Oleh: Pater Vinsensius Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Hubungan antara guru dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) mencerminkan peran penting guru dalam proses demokrasi, baik sebagai warga negara yang memiliki hak pilih maupun sebagai agen pembentuk karakter dan pemahaman politik bagi siswa.
Guru memiliki peran strategis dalam mendidik generasi muda untuk memahami pentingnya partisipasi politik yang sehat, serta mengajarkan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, keterbukaan, dan tanggung jawab.
Dalam Pilkada, meskipun guru memiliki hak untuk memilih, mereka diharapkan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan politik atau kekuatan luar, tetapi tetap mengedepankan profesionalisme dan integritas dalam peran mereka sebagai pendidik yang objektif,adil dan inklusif.
Mendikdasmen (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah), Abdul Mu’ti meyadarkan guru agar berpola pikir dan bersikap netral dalam Pilkada karena guru memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan wawasan politik siswa, yang harus dilaksanakan dengan independen dan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Sebagai pendidik, guru harus menjadi teladan dalam bersikap objektif, adil, dan tidak berpihak, agar tidak menciptakan polarisasi di dalam kelas yang dapat merusak keharmonisan dan mengganggu proses belajar mengajar.
Netralitas guru juga penting untuk menjaga integritas dan profesionalisme mereka, serta memastikan bahwa kebijakan pendidikan tetap berjalan tanpa intervensi politik.
Selain itu, dengan menghindari keterlibatan dalam politik praktis, guru dapat lebih fokus pada tugas utama mereka, yaitu mendidik dan mengembangkan potensi siswa tanpa tekanan eksternal, yang pada akhirnya mendukung terciptanya lingkungan pendidikan yang sehat dan bebas dari politisasi.
Politisasi dalam Pendidikan
Fenomena guru atau kepala sekolah yang terlibat dalam mendukung calon bupati atau gubernur dengan iming-iming promosi jabatan jika calon tersebut menang, atau ancaman pemindahan ke daerah terpencil jika calon tersebut kalah, mencerminkan adanya politisasi dalam sistem pendidikan yang sangat merugikan profesionalisme dan integritas pendidikan itu sendiri.
Praktik ini merusak netralitas guru dan kepala sekolah yang seharusnya menjalankan tugasnya berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, bukan berdasarkan kepentingan politik praktis.
Ketika pendidikan dipengaruhi oleh tekanan politik semacam itu, maka kualitas pendidikan dapat terganggu karena guru dan kepala sekolah tidak lagi fokus pada pengembangan siswa, tetapi terjebak dalam permainan politik yang bisa memengaruhi keputusan administratif dan pendidikan.
Fenomena ini tidak hanya merusak kualitas pendidikan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi para pendidik dan siswa, yang pada akhirnya menghambat tujuan pendidikan yang seharusnya memprioritaskan kemajuan intelektual dan moral siswa tanpa adanya campur tangan politik.
Guru yang terlibat dalam politik praktis di Pilkada mungkin dapat memperoleh beberapa keuntungan, baik secara individu maupun dalam konteks masyarakat.
Secara pribadi, keterlibatan dalam politik dapat memberikan guru kesempatan untuk memperluas jejaring sosial dan profesional, serta berperan aktif dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kebijakan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai figur yang dihormati, guru dapat memanfaatkan posisi mereka untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi politik yang sehat kepada siswa dan masyarakat luas, serta dapat memperjuangkan hak-hak mereka sendiri sebagai tenaga pendidik, seperti peningkatan kesejahteraan dan fasilitas pendidikan yang lebih baik.
Dari sisi masyarakat, jika seorang guru memiliki kedudukan politik yang strategis, mereka bisa menjadi penghubung antara dunia pendidikan dan pemerintahan, serta memiliki pengaruh dalam merumuskan kebijakan yang mendukung kemajuan pendidikan.
Namun, meskipun ada beberapa keuntungan ini, keterlibatan dalam politik praktis tetap harus dijalankan dengan hati-hati, mengingat adanya risiko yang dapat mengganggu objektivitas dan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas utamanya sebagai pendidik.
Buruknya kualitas pendidikan di tanah air sering kali disebabkan oleh penerapan kebijakan dan sistem pendidikan yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak profesional dalam bidangnya.
Ketika guru, kepala sekolah, atau penyelenggara pendidikan lebih mengutamakan kepentingan politik, pribadi, atau jabatan daripada kualitas pembelajaran dan pengembangan siswa, maka proses pendidikan menjadi tidak efektif dan tidak berfokus pada kebutuhan nyata peserta didik.
Kurangnya pelatihan, pembaruan kurikulum yang lambat, serta minimnya fasilitas dan dukungan yang memadai bagi pendidik semakin memperburuk situasi ini.
John Hattie dalam bukunya “Visible Learning” (2009) menegaskan bahwa kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas pengajaran dan hubungan profesional antara guru dan siswa.
Tanpa profesionalisme yang kuat dari para pendidik, sulit untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya kualitas hasil pendidikan dan persiapan generasi masa depan untuk menghadapi tantangan global.
Dengan kata lain, tanpa komitmen dan kompetensi yang memadai dari para penyelenggara dan pendidik, sistem pendidikan tidak akan mampu berkembang dan bersaing di tingkat internasional.
Profesionalisme guru yang digadai demi kepentingan politik praktis dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan karena guru seharusnya menjadi panutan dalam menjalankan tugas mereka dengan objektivitas, integritas, dan netralitas.
Ketika guru terlibat dalam politik praktis, baik secara terbuka maupun tersembunyi, mereka dapat terpengaruh oleh agenda politik yang mengutamakan kepentingan sesaat, bukan kepentingan jangka panjang untuk perkembangan karakter dan intelektual siswa.
Ketika guru lebih fokus pada kepentingan politik pribadi, mereka mungkin mengabaikan pengajaran yang berbasis pada keilmuan dan nilai-nilai moral yang seharusnya diajarkan di sekolah, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas pendidikan dan menghambat perkembangan siswa secara menyeluruh.
Integritas Guru
Profesionalisme guru dalam konteks Pilkada sangat terkait dengan kemampuannya untuk menjaga integritas, netralitas, dan objektivitas dalam menjalankan tugas sebagai pendidik, terutama dalam lingkungan yang dapat dipengaruhi oleh dinamika politik.
Sebagai pengabdi masyarakat, guru diharapkan untuk tidak membiarkan pandangan politik pribadi mempengaruhi proses pembelajaran, agar siswa dapat berkembang dengan pemahaman yang bebas dari bias politik.
Menurut David Hargreaves dalam bukunya “Professionalism in Teaching” (1994), profesionalisme guru mencakup kemampuan untuk menjaga etika dalam menjalankan tugas, yang salah satunya adalah menghindari keterlibatan aktif dalam politik praktis yang dapat merusak objektivitas mereka.
Hargreaves menekankan pentingnya guru untuk bersikap netral agar mereka bisa menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran, di mana siswa dihargai sebagai individu dengan kebebasan berpikir yang independen.
Sementara itu, Howard Gardner dalam bukunya “The Disciplined Mind” (1999) juga mengingatkan bahwa guru yang profesional harus mengembangkan pola pikir yang terbuka, sehingga mampu mengajarkan.
Cara terbaik agar guru tetap menjaga netralitasnya dalam Pilkada adalah dengan memberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya profesionalisme dan tanggung jawab mereka sebagai pendidik yang objektif, adil, dan bebas dari pengaruh politik praktis.
Imbauan dari Mendikdasmen memang penting, tetapi tidak cukup hanya sebatas instruksi lisan atau tertulis; perlu ada langkah konkrit untuk mendukung implementasinya, seperti penyuluhan, pelatihan, dan pengawasan yang lebih intensif terkait etika dan kode etik profesi guru.
Selain itu, membangun kesadaran kolektif di antara guru mengenai dampak negatif politisasi pendidikan terhadap kualitas pembelajaran dan perkembangan siswa juga sangat diperlukan.
Guru harus memahami bahwa netralitas bukan hanya soal tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi juga menciptakan lingkungan pembelajaran yang bebas dari tekanan eksternal dan bias politik.
Dukungan dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat juga sangat penting untuk memastikan bahwa guru memiliki kebebasan dan ruang untuk menjalankan peran mereka dengan profesional tanpa harus terlibat dalam politik praktis.
Dalam “Professionalism, Politics, and Education” (2020) karya Dennis R. Judd, pembahasan mengenai etika guru dan keterlibatannya dalam politik praktis di ruang kelas juga sangat relevan.
Judd menyatakan bahwa pendidikan harus tetap bebas dari politisasi, dan guru sebagai agen pembentuk karakter harus memiliki kesadaran akan dampak dari keterlibatan politik terhadap proses pendidikan.
Gagasan Dennis R. Judd memperkuat argumen bahwa netralitas politik sangat penting agar kualitas pendidikan tetap terjaga, terutama dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Profesionalisme, politik, dan pendidikan memiliki hubungan yang kompleks, di mana pendidikan seharusnya dijalankan oleh para pendidik yang berkompeten dan netral, bebas dari pengaruh politik praktis.
Profesionalisme guru dan penyelenggara pendidikan sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil dalam sistem pendidikan didasarkan pada kebutuhan akademis dan perkembangan siswa, bukan kepentingan politik atau kekuasaan.
Ketika politik memasuki ranah pendidikan, misalnya dengan memanfaatkan jabatan pendidikan untuk kepentingan politik tertentu, kualitas pendidikan dapat terganggu, karena fokus para pendidik akan teralihkan dari tujuan utama pendidikan.
Tanpa profesionalisme yang kuat, politik dapat merusak integritas dan objektivitas dalam proses pendidikan, menciptakan ketidakadilan dalam kesempatan belajar dan memperburuk kualitas pembelajaran bagi siswa.
Oleh karena itu, menjaga jarak yang sehat antara politik dan pendidikan sangat penting untuk memastikan keberhasilan pendidikan yang adil dan berkualitas.
Dengan demikian, selain himbauan dari Mendikdasmen, Abdul Mu’ti implementasi netralitas guru juga harus didukung oleh pemahaman, pelatihan profesional, dan kesadaran etika yang kuat, sebagaimana yang tercermin dalam buku-buku tersebut.