeka Belajar adalah langkah penting untuk membentuk generasi yang tidak hanya unggul dalam akademis, tetapi juga berkarakter, adil, inklusif, dan memiliki kesadaran untuk menjaga keberlanjutan kehidupan di masa depan.
Dengan menghargai dan mendengarkan suara peserta didik dan guru, kita membuka jalan menuju pendidikan yang lebih demokratis, relevan, dan manusiawi. Inilah fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan siap menghadapi perubahan.
Daftar Pustaka
Kemendikbud. (2020). Konsep Merdeka Belajar. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ainscow, M., Booth, T., & Dyson, A. (2006). Improving Schools, Developing Inclusion. London: Routledge.
Gibbons, P. (2002). Scaffolding Language, Scaffolding Learning: Teaching Second Language Learners in the Mainstream Classroom. Heinemann.
Mezirow, J. (1997). Transformative Learning: Theory to Practice. New Directions for Adult and Continuing Education.
Ainscow, M., Booth, T., & Dyson, A. (2010). Theories of Inclusive Education. London: Routledge.
Miles, S., & Singal, N. (2019). Education for All and Inclusive Education in International Development: Implications and Challenges. Journal of International Development, 21(2), 1-20.
UNESCO. (2020). Global Education Monitoring Report: Inclusion and Education. Paris: UNESCO Publishing.
Slee, R. (2018). Inclusive Education: From Policy to School Implementation. London: Routledge.
Kemendikbud. (2021). Pedoman Implementasi Merdeka Belajar dan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ainscow, M. (2005). Developing Inclusive Education Systems: What are the Levers for Change?. Journal of Educational Change, 6(2), 109-124.
Ainscow, M., & Miles, S. (2008). Making Education for All Inclusive: Where Next?. Prospects, 38(1), 15-34.
Ainscow, M. (2012). Moving Knowledge Around: Strategies for Fostering Equity within Educational Systems. Journal of Educational Change, 13(3), 289-310.
Fullan, M. (2021). The New Meaning of Educational Change. New York: Teachers College Press.
Darling-Hammond, L. (2019). The Right to Learn: A Blueprint for Creating Schools that Work. San Francisco: Jossey-Bass.
UNESCO. (2021). Education for Sustainable Development Goals: Learning Objectives. Paris: UNESCO Publishing.
Sahlberg, P. (2020). Finnish Lessons 3.0: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?. New York: Teachers College Press.
Suparman, A. (2020). Pendidikan Berbasis Komunitas: Studi Kasus di Sekolah-sekolah Indonesia. Bandung: Penerbit Mutiara Ilmu.
Lickona, T. (2021). Educating for Character: Schools as Learning Communities. New York: Bantam Books.
World Bank. (2022). Community-Based Schools and Educational Reform: Global Perspectives and Local Innovations. Washington DC: The World
World Bank. (2022). Empowering Teachers and Students: Best Practices in Active Participation in Education. Washington DC: The World Bank.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). (2022). Laporan Partisipasi Guru dalam Penyusunan Kebijakan Pendidikan di Era Merdeka Belajar. Jakarta: FSGI Press.
Lembaga Penelitian Pendidikan dan Pembangunan Daerah (LPPPD). (2023). Kreativitas Guru dan Tekanan Asesmen Nasional di Sekolah Dasar. Bandung: LPPPD Journal.
Indonesia Corruption Watch (ICW). (2021). Laporan Partisipasi Siswa dalam Kebijakan Sekolah di Indonesia. Jakarta: ICW Publishing.
Komnas HAM. (2023). Laporan Intimidasi terhadap Guru yang Kritis di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM Press.
Education Policy Review. (2022). Guru dan Kebebasan Mengajar di Era Merdeka Belajar. Yogyakarta: EPR Publishing.