Oleh: Johanes Irfandi
Komunitas Kopi Colol-Kupang
Pada tahun 2015 yang lalu kopi arabica dan robusta asal Colol, Kabupaten Manggarai Timur menjuarai kompetisi uji rasa kopi nasional di Banyuwangi, Jawa Timur. Prestasi ini membangkitkan semangat baru bagi para petani untuk terus bekerja bagiproduktifitas kopi yang lebih bermutu dan berdaya saing global.
Dampak kejuaraan itu sekarang mulai terasa. Beberapa bulan terakhir, prestasi ini memicu peluang bisnis yang menjanjikan khususnya produksi kopi dalam bentuk kemasan. Ini merupakan langkah kreatif dan inovatif yang layak diacungkan jempol. Petani tidak hanya mendistribusikan kopi kepada eksportir, melainkan juga memproduksi sendiri dalam bentuk kemasan walaupun bisnis ini hanya dilakukan oleh petani atau pengusaha yang memiliki modal besar.
Di sinilah yang menjadi titik persoalan. Petani yang bermodal rendah hanya mampu menjual kopinya kepada pemilik modal, sementara produksi, distribusi dan pemasaran dikuasai oleh orang-orang berduit. Padahal keuntungan yang lebih besar berasal dari tiga proses ini. Hal ini akan berpeluang pada sistem kapitalisasi pengolahan kopi, yang mana sistem pengelolaan lebih menguntungkan pemilik modal, dari pada masyarakat kebanyakan yang berekonomi pas-pasan. Petani kecil hanya menjadi ‘tukang kebun’ yang berpenghasilan rendah, dari pada menikmati semaraknya bisnis kopi yang mendatangkan keuntungan berlipat-ganda.
Faktanya, petani hanya mampu mengelola kopi dari proses penanaman, perawatan, pemanenan dan pengelolahan kopi menjadi kopi biji sesuai dengan kebiasaan pasar. Kopi yang dihasilkan petani cuma dalam bentuk biji, kulit ari dan kulit merah. Lantas, mengapa masyarakat tidak mampu memproduksi kopi sampai pada tahap kemasan dan pemasaran?
Disamping rendahnya modal, SDM dan pemahaman pasar juga menjadi factor utama ‘kekalahan’ petani dalam pengelolahan kopi. Sistem ekonomi yang berpusat pada modal financial membuat petani kecil tidak mampu bersaing. Selama ini memang sudah ada bantuan pemerintah untuk memberikan alat produksi kopi. Namun basis modal financial masih menjadi masalah pokok yang membuat petani kecil hanya mengais remah-remah dari semaraknya bisnis kopi.
Selama ini, proses pengolahan kopi terbilang prematur yang dipicu faktor ekonomi, adat istiadat dan mentalitas instan masyarakat agar cepat mendatangkan uang. Sedangkan kopi yang dalam bentuk bubuk dan kemasan diolah oleh pemilik modal dengan keuntungan yang jauh lebih besar dari hasil yang diperoleh petani. Tahapan selanjutnya kemasan kopi ini didistribusi ke pasaran lokal, nasional maupun internasional dengan keuntungan yang lebih besar pula. Dalam hal ini ketidakmampuan petani, menjadi peluang bagi pemilik modal untuk melanjutkan proses pengolahan kopi yang lebih menjanjikan.
Mampukah petani kecil mengolah, memproduksi, mendistribusi serta memasarkan kopi sendiri? Inilah yang menjadi tantangan kita ke depan.
Peran BUMDes
Ini merupakan tantangan bagi masyarakat untuk memberdayakan dirinya dan pemerintah untuk memberdayakan petani sehingga mereka bisa mandiri dengan hasil produksi sendiri. Untuk menyukseskan ini tentu tidak bisa hanya dikerjakan sendiri. Salah satunya adalah dengan memberdayakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dimotori oleh pemerintah desa bersama masyarakat. BUMdes dapat menjadi usaha kolektif petani yang berasaskan kekeluargaan, keadilan dan gotong royong. Melalui BUMDes, pemerintah desa dapat membeli kopi langsung dari para petani dengan harga yang transparan serta melalui musyawarah-mufakat.
Setelah itu, BUMDes bisa mendistribusikan langsung kepada eksportir sehingga rantai distribusinya menjadi singkat dengan harga yang lebih bersahabat. Usaha lain misalnya dengan membuat kopi sendiri dalam bentuk kemasan sehingga bisa memenuhi kebutuhan kopi dalam daerah maupun di level nasional.
Keuntungan dari penjualan dan produksi kopi ini menjadi Pendapatan Asli Desa (PADes) yang bisa digunakan untuk pembangunan desa. Dengan demikian, keuntungan kopi tidak hanya dirasakan oleh segelintir kaum bermodal, tetapi bisa dirasakan oleh semua masyarakat desa.
Untuk Pemerintah
Petani juga harus diberi pelatihan uji cita rasa atau “Cupping Test”, pelatihan ini sudah dijalani oleh Koperasi Serba Usaha Asosiasi Petani Kopi Manggarai (KSU Asnikom). Tujuannya agar petani bisa mengenal rasa kopi produksinya sendiri dibandingkan dengan kopi-kopi dari wilayah lain dan petani dapat mengetahui apa yang harus dilakukan agar kopi produksinya memiliki cita rasa yang baik dan disukai konsumen.
Namun Asnikom tentunya tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah daerah diharapkan turut berpartisipasi dalam mendukung pengelolahan kopi milik petani. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi kopi khususnya berkaitan dengan pendanaan, pengetahuan, hokum dan kebijakan. Beberapa tahun terakhir pemerintah Matim melalui dinas perkebunan sudah berpartisipasi dalam mendukung pengelolahan dan produksi kopi dengan memberikan sejumlah alat penggilingan dan tempat penjemuran kopi. Bantuan ini diberikan melalui kelompok petani kopi. Peralatan ini sangat membantu petani menjaga kualitas kopi. Selain itu beberapa petani melalui kerja sama dengan Asnikom dan FECO mengadakan studi banding ke Jawa dan Sumatra. Buah dari studi banding ini sudah banyak masyarakat yang serius membudidaya kopi dan bahkan mereka sangat giat dengan sistem penyambungan kopi atau okulasi demi meningkatkan produktifitas kopi.
Pemberdayaan petani tentu tidak batas sampai disitu saja, perlu ada tindak lanjut dari Pemerintah menggerakkan masyarakat untuk membentuk suatu koperasi usaha masyarakat (KUM). Dengan adanya KUM perlahan mengurangi sistem ijon atau meminjam uang pada bulan paceklik. Belajar dari pengalaman petani kopi dari daerah lain seperti para petani kopi Robusta Lampung terkenal dengan penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia.
Keberhasilan petani kopi robusta Lampung tidak terlepas dari terbentuknya KUM. Dalam hal ini pemerintah hanya sebagai pendorong dan fasilitator, sedangkan petani sendiri yang menjalankan sehingga produksi dan pemasaran kopi sungguh-sungguh dirasakan oleh petani kopi sendiri. Semoga bermanfaat.