Oleh: Emanuel David Jaweng
Siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
“Memang kehidupan kampung seperti ini, kesalahan seseorang akan menjadi topik yang asyik dan digosip dari rumah ke rumah yang lain. Apalagi dia memiliki jabatan yang terhormat. Mulut warga-warga pedas. Pedas berkali-kali.”
Hari demi hari mereka jalani seperti biasa, seperti matahari menerangi bumi. Ada sapa, ada canda dan ada tawa. Kampung ini sangat harmonis dan ramah. Hampir lima tahun terakhir tidak ada permasalahan antarmasyarakat kampung.
Orang-orang sangat nyaman tinggal di kampug ini, sehingga tidak ada dari mereka pergi merantau kecuali pergi bersekolah di kota.
Pagi hari mereka selalu berbincang ria dan sore hari bercanda tawa sambil menikmati kopi manis dan perginya senja walaupun akan datang lagi.
Orang-orang di sini sangat menikmati kehidupan kampung kecil ini. Kampung itu adalah kampung Sari.
Kampung ini diberi nama Sari, konon ada seorang ibu yang meneriakan anaknya sampai tenggorokannya robek yang bernama Sari. Entah itu betul atau tidak, tetapi sudah menjadi cerita turun-temurun.
Namaku Wawan, aku adalah seorang anak tunggal dalam keluarga sederhana yang selalu menikmati kehidupan kampung sederhana ini.
Aku sudah merajut banyak kisah dengan orang-orang kampung, entah itu kisah pilu atau kisah senang, tetapi hal itu selalu membuatku bahagia.
Di kampung ini orang-orang banyak bekerja sebagai petani. Meskipun kehidupan para petani di kampung kami tidak pernah kesulitan, karena orang-orang di dalamnya saling membantu.
Aku selalu menyatakan kebahagiaanku dengan doa-doa yang kurajut dengan penuh makna.
Orang-orang dari luar jarang sekali datang ke kampung kami, sehingga kampung kami masih tetap aman dan tidak dipengaruhi oleh orang lain.
Kampung ini selalu merajut banyak kisah yang selalu memberikan senyum. Kampung yang selalu menawarkan kebahagian. Mungkin ini alasan lain kampung ini dinamakan Sari.
Ayahku seorang wirausaha dan ibuku seorang guru honor. Ayah saya bernama Arjon dan ibu saya bernama Maria. Suatu pagi ayah memanggil saya dengan nada yang begitu halus, “Wawan sini nak ayah mau bicara denganmu”.
Lalu saya menjawab ayah saya. “ wawan kampung kita akan jadi desa, pemekaran dari desa sebelah dan ayah mau mencalonkan diri menjadi kepala desa”. “ jangan ayah, selama ini kita masih hidup baik-baik dan kita masih hidup berkecukupan buat apa ayah menjadi kepala desa”.
Wawan sangat marah kepada ayahnya tetapi ayahnya masih bersikeras untuk menjadi calon kades (kepala desa). Sejak saat itu, rumahnya berdatangan banyak tamu. Wawan mulai risih dengan hal ini. Kampungnya pun mulai tercemar dengan persoalan politik.
Banyak orang mulai bermusuhan karena urusan politik. Keluarga dekatpun menjadi musuh karena perbedaan pilihan dalam berpolitiik. Kampung yang dulunya baik-baik saja kini menjadi kampung yang tidak harmonis dan saling bermusuhan.
Suatu hari Wawan sangat marah kepada ayahnya “kampung ini begini gara-gara ayah, ayah selalu menghasut orang-orang untuk memilih ayah saya sangat benci dengan ayah.
“Wawan kau masih kecil kau tidak tahu urusan-urusan seperti ini “. Wawan sangat kecewa dengan ayahnya. Ayah yang ia kenal baik kini menjadi ayah yang egois dan sombong. Ayahnya selalu memikirkan kemenangan tanpa memikirkan nasip orang lain.
Tibalah saatnya tanggal pemilihan kades. Pagi-pagi buta orang-orang sangaat ramai di rumah Wawan.
Wawan melihat ayahnya memberikan tumpukan lembar merah dan biru kepada beberapa orang dan memerintahkan mereka untuk dibagikan kepada masyarakat desa.
Wawan menjadi kaget dan melarang ayahnya untuk melakukan politik uang. Tapi ayah Wawan tidak merespons perkataan Wawan. Wawan hanya bisa terdiam dan merenungkan perbuatan ayahnya.
Ayah yang dikenal baik oleh Wawan kini telah sirna oleh datangnya desa baru. Begitu juga Kampung Sari yang dikenal aman-aman saja kini telah sirna dimakan politik.
Politik membuat masyarakat kampung saling bermusuhan dan politik yang membuat orang berubah. Entah siapa yang salah di sini, politik atau orang- orang kampung.
Tibalah hari-hari yang ditunggu selama ini. Waktu itu sore hari. Pemilihan dan perhitungan suara telah usai dan ayah Wawan menang.
Terpilih menjadi kades. Ayah Wawan dan pendukunng ayahnya sangat senang dan bangga. Tapi Wawan hanya bisa merenung dengan perbuatan ayahnya. Sosok ayah yang adil kini telah sirna dimakan oleh datangnya desa baru.
Ayah yang bertahun-tahun dikenal baik di mata Wawan kini menjadi ayah yang jahat dan egois. Pikiran Wawan selalu dihantui kejadian tadi pagi, yang selalu mengatakan benci kepada ayahnya.
Ayah Wawan memang dijuluki sebagai pemimpin yang baik dan dan bijaksana tetapi tidak demikian bagi Wawan, putra tunggalnya.
Wawan masih merenungkan perbuatan ayahnya dua tahun silam, yang membuat goresan luka dalam hatinya. Sejak menjadi kades ayah Wawan selalau sibuk dengan urusannya, urusan yang selalu membuat lupa tentang keluarga.
Meskipun rumah Wawan telah di penuhi berbagai perlengkapan mulai dari lima mobil yang terparkir di garasi kecil sampai pada dapur yang dipenuhi pernak-pernik bagus.
Warga kampung menaruh banyak curiga kepada ayah wawan. Banyak warga kampung mulai mencibir keluarga Wawan. Keluarga Wawan menjadi buah bibir di desa.
Sehingga suatu hari rumah Wawan yang adem dan sunyi, didatangi oleh beberpa polisi dan beberapa orang lainnya yang mencari ayah Wawan.
Wawan merasa kaget dan cemas. Dia hanya bertanya “ada apa dengan ayah saya?”. Wawan memberitahukan kalau ayahnya ada di kantor desa. Polisi-polisi dan beberapa orang lainnya bergegas ke kantor desa. Tiba-tiba tersiarlah kabar diseluruh kampung bahwa ayah Wawan ditangkap polisi karena melakukan korupsi.
Awalnya wawan tidak merespons, tetapi kian banyak orang mengatakan itu. Hingga akhirnya Wawan bergegas kekantor desa bersama ibunya.
Dan Wawan bersama dengan ibunnya melihat dengan mata kepala mereka masing-masing, ayah dan suaminnya ditangkap polisi.
Sehingga Wawan merasa kecewa dengan ayahnya sampai ia tidak bisa berkata-kata.
Sedangkan mama Maria, jatuh terkapar dengan penuh amarah dan penyesalan. Tapi penyesalan mereka hanyalah sebuah isi hati, karena kejadian ini telah menjadi sejarah kampung sari.
Wawan selalau bepikir andai waktu ini bisa diulang kembali mungkin ia akan menjadi pahlawan bagi ayahnya, tapi apalah daya hal ini sudah terjadi.
Ayah dan keluarga kecil Wawan kini menjadi bahan cemoh masyrakat kampung. Menjadi topik yang disukai banyak warga.
Wawan hanya bisa mendengar dan kecewa. Entah siapa yang salah Wawan atau ayahnya. Keluarga Wawan kini menjadi cibiran masyarakat kampung.
Memang kehidupan kampung seperti ini, kesalahan seseorang akan menjadi topik yang asyik dan digosip dari rumah ke rumah yang lain.
Apalagi dia memiliki jabatan yang terhormat. Mulut warga-warga pedas. Pedas berkali-kali. Entah mereka tahu betul permasalahnnya atau tidak, tetapi begitulah suasana kehidupan di kampung.
Hari demi hari Wawan dan ibunya hanya bisa berdoa agar bapa Arjon dapat keluar dari penjara. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, lima bulan setelah bapa Arjon masuk penjara mama Maria meninggal dunia karena jatuh di kamar mandi. Kejadian ini membuat Wawan semakin tersiksa.
Seakan ada batu besar yang menimpanya. Wawan hanya bisa bisa menangis meskipun tidak membuahkan hasil. Kini Wawan tinggal bersama pamannya om Sabri. Hari-hari Wawan dililit banyak luka di hatinya.
Luka yang selalu membekas dalam dirinya. Luka yang mugkin tidak akan pernah sembuh meskipun diobat berkali-kali mugkin hanya bisa sembuh ketika waktu bisa diulang. Kini usia Wawan semakin dewasa dan ia harus berkuliah di kota.
Wawan harus meninggalkan kampung yang penuh pengalaman ini dengan hati yang berat. Wawan harus bisa mengejar mimpinya meskipun dengan hati yang berat.