Oleh: INOSENTIUS MANSUR
Sebentar lagi, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan menyelenggarakan pesta demokrasi elektoral bernama pilkada. Sejurus dengan itu, para calon pemimpin mulai rajin “tebar pesona”. Politik tebar pesona ini bukanlah sekadar cara agar dapat “bersua” muka, beradu pandang dengan rakyat.
Lebih dari itu, “tebar pesona” merupakan cara “cari muka” agar mampu menarik simpati rakyat.
Kini, mereka sudah mulai melakukan pendekatan langsung, mencari dan meminta doa restu serta dukungan dari rakyat. Mereka mengorbankan waktu dan tenaga hanya untuk bersafari politik agar dikenal dan dikenang rakyat. Tentu saja dengan harapan mereka nanti bisa terpilih.
Jebakan Politik “Lidah Tak Bertulang”
Saya percaya bahwa para calon pemimpin yang sekarang secara massif mulai melakukan konsolidasi politik merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam banyak hal. Tetapi, keunggulan mereka tak hanya berkaitan dengan kelayakan untuk menjadi pemimpin, namun juga dalam memberikan janji politik.
Kalau kita perhatikan secara cermat, mereka tampil seolah-olah altruis. Mereka sering memberikan janji kepada rakyat. Rakyat pun terpesona dan acapkali mempercayai apa yang mereka katakan (meskipun ada juga yang meragukan mereka dan bahkan sama sekali tidak mempercayai mereka). Semua calon pemimpin menjadi figur yang jago memberi janji-janji manis, rajin bersosialisasi, tampil sebagai figur akomodatif dan responsif-liberatif.
Mereka selalu memanfaatkan segala waktu sebagai momentum tepat untuk memperlihatkan kepedulian terhadap rakyat. Mereka tiba-tiba menjadi semakin dermawan dengan mengorbankan banyak hal untuk membuktikan kecintaan kepada rakyat. Sekilas kita mendapat kesan bahwa mereka adalah figur solutif di tengah ‘kegalauan’ publik saat ini terhadap para pemimpin yang semakin hari semakin tak karuan.
Ya, para calon pemimpin itu menggunakan masa menjelang pilkada ini sebagai masa untuk mendapatkan dukungan dan semakin mempererat relasi dengan rakyat.
Walaupun demikian, rakyat mesti selalu waspada dan menyadari bahwa apa yang tampak menjelang pilkada ini bukanlah merupakan tampilan orisinal para calon pemimpin. Bahwasannya para calon pemimpin tersebut tampak penuh perhatian, tetapi tak bisa disangkal bahwa seringkali itu adalah kepedulian politis semata agar memperoleh simpati dan dukungan politik dari rakyat. (Amat boleh jadi) apa yang mereka tunjukan itu merupakan trik kalkulatif yang berupaya mengelabui rakyat.
Dalamnya laut bisa diukur, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu? Tak seorangpun mampu mendeteksi hasrat terselubung para calon pemimpin.
Kenyataan selalu membenarkan hipotesis bahwa tatkala terpilih, banyak pemimpin tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, tidak akomodatif dan enggan mengadvokasi hak rakyat. Sampai di sini, tepatlah ungkapan ini, honores mutant mores (saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya).
Saat masih menjadi calon pemimpin, mereka menampilkan diri sebagai orang yang bersedia berkorban bagi rakyat, tetapi setelah sah menjadi pemimpin terpilih, malah mengabaikan rakyat. Bahkan tidak jarang kebijakan mereka salah kaprah dan melawan rakyat yang memilih mereka.
Mereka yang saat menjadi calon pemimpin berjanji untuk melakukan apa saja dan tidak mungkin mengabaikan rakyat, setelah menjadi pemimpin malah mencampakan rakyat begitu saja. Ya, memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata.
Calon pemimpin seringkali memainkan politik “lidah tak bertulang” ini secara baik. Mereka berhasil menggaet parhatian dan dukungan politik hanya dengan kata-kata manis. Tetapi harus selalu diingat bahwa kita sedang menikmati ketersesatan politik manakala ucapan dan sikap kekuasaan seringkali mewartakan kebohongan. Janji di podium propaganda politik jauh dari kenyataan (Regus, 2015).
Apa yang dijanjikan seringkali bertolak belakang dengan kenyataan. Rakyat pun masuk dalam jebakan politik “lidah tak bertulang” ala para calon pemimpin. Basis legitimasi yang diberikan saat pilkada justru menjadi basis legitimasi bagi pemimpin untuk berlaku seturut pertimbangan pragmatis. Karena diberi kekuasaan oleh rakyat, para pemimpin selalu dan dengan serta merta memakai basis legitimasi tertentu untuk mengeluarkan kebijakan yang merugikan, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan konteks budaya.
Di sini, pemimpin terpilih lebih menampilkan diri sebagai penguasa otoriter. Maka benarlah jika dikatakan bahwa di satu tangan, politik menjadi sebuah perjuangan tanpa akhir untuk merain kekuasaan tertentu dan direduksi ke dalam model politik yang mengutamakan kekuasaan semata (Kalyvas, 2008). Pemimpin mengabaikan esensi politik dan mendekonstruksinya untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Mengembalikan Hakikat Pilkada
Politik “lidah tak bertulang” sebagaimana telah lazim di negeri ini, termasuk di NTT tidak boleh terjadi lagi. Calon pemimpin yang ingin menjadi pemimpin harus menjadi figur yang jujur, tulus dan tidak boleh berpolitik secara manipulatif. Karena itu, mereka tidak boleh hanya baik saat menjadi menjadi calon, tetapi jika nanti terpilih, harus selalu memperhatikan rakyat.
Mereka harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga mengaktualisasikan komitmen, kesetiaan dan janji politik dengan selalu memperjuangkan kepentingan publik. Mereka mesti memanifestasikan perhatian kepada rakyat dengan mengeluarkan kebijakan yang berbasiskan konteks riil. Andai kemiskinan masih merajalela, ketidakadilan sosial tetap ada, korupsi bertumbuh subur, eksistensi mereka patut diragukan.
Karena itu, mulai saat ini jangan hanya gencar mencari dukungan politis tetapi gencarlah juga untuk menyelami dan memetakan kebutuhkan riil rakyat. Inilah modal berharga yang harus dimiliki calon pemimpin. Hal ini lebih berbobot dari pada hanya memberikan janji manis.
Di atas semua itu, jika nanti terpilih, nyatakanlah kepedulian terhadap rakyat lewat komitmen yang tulus untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan berusaha keras untuk mencapai liberalisasi rakyat. Calon pemimpin tidak boleh mengelabui rakyat dengan tampil seolah-olah baik, seolah-olah bijaksana, seolah-olah altruis, padahal memiliki agenda untuk kepentingan diri dan kelompok. Selamat berjuang, dan jangan menjebak rakyat dengan politik “lidah tak bertulang”.
Pilkada adalah momentum bermartabat dan karenanya calon pemimpin yang berkompetensi dalam pilkada harus mengutamakan politik yang bersandar pada aspek moralitas. Hakikat pilkada adalah keterlibatan langsung rakyat demi mendapatkan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk membawa rakyat kepada kesejahteraan.
Penulis adalah staf pembina di Seminari Tinggi Ritapiret-Maumere, Flores