Maumere, VoxNtt.com-Setelah hampir sebulan belum ada tanda-tanda kelanjutan atas mediasi konflik tanah Nanghale, Sikka, NTT, salah satu tokoh perempuan dari masyarakat adat, Yustina Yusminiati Goban kepada media ini Selasa, (18/10) menegaskan bahwa mereka (masyarakat adat) tidak akan mengangkat kaki dari daerah itu.
Yustina mengatakan masyarakat yang ada di bawah Tana Pu’an Suku Soge dan Tana Pu’an Suku Goban yang meliputi dua suku besar Soge dan Goban serta puluhan sub suku akan tetap bertahan di lokasi.
“Nenek moyang kami sudah menyusu dari tanah ini. Oleh karenanya kami dan anak cucu kami akan tetap menyusu dari tanah ini,” ujarnya.
Menurut dia, dari keseluruhan wilayah ulayat yang ada dalam kuasa pengaturan oleh Tana Pu’an Suku Soge dan Tana Pu’an Suku Goban, kawasan Hak Guna Usaha (HGU) adalah kawasan yang paling subur.
“Tanah ini subur, sumber air melimpah. Masa tanah yang subur ini pemerintah mau berikan ke perusahaan gereja sementara kami masyarakat harus mengelolah tanah di gunung yang juga masuk kawasan hutan. Kami sudah lama ditindas. Kami tidak mau keluar!” tegasnya.
Menurut dia, sudah seratus tahun lebih sejak tanah ino dirampas masyarakat adat sebagai pemilik wilayah tidak pernah sejahtera.
“Kami baru mulai merasakan perubahan setelah kami mulai masuk menduduki lahan dan mengusahakannya,” ungkap perempuan dari Suku Watu ini.
Menurutnya, contoh paling nyata bisa dilihat dari tidak ada satu pun masyarakat setempat yang menjadi pimpinan perusahaan.
“Kami ini hanya dijadikan petik dan penjaga,” ujar perempuan yang menghadang buldozer Pemda Sikka saat hendak melakukan penggusuran pada akhir 2014 lalu.
Dalam pertemuan sebelumnya bersama Komnas HAM, konflik tanah yang melibatkan gereja, masyarakat dan pemda Sikka ini dihadiri oleh Bupati dan Wakil Bupati Sikka, Yoseph Ansar Rera dan Paulus Nong Susar, Ketua DPRD Sikka Rafael Raga, serta para pastor yang mewakili PT.Krisrama dan pejabat-pejabat terkait.
Pertemuan ini menghasilkan dua kesepakatan yakni: pertama, proses mediasi akan dilanjutkan dengan pertemuan kedua yang mana waktu dan tempat akan ditentukan oleh Komnas HAM.
Kedua, sebelum pertemuan kedua dilakuan pemerintah perlu membentuk tim gabungan yang terdiri atas unsur Pemerntah Daerah, masyarakat adat dan LSM-LSM yang selama ini mendampingi masyarakat untuk melakukan penelitian lapangan. (Are/Andre/VoN)