Oleh: Helena Susanti Bagus
Mahasiswi STIPAS Santo Sirilus Ruteng
Damai itu indah. Semua orang mendambakannya. Kita semua mendambakan keluarga atau komunitas yang damai, masyarakat yang damai, negara yang damai, hubungan antara negara yang damai, dan sebagainnya. Poin yang menjadi bahan refleksi kita selanjutnya adalah soal bagaimana upaya untuk memperoleh kedamaian.
Secara umum ada dua argumen penting untuk menjelaskan upaya untuk mendapatkan perdamaian. Argumen pertama mengatakan bahwa damai merupakan buah dari konflik, pertempuran atau perang.
Heraklitos mengatakan bahwa perang (polemos) merupakan bapak dari segala sesuatu. Perang memiliki dua kekuatan, di satu pihak ia menceraikan, tetapi di lain pihak ia menyatuhkan. Katanya, tatanan masyarakat yang damai merupakan hasil keselarasan antara pihak-pihak yang saling bermusuhan.
Dalam konteks ini, perdamaian (eirene) diperoleh melalui usaha menyingkirkan elemen-elemen yang bertentangan dalam masyarakat. Argumen kedua menegaskan bahwa perdamaian merupakan kodrat manusia. Argumen ini didukung Agustinus. Dalam buku De Civitate Dei, ia menegaskan bahwa perdamaian adalah apa yang dirindukan oleh setiap orang, bahkan oleh setiap makhluk.
Agustinus merefleksikan bahwa ada tiga dimensi perdamaian, yaitu dimensi personal, dimensi sosial dan dimensi teologal. Dalam dimensi personal, manusia memiliki kerinduan untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Dalam dimensi sosial, manusia terdorong untuk berdamai dengan semua orang yang mengitari dirinya. Akhirnya, dalam dimensi teologal, manusia memiliki kerinduan untuk berdamai dengan Allah.
Berdasarkan dua argumen di atas dapat disimpulkan bahwa damai muncul dari kedalaman relasi antara subjek yang mampu memberi ‘ruang’ bagi sesamanya.
Untuk melakukan hal ini harus melewati proses penerimaan, pengakuan, keterlibatan, rekonsiliasi, dan kerja sama. Logikannya, dengan penerimaan terhadap yang lain tentu disertai dengan pengakuan akan hak-hak yang melekat pada orang atau kelompok tersebut.
Pengakuan selanjutnya diwujudkan dengan adanya keterlibatan dalam hidup bersama dan hal itu dimungkinkan jika ada niat tulus untuk berdamai. Ketika ada rasa damai, setiap orang akan tergerak untuk membangun kerja sama.
Dalam semangat kerja sama yang konstruktif dan membebaskan, subjek akan berekembang menjadi agen perdamaian. Namun, harus diakui bahwa untuk menjadi agen perdamaian bukan sekedar retorika karena dalam tataran praksis subjek terkungkung dalam konsep aku yang tertutup. Di sini tentu diperlukan keberanian membuka konsep ‘aku yang tertutup’ ini dengan ‘aku yang terbuka’.
Tanggapan Sosial Membangun Perdamaian melalui Keadalin dan Pengukur
Tanggapan terhadap masalah ketidakadilan ini haruslah bersifat proaktif. Masyarakat perlu mengedepankan dialong dan kolaborasi untuk menciptakan ruang bagi semua pihak.
Pendekatan ini mencakup beberapa langka: pertama, pendidikan untuk kesadaran Sosial. Masyarakat harus diajarkan mengenai pentingnya keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.Pendidikan yang inklusif akan membantu membangun empati dan saling pengertian.
Kedua, Advokasi keadilan. Organisasi masyarakat sipil dan individu perlu berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak kelompok yang terpinggirkan. Ini bisa melalui kampanye, pengacara, atau mediatori yang berkomitmen untuk menciptakan keadilan sosial.
Ketiga, Dialog Interkomunitas. Mengadakan forum-forum dialog antara berbagai kelompok dapat membantu meredakan ketegangan. Melalui pertemuan ini, orang dapat saling mendengarkan dan memahami perspektif satu sama lain.
Keempat, Rekonsiliasi dan Kerja Sama. Mengajak semua pihak untuk terlibat dalam proyek-proyek komunitas dapat membangun rasa persaudaraan. Kerja sama dalam mencapai tujuan bersama akan menciptakan ikatan yang lebih kuat antarindividu.
Kelima, Kampanye Pemberdayaan. Memfasilitasi program pemberdayaan untuk kelompok-kelompok yang terpinggirkan agar mereka memiliki suara dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
Lapisan-lapisan Perdamaian
Supaya damai bisa bermekar dalam hidup bersama maka perlu membongkar aku yang tertutup dengan membangkitkan spirit ke-kita-an. Spirit ini dibangun atas dasar relasi apresiasif dan kolaboratif antara aku dan engkau, yaitu antara subjek yang bebas dan setara.
Dalam spirit ke-kita-a, setiap subjek dengan mantap berkata. “kita ini bersaudara. Kita sama-sama berjuang untuk mewujudkan damai”. Ketika berbicara tentang damai, maka kita perlu melihatnya secara menyeluruh.
Karena itu, ada empat lapis perdamaian: pertama, damai dengan diri sendiri. Di sini orang merasa at home dengan dirinya sendiri. Tentang, bahagia, dan tidak terancam.
Kedua, damai dengan sesama. Dalam lapisan ini, sesama dilihat sebagai sahabat (socius). Dengan demikian akan terwujud ‘societas persahabatan’.
Ketiga, damai dengan lingkungan. Artinya, ada relasi harmonis antara manusia dan lingkungan yang mengitarinnya.
Keempat, adalah damai dengan Tuhan. Orangmerasa aman, terjamin, dan tenang berada bersama-Nya. Dalam terminologi Agustinus, adannya sebuah “persahabatan dengan Allah”, sebuah persahabatan yang dilandasi oleh komunikasi yang intensif.
Pilar-pilar Perdamaian
Perdamaian harus diwujudkan dalam kebenaran, dibangun atas dasar keadilan, dijiwai dengan kasih dan dibawa dalam kebebasan (Lequan, 1998:23).
Pernyataan ini berkaiatan dengan pilar-pilar perdamaian. Pertama, kebenaran. Kebenaran adalah kekuatan perdamaian. jika masyarakat dikondisikan untuk jujur, bicara apa adanya, dan tidak menyebarkan kebohongan, maka dengan sendirinya perdamaian akan ditegakkan. Di sini kebenaran menjadi benteng yang mampu menegakkan perdamaian.
Kedua, keadilan. Keadilan berjalan beriringan dengan perdamaian. keduanya mengupayakan kebaikan pribadi dan bersama. Jika keadilan rusak, perdamaian pun terancam. Berkaitan dengan hal ini, Paus Pius XII mengatakan bahwa Opus Iustitiae Pax “perdamaian merupakan buah dari keadilan”.
Ketiga, kasih. Perdamaian perlu dijiwai oleh kasih. Kasih akan menumbuhkan benih-benih kebaikan seperti saling pengertian, penghargaan, keterbukaan, keterlibatan, dan saling percaya. Lewat benih-benih kasih tersebut, tumbuhlah budaya kasih, bukan kebencian, diskriminasi, dan kekerasan.
Di banyak komunitas, ketidakadilan dan kekerasan masih menjadi masalah yang signifikan. Ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, pekerjaan, dan keadilan hukum seringkali memicu konflik di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Ketika suara kelompok minoritas tidak didengar, atau ketika hak-hak mereka diabaikan, situasi ini dapat berujung pada ketegangan dan kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian sering kali terancam oleh ketidakadilan dan kurangnya pengakuan terhadap keberagaman.