Oleh: Dominikus Zinyo Darling
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Filsafat IFTK Ledalero
Beberapa waktu lalu di kolom gagasan VoxNtt.com, saya pernah menulis artikel yang mengulas tentang kehadiran dunia digital dalam sistem demokrasi (Cyberdemocracy dan Bahaya Para Pendengung Politik. VoxNtt.com, 11/11/2024).
Seperti yang dijelaskan di sana, perkembangan dunia digital telah melahirkan banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan manusia.
Menurut Harari, kemajuan dunia digital yang difasilitasi oleh algoritma big data telah memaksa manusia untuk melaksanakan migrasi besar-besaran ke dunia digital dengan identitas dan makna hidup yang begitu cair (Harari, Homo Deus: 2018).
Lebih lanjut, banyak ahli melihat bahwa migrasi besar-besaran ini cenderung melahirkan suatu fenomena yang dikenal dengan disrupsi (disruption).
Secarah sederhana, era disrupsi dapat dipahami sebagai periode “ketercabutan” yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi super canggih di era digital.
Ketercabutan itu merujuk pada situasi hilangnya kedekatan pada identitas dan nilai-nilai luhur bangsa, khususnya generasi muda.
Ironisnya, meskipun kemajuan dunia digital membantu manusia untuk lebih terbuka terhadap dunia global, hal ini justru menyebabkan generasi kita semakin jauh dari akar budaya dan jatih diri bangsa.
Dalam konteks ini, nasionalisme dihadapkan pada tantangan yang sangat serius. Nasionalisme yang sudah sejak lama mengitegrasikan seluruh masyarakat Indonesia dalam sebuah bangsa kini harus berhadapaan dengan situasi baru, dimana nilai-nilai luhur bangsa berpotensi tercabut bersama kemajuan dunia digital yang difasilitasi oleh algoritma.
Memang, di era digital, algoritma menjadi salah satu kekuatan utama dalam mengendalikan informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Kenyataannya, algoritma cenderung menampilkan budaya-budaya paopuler dari negara-negara yang dominan, sehingga budaya lokal yang mengandung nilai luhur bangsa Indonesia cenderun terpinggirkan.
Selain itu, kenyataan bahwa alogaritma adalah sebuah sistem terintegrasi yang menampilkan pola konsumsi konten yang sesuai dengan minat pengguna sering kali menimbulkan polarisasi dalam masyarakat
Nasionalisme Indonesia vs Algoritma
Nasionalisme dalam pengertian tradisisonal sering kali dikaitkan dengan cinta dan loyalitas terhadap suatu negara atau bangsa.
Ketika membahas sejarah nasionalisme di Indonesia, kita dapat menelusuri akar-akarnya lebih jauh ke masa lampau. Sejarah mencatat bahwa nasionalisme telah ada di Nusantara sejak Kerajaan Majapahit.
Semangat nasionalisme pada era itu dihidupkan oleh Maha Pati Gajah Mada melalui visi globalisasinya yang dikenal dengan Sumpah Palapa. Sumpah tersebut bertujuan menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
Meskipun masih bermuatan politis yaitu untuk memperoleh kekuasaan, hal ini juga tetap menggambarkan kepedulian Maha Pati Gajah Mada untuk menyatukan Indonesia.
Secara lebih tegas, kebangkitan nasionalisme di Indonesia juga ditunjukkan oleh para pemuda Indonesia melalui ikrar “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Ikrar ini kemudian menjadi cikal bakal bakal semangat nasinalisme Indonesia yang menyatukan seluruh tanah air Indonesia, tumpah darah Indonesia dalam sebuah perjuangan untuk membebaskan diri dari tangan penjajah. Semangat nasionalisme adalah suatu “sungai besar, aliran yang menyatukan” (Denny JA, Warna Nasionalisme di Era Algoritma: 2024) seluruh masyarakat Indonesia.
Semangat nasionalisme yang berdasrkan pada perasaan senasib antara leluhur bangsa Indonesia telah membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih kuat dalam menjaga asa untuk mencapai kemerdekaan.
Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kehadiran algoritma telah melahirkan dimensi baru dalam hal nasionalisme Indonesia.
Algoritma di media sosial sudah meleburkan batas-batas nasional dan menjadikannya sebagai entititas tanpa makna yang larut dalam pixel dan kode (Denny JA, Nasionalisme di Era Algoritma: 2024).
Algoritma yang cenderung menampilkan konten yang populer secara global, sering kali mengesampingkan budaya lokal yang mungkin tidak memiliki daya tarik komersial sebesar budaya-budaya dominan.
Hasilnya, kita melihat budaya-budaya tertentu mendominasi ruang digital, sedangkan budaya lokal perlahan tersingkir. Dalam bahasa Antonio Grmasci, seorang filsuf berkebangsaan Italia, hal ini disebut sebagai hegemoni.
Hegemoni budaya global ini dapat dikatakan sebagai bentuk “penjajahan” baru karena tanpa disadari, ia menciptakan penyeragaman budaya di berbagai belahan dunia yang sudah kelihatan tanpa batas.
Bagaimana Menjaga Nasionalisme di Era Algoritma
Sebagai budaya bangsa, nasionalisme tentunya harus terus diwariskan dan diperkuat dalam diri semua masyarakat Indonesia.
Hemat saya, ada dua hal yang bisa saya dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia agar nasionalisme tetetap menjadi kuat dalam diri masyarakat Indonesia.
Pertama, pendidikan literasi digital yang mengedepankan nilai sejarah bangsa Indonesia.
Dalam puisi berjudul Warna Nasionalisme di Era Algoritma (2024), Denny JA sebenarnya dengan tegas mengatakan hal ini.
Literasi digital yang berdasarkan pada budaya nasional dapat membantu masyarakat untuk menyaring informasi yang hendak dikonsumsi.
Literasi digital dapat membantu masyarakat untuk bisa menjadi “tuan atas algoritma” dan bukan sebaliknya.
Kedua, membawa serta sejarah bangsa Indonesia ke ruang digital. Ada sebuah kalimat menarik dalam puisi Denny JA yang berbunyi: “Tapi, di antara getar algoritma dan sinyal digital,/ datang bisikan dari jauh, dari tahun 1928./ Sejarah bersimpuh di hadapannya.”
Hemat saya, kedua kalimat ini juga menunjukkan sikap keterbukaan Denny JA terhadap dunia digital dan algoritma. Kata ‘bisikan’ sebenarnya mengandung sebuah usaha aktif masyarakat untuk membawa nilai sejarah ke dalam ruang digital agar bisa digali bersama.
Dalam konteks ini, Denny JA mengakui bahwa meskipun teknologi membawa tantangan baru bagi identitas nasional, terdapat kesempatan untuk mengidupkan identitas itu melalui ruang digital.
Algoritma yang cerdas dapat digunakan untuk menampilkan konten sejarah yang relevan dan edukatif, sehingga tidak hanya merangkul inovasi tetapi juga menjaga warisan budaya nasional.
Kesimpulan
Di tengah kuatnya dominasi algoritma, nasionalisme tetap relevan dan vital keberadaannya.
Ia adalah sesuatu yang menjadi kekuatan bangsa dan karena itu harus dipertahankan.
Melalui penguatan literasi digital dan kepandaian menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya dan sejarah, kita bisa menjaga identitas nasional.
Kita semestinya terus menguatkan semangat nasionalisme kita sebagai budaya nasional, karena dengan itulah kita tetap berdaya di era algoritma yang hadir sebagai “penjajah” baru untuk mencabut kita dari akar bangsa tercinta, Indonesia.
Rujukan:
Harati, Yuval Noah (2018). Homo Deus: Masa depan Umat Manusia. Terjh. Mustofa, Yanto. Tanggerang: PT. Alvabet.
JA, Denny (2024). Nasionalisme di era Algoritma: Sebuah Puisi.
JA, Denny (2024). Warna Nasionalisme di Era Algoritma: Sebuah Puisi.