Oleh: Pater Vinsensius Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
“Man will become better when you show him what he is like” Anton Chekhow (1860-1904). Ungkapan Anton Chekhov mengandung makna bahwa kesadaran diri adalah langkah pertama untuk perubahan positif.
Dengan menunjukkan kepada seseorang sifat atau perilaku mereka yang sebenarnya, kita memberi mereka kesempatan untuk merefleksikan diri dan menyadari kekurangan yang perlu diperbaiki.
Chekhov menekankan bahwa perubahan sejati datang bukan dari penghakiman atau pemaksaan, tetapi dari kesadaran yang timbul melalui pengungkapan jujur mengenai diri sendiri.
Meskipun Indonesia mengklaim dirinya sebagai Republik Beradab, masih ada saja perilaku biadab yang tercermin dalam tindakan kekerasan, diskriminasi, atau ketidakadilan terhadap sesama.
Perilaku seperti intoleransi, pemaksaan kehendak, dan penindasan terhadap kelompok marginal sering kali muncul, baik di ranah sosial, politik, maupun ekonomi, yang mencoreng citra kemajuan bangsa.
Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun negara sudah memiliki kerangka hukum dan pedoman moral Pancasila yang seharusnya membimbing perilaku warga.
Di tengah upaya menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi, adil, sejahtera, dan beradab, masih ada segelintir orang yang bertindak dengan cara-cara primitif yang merusak tatanan sosial.
Hal ini menuntut kita untuk terus memperjuangkan pendidikan moral dan penegakan hukum yang lebih tegas agar perilaku biadab ini tidak semakin merusak integritas dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendangan Integratif
Beberapa filsuf dan pemikir seperti Rutger Bregman dalam bukunya Humankind, a Hopeful History (2019) menyajikan pandangan optimistis tentang sifat manusia, dengan mengemukakan argumen bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan baik, bukan jahat, meskipun sering kali pandangan tersebut tidak sesuai dengan narasi yang dominan dalam sejarah dan media.
Ia menegaskan bahwa manusia pada dasarnya baik dan beradab, namun kondisi sosial dan lingkunganlah yang mengubah atau merusak sifat tersebut.
Menurut pandangan ini, manusia lahir dengan sifat alami yang baik, seperti kasih sayang, empati, dan kerja sama.
Namun, peradaban dan struktur sosial yang tercipta, seperti ketidaksetaraan, konflik, dan keserakahan, ketamakan bisa mendorong perilaku biadab, tidak manusiawi.
Dalam konteks ini, “beradab” merujuk pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang dihargai dalam masyarakat, seperti keadilan, kasih sayang, dan rasa hormat terhadap sesama.
Jika individu atau kelompok bertindak biadab, itu bisa disebabkan oleh faktor eksternal seperti tekanan sosial, ketidakadilan, atau kebutuhan untuk bertahan hidup dalam kondisi tertentu.
Sebaliknya, ada pandangan yang lebih pesimis tentang sifat dasar manusia, yang berpandangan bahwa manusia cenderung egois dan didorong oleh naluri untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pribadi, bahkan dengan mengorbankan orang lain.
Filsuf seperti Thomas Hobbes menggambarkan manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya bersifat egois dan dalam keadaan alami, mereka akan saling bertindak secara destruktif untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Dalam pandangan ini, perilaku biadab bisa dianggap sebagai akibat dari sifat manusia yang cenderung memilih jalan kekerasan atau manipulasi untuk mencapai tujuan.
Banyak pemikir kontemporer berpendapat bahwa sifat manusia bukanlah sepenuhnya baik atau buruk, tetapi lebih kompleks.
Manusia memiliki kapasitas untuk kebaikan dan keburukan, dan faktor-faktor seperti pendidikan, lingkungan sosial, budaya, dan pengalaman hidup memainkan peran besar dalam membentuk perilaku mereka.
Dalam hal ini, perilaku biadab bisa muncul karena frustrasi, rasa tidak aman, ketakutan, atau kondisi sosial yang menghalangi kemampuan seseorang untuk berperilaku secara beradab.
Penting untuk dicatat bahwa “beradab” atau “biadab” bukan hanya soal nilai-nilai individu, tetapi juga tentang norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Terkadang, tindakan yang dianggap biadab dalam satu budaya atau masyarakat bisa dianggap sah atau bahkan wajar dalam konteks lain.
Ini menunjukkan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya di sekitarnya.
Jadi, meskipun manusia memiliki potensi untuk kebaikan, berbagai faktor eksternal—seperti tekanan sosial, ketidakadilan, dan konflik—bisa membuat individu atau kelompok bertindak secara biadab.
Mencintai Kemanusiaan
Mencintai kemanusiaan di republik beradab merujuk pada sebuah sikap atau nilai yang mengedepankan penghargaan, penghormatan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia, serta upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama dalam suatu negara yang mengutamakan nilai-nilai peradaban dan keadilan.
Di dalam konteks republik beradab, “mencintai kemanusiaan” mencakup lebih dari sekadar belas kasihan atau simpati terhadap orang lain; itu adalah komitmen terhadap prinsip-prinsip yang menghargai martabat manusia dan memastikan bahwa semua warga negara dapat hidup dengan aman, adil, dan bermartabat.
Fransiskus dari Assisi, Sang Guru Kehidupan menyapa semua makhluk hidup sebagai “basaudara.”
Republik beradab adalah negara yang menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara yang beradab berfokus pada nilai-nilai seperti: Keadilan bagi semua warganya, tanpa diskriminasi.
Kebebasan untuk menyuarakan pendapat, beragama, dan menjalani kehidupan yang sejahtera.
Toleransi terhadap perbedaan etnis, agama, budaya, dan pandangan hidup. Kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, dengan pemerataan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi.
Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijunjung tinggi, termasuk hak atas kehidupan, kebebasan, dan keadilan sosial.
Dalam sebuah republik beradab, nilai-nilai kemanusiaan bukan hanya diartikulasikan dalam bentuk undang-undang atau kebijakan, tetapi juga dalam tindakan sehari-hari oleh warga negara dan para pemimpin.
Mencintai kemanusiaan di republik beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai berikut: Menghormati Martabat Manusia.
Ini berarti memperlakukan setiap individu dengan rasa penuh hormat (takzim), tanpa memandang status sosial, latar belakang etnis, agama, atau orientasi seksual.
Menghormati martabat manusia berarti menjaga agar tidak ada orang yang diperlakukan secara tidak adil, dianiaya, atau dikesampingkan hak-haknya.
Peduli terhadap sesama dalam republik yang beradab, masyarakat diajak untuk peduli terhadap sesama, baik dalam situasi sehari-hari maupun dalam hal yang lebih besar seperti membantu mereka yang membutuhkan, seperti korban bencana alam, masyarakat miskin, atau kelompok rentan lainnya.
Memperjuangkan keadilan dan kesetaraan, mencintai kemanusiaan berarti berjuang untuk keadilan sosial—menghilangkan ketidakadilan, diskriminasi, kelaparan, kebodohan dan ketimpangan yang ada.
Dalam konteks republik beradab, ini berarti mengupayakan sistem hukum yang adil, yang memastikan hak-hak setiap individu sebagai manusia dihormati dan dipenuhi.
Prinsip Kerajaan Allah
Yesus Kristus Raja Semesta Alam, dalam ajaran Kristen, adalah simbol kasih Allah yang tak terbatas terhadap umat manusia.
Sebagai Raja yang memerintah bukan dengan kekuatan duniawi, melainkan dengan kasih dan pengorbanan, Kristus menunjukkan bahwa kekuasaan sejati terletak pada pelayanan dan pengorbanan diri.
Dalam hidup-Nya yang penuh dengan kasih, Ia memberikan teladan bagaimana seharusnya manusia hidup dalam kedamaian, saling mengasihi, dan memperjuangkan keadilan.
Pengorbanan-Nya di kayu salib adalah puncak dari cinta-Nya kepada umat manusia, di mana Ia rela menanggung dosa-dosa umat manusia untuk membawa keselamatan.
Cinta-Nya tidak mengenal batas, melampaui semua kekurangan manusia, dan mengundang setiap individu untuk merasakan kedamaian dan kehidupan kekal yang hanya dapat ditemukan dalam hubungan dengan-Nya.
Sebagai Raja Semesta Alam, Kristus memerintah dengan kasih, bukan dengan kekerasan, mengundang setiap orang untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Kerajaan Allah yang penuh dengan kebenaran, kasih, dan damai sejahtera.
Perayaan Yesus Kristus Raja Semesta Alam dalam Gereja Katolik tetap relevan di Indonesia karena mengingatkan kita bahwa Yesus adalah sumber dari segala kebaikan dan keadilan, yang menjadi landasan moral bagi umat manusia.
Dalam konteks negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan, ajaran Kristus yang menekankan kasih, persaudaraan, dan penghargaan terhadap martabat manusia mendukung cita-cita Indonesia sebagai negara yang adil dan beradab.
Kristus sebagai Raja juga mengajarkan pemimpin untuk melayani, bukan untuk dilayani, sejalan dengan nilai-nilai kepemimpinan yang berorientasi pada prorakyat demi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat yang berkelanjutan.
Perayaan ini mengajak umat untuk terus berjuang demi perdamaian, keadilan sosial, dan solidaritas, yang sangat sesuai dengan semangat Pancasila.
Dengan demikian, perayaan Kristus Raja Semesta Alam menjadi sebuah pengingat penting bagi umat Katolik dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mengedepankan nilai-nilai moral dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Selamat merayakan Kristus Raja Semesta Alam, 24 November 2024.