*Puisi-Puisi Irvan Kurniawan
Ampas
Penat ini terasa sesak. Menikam asa, menyobek lara, menyapu kalbu.
Mungkin akal masih menyimpan angan? Dalam akalku masih tersisa serpihan rindu yang sempat kau tuang dalam secangkir kopi.
Aku tak sengaja menyambar ampasnya bersama rindumu yang kini terasa sesak.
Waktu
Kita masih menyangkal jarak, merajut waktu berhenti sejenak.
Aku putuskan mengakhiri waktu. Lalu kau petik angan dan waktu kita kembali berjalan.
Aku tak kuasa menahan angan yang kau petik di balik senja.
Saat malam, waktu kita kembali berhenti, ternyata bintang mencuri anganmu saat kau terlelap mimpi.
Lihat, di langit ada anganmu yang masih berkedip, dayanya hampir habis.
Kau harus memetiknya lagi, sebelum raja langit melahapnya habis.
(Naimata, 21/05/2016)
Efek Kopimu
Seduh lagi
Secangkir lagi
Hanya ada kopi di pagi ini
Walaupun pahit
Kopimu telah kuaduk rata bersama manismu yang lentik
Aroma kopimu menjadi ingatan terbaik
Ia selalu membebaskan pagiku dari celotehan rindu yang paling pelik
Kukira secangkir kopi ini akan melembutkan sepiku
Kamu mau minum juga kan?
Naimata, 24/07/2016
Kopi Marhaen
Mata susah terpejam
Ada suara yang terpenjara dalam ingatan membentuk kristal sejarah
Suara itu begitu bising,
Gaduh seperti pemberontakan bahasa meretas tembok keangkuhan
Apa itu suaramu?
Tidak.
Suaramu pandai menghilang
Sempat terekam namun sirna dalam ingatan
Suaramu ilusi
Hadir dalam mimpi
Hilang kala terlelap
Masih
Suara itu terus menggema,
mengusik kantuk yang kini merunduk malu
Sejenak aku teringat dengan secangkir kopi yang kuminum sebelum senja
Di dalamnya ada butiran air mata meleleh membentuk kenangan
Aku lupa kopi yang kuminum adalah butiran kisah Si Marhaen yang terlarut dalam kopi
Ada sejarah kelam yang terendam bersama ampas
Ada kisah penindasan yang terlarut dalam kenikmatan
Kisah tentang darah anak manusia yang meringis di balik pahitnya kopi
Kita lupa menyingkap fakta bahwa dibalik secangkir kopi yang kita minum, kita menelan ketidakadilan dan meneguk darah para petani kopi
Masih Tentang Kopi
Katamu, aku telah menjelma kamu dan kamu menjadi aku. Kita adalah aku dan kamu yg diaduk dlm cangkir yang sama.
Itu katamu…
Kataku….
Kamu menjelma segalanya
Kamu adalah apa yg ku lihat, ku dengar, ku hirup, ku sentuh, ku raba, ku bayang….
Namun bukan yang ku minum.
Kamu terlalu manis untuk diadukan bersama aku yang pahit. Nanti manismu tetap mengapung di permukaan cangkir dan pahitku tenggelam di dasarnya.
Kalau ternyata kamu diam-diam menyusup dlm kopiku
Baiknya kita sepakat
Aku yg duluan minum
biar aku meneguk manismu dan kamu menelan pahitku.
(Naimata, 8/6/2016)