Redaksi, Vox NTT-Hampir sebagian besar pemerintah daerah se-daratan Flores telah sepakat untuk mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Tour de Flores (TdF) jilid II yang akan digelar pada tanggal 24-29 Juli 2017.
Namun penyelenggaraan ajang balap sepeda internasional ini masih menyimpan sekelumit persoalan yang belum tuntas diselesaikan.
Sukses yang diklaim sepihak dalam TdF tahun 2016 lalu sebenarnya menyisakan banyak polemik. Selain tidak adanya transparansi pengelolaan dana, beban biaya yang harus dipikul oleh pemerintah daerah juga menjadi masalah pelik. Polemik yang sama pun kembali muncul dalam penyelenggaraan TdF 2017.
Salah satu alasan yang disering disebut pihak penyelenggara dan pemerintah adalah kegiatan ini sebagai ajang promosi wisata Flores ke dunia internasional.
Alasan lain yang sempat mencuat ke permukaan adalah TdF mendukung program kemenko Maritim yaitu Flores Tourism Autority (Pengembangan Pariwisata Flores), mendukung program Wonderful Indonesia, mendukung program propinsi NTT sebagai New Tourism Territory (wilayah pengembangan pariwisata baru), dan mendukung Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata prioritas.
Melalui even TdF katanya dapat memicu peningkatan kunjungan wisatawan ke destinasi wisata di Flores.
Pada dasarnya setiap even yang diselenggarakan demi promosi wisata NTT patut kita dukung.
Namun promosi berlebihan yang tidak dibarengi dengan penguatan infrastruktur sosial dasar seperti jalan, irigasi, air minum bersih, sarana dan prasarana pendidikan serta kesehatan akan berdampak pada ketimpangan sosial dikemudian hari.
Masalah lain adalah rendahnya skill dan SDM masyarakat dalam menyambut gebyar bisnis Pariwisata.
Suatu saat tingkat kunjungan dan investasi pariwisata bisa saja meningkat namun paradoks rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dapat memicu persoalan yang lebih kompleks.
Persoalan ini tidak hanya menyangkut ketidakadilan ekonomi tetapi juga berdampak pada masalah sosial-kemasyarakatan.
Persoalan Pantai Pede di Labuan Bajo serta penyingkiran penduduk lokal dari area destinasi wisata adalah salah satu dampak buruk yang berpotensi melahirkan konflik sosial di masyarakat.
Dalam kancah demokrasi, masalah ini juga akan melahirkan ketimpangan sistemik dalam relasi tiga unsur penting (triangel) pembangunan yakni Pemerintah, Pengusaha (Investor) dan Masyarakat.
Even TdF akan melahirkan ketimpangan dalam hubungan ketiga unsur ini jika tidak diikuti dengan pemberdayaan masyarakat di lingkar destinasi wisata.
Pemerintah dan pengusaha bisa saja menjalin kerja sama di bidang investasi Pariwisata namun masyarakatnya hanya menjadi penonton pasif.
Mereka (masyarakat-red) bahkan tidak tahu bagaimana membangun usaha apalagi membaca peluang dari bisnis ini. Sebagai contoh di Labuan Bajo misalnya pasokan komoditi sayur mayur dan buah-buahan masih didatangkan dari NTB.
Tentu masalah ini akan menimbulkan bencana ekonomi dan sosial dikemudian hari.
Lalu bagaiamana hubungannya dengan TdF? Sikap redaksi mengenai even ini sebenarnya sangat jelas.
Pertama, jika kita ingin Investasi Pariwisata bisa memakmurkan rakyat NTT dan Flores khususnya, maka even TdF atau even-even promosi lainnya belum menjadi prioritas kita saat ini apalagi sampai menggelontorkan dana miliyaran rupiah.
Alasannya jelas bahwa masyarakat sebagai salah satu unsur terpenting dalam investasi belum siap menghadapi persaingan bisnis Pariwisata yang nanti akan meledak di Flores.
Kedua, pemerintah seharusnya mengetahui bahwa investasi modal yang tidak diikuti dengan investasi manusia dan sosial akan berdampak pada ketimpangan sistemik.
Sangat tidak fair rasanya kalau masyarakat Flores yang belum siap secara skill dan SDM harus bersaing dengan orang luar apalagi investor super kaya yang mulai menancapkan modalnya di Flores.
Ketimpangan sistemik ini tentu mendatangkan surga pariwisata bagi elit pemerintah dan investor sementara rakyat akan tenggelam dalam nestapa.
Karena itu jika tidak mau pariwisata menjadi bencana dikemudian hari, mau tidak mau investasi sosial dan manusia Flores harus menjadi prioritas utama.
Pembangunan infrastruktur sosial dasar harus gencar dilakukan disamping revitalisasi kelembagaan sosial masyarakat seperti komunitas adat dan pranata sosial lainnya.
Pembangunan SDM dan skill khusus di bidang pariwisata juga harus menjadi prioritas utama agar kaum muda maupun masyarakat NTT pada umumnya bisa berpartisipasi serta mendapatkan keuntungan dari investasi Pariwisata.
Selain itu pemerintah daerah juga harus mulai mencanangkan penyusunan perda yang langsung bersentuhan dengan pariwisata seperti perda pelarangan menjual tanah bagi masyarakat lokal, perda pengaturan tenaga kerja agar lebih memprioritaskan putra daerah, Perda tentang pemasaran komodoti yang memungkinkan masyarakat memasarkan komoditasnya di hotel, restaurant, kafe, dll
Pariwisata Flores dan NTT pada umumnya hanya akan mendatangkan berkat jika masalah-masalah seperti ini tidak disepelehkan oleh pemerintah.
Tapi jika pemerintah tetap memaksa diri apalagi telah ‘bersekutu’ dengan pemodal, maka tidak berlebihan bagi kita untuk bertanya dan selalu bersikap kritis.
Tidak pula berlebihan jika mengatakan bahwa anggaran promosi yang berlebihan seperti TdF adalah cara sengaja dan sistematis dari perselingkuhan pemerintah dan pemodal untuk menjarah uang rakyat dan Sumber Daya Alam Flores. (Irvan Kurniawan/VoN).