Oleh: Eustakius Kerbiyono Dagur
Catatan Kaki
Ketika kau tidur,
ada tangan tak kelihatan
menorehkan kata asu
di telapak kakimu
dengan bolpoin
yang sudah habis tintanya.
Ah, ini kaki lama.
Kaki baru sedang
kaupakai jalan-jalan
dan berburu kata
di rimba mimpimu.
Mau bangun jam berapa?
Kutunggu kau
di pojok ruang
perpustakaan
yang kesepian itu,
tempat kau dulu
diam-diam nyolong hatiku.
(2019)
Catatan Awal
Sastra merupakan ungkapan rasa estetis manusia dengan memakai bahasa indah sebagai ekspresinya.
Kehadiran sastra itu sendiri tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan manusia. Hal ini didasarkan pada kehadiran dan keberadaan sastra yang selalu kontekstual, di mana diciptakan pada masanya dan selalu berhubungan dengan kehidupan manusia.
Sebuah karya sastra pada dasarnya merupakan suatu pengungkapan kehidupan melalui bentuk bahasa (https://repository.syeekhnurjati.ac.id).
Karya sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang telah dihasilkan, diilhami, dan dirasakan seseorang mengenai segi-segi kehidupan sekitar yang menarik minat secara langsung dan kuat, pada hakikatnya suatu pengungkapan kehidupan manusia melalui bentuk bahasa (Hardjana, 1981:10).
Puisi adalah salah satu bagian dalam sastra. Secara sederhana puisi dapat diartikan sebagai sebentuk ekspresi terhadap situasi tertentu yang dialami seseorang maupun orang lain.
Menurut Waluyo (1993:7), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan batinnya.
Dalam penciptaan puisi seseorang dalam kesanggupannya mesti memilih diksi dan kata yang tepat serta berimajinasi pun berinspirasi dengan memperhatikan situasi tertentu.
Gaya bahasa merupakan salah satu unsur pendukung penciptaan puisi. Gaya bahasa dianggap sebagai ciri atau karakter khas dalam puisi.
Menurut Uti Darmawati (2014:18), gaya bahasa karya sastra yaitu tindakan atau tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Di samping unsur-unsur lain, gaya bahasa turut berperan dalam membangun sebuah karya sastra puisi.
Keberhasilan sebuah puisi bukan hanya bergantung pada apa yang dikatakan, melainkan juga bagaimana cara mengatakan atau menyampaikannya kepada pembaca.
Kalimat-kalimat yang enak untuk dibaca dapat mempengaruhi ungkapan hidup suspense atau peristiwa yang menyimpan rahasia, pemecahan persoalan rumit, atau pengalaman-pengalaman bernuansa kemanusiaan merupakan muatan gaya bahasa yang mampu membuat pembaca terpaku atau terpesona.
Dalam sebuah puisi, tak sedikit orang tidak mengetahui gaya bahasa. Memang ada banyak orang yang membaca dan menikmati puisi, tapi tidak menutup kepastian bahwa unsur pembentuk puisi seperti gaya bahasa dan majas jarang diketahui.
Berangkat dari hal ini, saya mencoba untuk menelisik gaya bahasa yang dipakai penyair dalam penciptaan puisi.
Secara khusus saya menelisik gaya bahasa Personifikasi dan Ironi dalam puisi “Catatan Kaki” karya Joko Pinurbo.
Unsur Personafikasi dan Ironi dalam Puisi “Catatan Kaki” Karya Joko Pinurbo
Puisi “Catatan Kaki” sarat akan makna. Di samping itu, di dalamnya terdapat dua gaya bahasa, yaitu personifikasi dan Ironi.
Pertama, Personifikasi. Personifikasi termasuk dalam gaya bahasa perbandingan. Kata personifikasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu prosopopoeia yang memiliki arti memanusiakan.
Personifikasi juga diambil dari bahasa Inggris yaitu person, yang berarti orang (www.gramedia.com).
Menurut Gorys Keraf (2007:140) personifikasi adalah bahasa kiasan yang digunakan dalam menggambarkan benda mati atau tak bernyawa atau makhluk selain dari manusia, seolah mempunyai sifat serta karakteristik seperti manusia.
Benda mati digambarkan dengan sifat atau situasi yang dialami manusia meski sejatinya benda mati tak memiliki sifat yang digambarkan.
Jadi, personifikasi adalah sebuah gaya bahasa yang menggunakan sifat atau karakter manusia untuk menggambarkan benda mati. Hal ini seolah-olah benda mati memiliki sifat yang dimiliki manusia.
Dalam puisi, tendensi penggunaan personifikasi terjadi karena adanya batasan, sekat atau pemisah antara manusia dengan benda-benda mati.
Gaya bahasa personifikasi dipakai untuk menghilangkan batasan-batasan tersebut, sehingga penyair pun pembaca dapat mencipta, mengerti dan mengapresiasi sebuah karya puisi.
√Analisis Puisi
Mau bangun jam berapa?
Kutunggu kau
Di pojok ruang
Perpustakaan
Yang kesepian itu,
Tempat kau dulu
Diam-diam nyolong hatiku.
Perpustakaan adalah benda mati dan kesepian adalah perasaan atau situasi yang dialami manusia.
Jelas sekali bahwa penyair seolah-olah menjadikan benda mati memiliki perasaan dan menikmati situasi yang dimiliki manusia.
Lebih jauh, “Kau” pada data merujuk pada ‘sosok’ yang sungguh berpengaruh bagi si “Aku”. Sosok tersebut tidak tergantung pada seorang manusia. “Kau” bisa jadi negara atau pemerintahan, ilmu, buku, juga bisa si kecil “Aku”. Perpustakaan yang kesepian itu menandakan situasi lenyap, sunyi, hilang ramai dan suara, juga hilang ilmu.
Kedua, Ironi. Ironi adalah sebuah majas yang digolongkan dalam gaya bahasa pertentangan. Secara sederhana ironi merupakan bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan peristiwa, situasi atau kejadian yang sebenarnya terjadi.
Menurut Gorys Keraf (2007:143), majas ironi merupakan acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Apa yang sebenarnya terjadi justru dinyatakan dengan maksud berlainan.
Di samping itu, penggunaan majas ironi dalam puisi lazimnya dibeberkan dengan kata-kata halus, tapi mempunyai maksud yang kasar, menyinggung dan menyindir.
Maksud yang sebenarnya dari sebuah puisi disematkan melalui penggunaan majas ironi, juga pernyataan yang diutarakan hanya berlawanan dengan fakta.
√Analisis Puisi
Ketika kau tidur,
Ada tangan tak kelihatan
Menorehkan kata asu
Di telapak kakimu
Dengan bolpoin
Yang sudah habis tintanya.
Si “Kau” pada data sedang malakukan tindakan sebagai seorang manusia, yakni tidur.
Sementara ia tidur ada yang menulis sesuatu di telapak kakinya dengan balpoin tapi balpoin tersebut tidak mempunyai tinta. Jelas sekali ironi terjabar dalam puisi tersebut.
Sudah tertulis kata asu tapi balpoinnya tak ada tinta. Itulah yang disebut ironi, ada sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan di sana. Tapi penyair tidak sebatas menulis demikian. Di balik semua itu ada maksud yang hendak ia ketengahkan.
Kesimpulan
Gaya bahasa sangat diperlukan dalam penciptaan karya sastra puisi. Keberadaannya menyiratkan sesuatu yang hendak disampaikan penyair dan tentunya hal ini juga menjadikan sebuah puisi dikatakan menarik.
Melalui analisis sederhana pada puisi “Catatan Kaki” Karya Joko Pinurbo, sekurang-kurangnya ada dua poin penting yang mesti digarisbawahi.
Dua poin tersebut bukan secara khusus menerangkan puisi yang telah ditelaah. Lebih jauh semacam realitas penciptaan puisi zaman sekarang sekaligus komitmen yang mesti dibuat.
Pertama, banyak pencipta puisi tapi tidak berhasil menjadi penyair. Hemat saya, salah satu yang melatarbelakangi itu adalah kurangnya penggunaan gaya bahasa dan majas serta belum maksimal dalam pemilihan diksi dan kata.
Untuk itu, penting bagi siapa saja yang mau mencipta puisi memperhatikan penggunaan gaya bahasa dan majas.
Kedua, banyak penikmat dan pembaca puisi kurang mengerti dengan isi puisi. Ada yang menerjemahkan kata secara harafiah tanpa melihat makna yang berkesinambungan.
Dengan analisis ini setidaknya mengajak para pembaca puisi untuk bisa memahami isi puisi serta gaya bahasa dan majas yang terkandung di dalam puisi.
Dari sana pun diharapkan para pembaca bisa membuat puisi dengan mencantumkan gaya bahasa dan majas.