Oleh: Irfandi Asam
Danding merupakan bagian dari budaya Manggarai¸ NTT, yang mempertontonkan kompleksitas dalam satu momen. Go’et atau syair pantun adat dan relasi sosial yang harmonis bisa dinikmati sebagai satu paket komplit dalam tarian ini.
Tari Danding merupakan upacara adat/ritual yang merepresentasikan syukuran atas hasil panen yang dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja), ritual tahun baru (penti), atau upacara adat besar lainnya. Danding juga biasa dipentaskan untuk menyambut tamu-tamu penting. Dan yang paling umum, prosesi Danding dijadikan momentum pertemuan keluarga Manggarai.
Danding adalah sebuah tarian serta nyayian dalam bentuk pantun dari kelompok pria, dan kelompok wanita yang menjawabnya ataupun sebaliknya. Lagu atau danding ini sebuah tanya jawab apa yang terjadi di bumi ini dalam kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan danding biasanya pada malam hari, dimana peserta tandak membentuk sebuah linggkaran dan saling berpegangan pundak atau berpelukan dan berjalan sambil mengangkat kaki dan menghentakan kaki ke tanah yang di ketuai oleh seorang yang namanya “Kepala Nggejang” atau pemberi irama gerakan dari lagu atau nyanyian tersebut dan berdiri di tengah lingkaran dengan membunyikan alat Giring-giring.
Namun fenomena yang kita lihat akhir-akhir ini tarian Danding semakin tersingkirkan diakibatkan oleh persoalan internal dan dampak eksternal dari era globalisasi yang tidak dapat dipungkiri. Masuknya budaya asing tanpa ada penyaringan kesesuaian dengan budaya asli kita mengakibatkan semakin menghilangnya budaya luhur yang sudah melekat dalam diri kita. Parahnya lagi, budaya daerah yang ada dan kita junjung tinggi justru semakin kita abaikan malah kita seperti berjalan mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Masyarakat pun ikut terlarut dalam perubahan yang sedemikian dahsyat. Kekuatan fisik tentu saja sangat tidak diandalkan dalam menghadapi dinamika perubahan sosial yang begitu kuat dan berlangsung dalam waktu yang sangat cepat.Tarian Danding pun semakin hari semakin tersingkirkan dan kehilangan fungsinya.
Jaman sekarang kita khususnya generasi muda lebih tertarik pada budaya bangsa lain. Budaya yang tidak menjunjung tinggi nilai etika dan kesopanan. Budaya yang diinginkan generasi muda saat ini seperti segala sesuatu instan, nggak mau ambil pusing, semuanya yang mudah di dapat dan langsung pada hasilnya, tanpa ada sebuah proses.
Tak dapat dipungkiri pula, globalisasi sebagai mainstream system dan praktik hidup manusia modern menjadi trend yang sulit dihindari. Globalisasi dalam seluruh alurnya lalu menghadirkan decak kagum di satu pihak oleh karena pelbagai kemudahan dan kehebatan system yang terbangun dalam bidang ekonomi, budaya, politik dan teknologi. Namun di sisi lain menghadirkan kekuatiran yang tak berkesudahan ketika begitu banyak nilai tergerus dan bahkan kehilangan identitasnya. Arus globalisasi yang begitu kuat menghempaskan pola, system dan praktik nilai yang terdapat dalam budaya dan agama.
Pertanyaan yang sering mengusik hati saya ialah “Akankah tarian danding dan manusia pemiliknya akan tercaplok ke dalam arus besar globalisasi lalu kehilangan jati dirinya? Apakah nilai-nilai luhur dari tarian danding akan tererosi secara sistematis menuju lautan kepunahan? Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar tentunya lahir dari rahim kepedualian akan lestarinya nilai-nilai budaya sehingga dengan demikian, manusia pemiliknya tidak kehilangan jati dirinya atau identitasnya.
Kita boleh hidup di era globalisasi, teknologi canggih boleh saja mengisi seluruh nafas hidup manusia. Tetapi jangan pernah lupa budaya lokal. Nilai budaya yang membentuk karakter kita anak bangsa.
Hal ini merupakan tantangan bagi kita masyarakat maupun pemerintah, kita perlu mempertahankan identitas kita. Kebijakan lembaga pemerintah perlu menghiraukan budaya lokal baik dari segi prinsip maupun tindakan. Implementasi pembangunan yang nyata mendukung pelestarian budaya seperti pembangunan dan festifal budaya manggarai yang perlu rutin dilakukan.
Perlu juga memberikan perhatian untuk sanggar-sanggar budaya melalui dukungan dana APBD. Sanggar memiliki peran yang sangat sentral dalam pemertahanan budaya Manggarai. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain: Pewarisan tarian dan lagu asli Manggarai. Modifikasi tarian dan lagu sesuai dengan jiwa aslinya. Pelestarian benda-benda seni seperti perlengkapan busana tarian, alat musik, dll.
Mempublikasi tarian danding atau tarian budaya lainnya melalui media, karena kajian-kajian yang dipublikasikan dapat memancing refleksi berkelanjutan bagi masyarakat Manggarai untuk memperdalam pengetahuan budayanya dan memperkenalkan Manggarai pada berbudaya lain.
Kita, sebagai manusia pemilik budaya, ada dalam ruang alternatif untuk mempertahankan unsur-unsur positif kebudayaan dan menjadikannya sebagai fundasi nilai bagi kehidupan. Melestarikan budaya, lebih khususnya tarian danding dan melakukan pemertahanan terhadap nilai-nilainya membawa kita kepada kesadaran kritis untuk berbuat sesuatu.