Dengan upaya penyelesaian hak-hak korban terorisme masa lalu, ke depan tidak menjadi pekerjaan rumah, termasuk apabila peristiwa terorisme tersebut berulang sehingga persoalan menjadi tidak bertumpuk. Workshop untuk mencari best practice (cara terbaik) dalam hal pemenuhan hak korban tindak pidana terorisme
Jakarta, VoxNtt.Com-Sebagaimana diketahui bersama, aksi terorisme di Indonesia, mulai peristiwa bom Bali I, bom Bali II, bom Hotel JW Marriot, bom di depan Kedutaan Australia, bom di Solo, Cirebon dan di Jalan Thamrin serta peristiwa teroris lainnya yang telah menimbulkan banyak korban jiwa.
Kejadian tersebut dapat menjadi pembelajaran sejauh mana tanggung jawab masyarakat dan negara tidak hanya melakukan pencegahan dan pemberantasan, namun juga harus memberikan perhatian besar terhadap pemulihan penderitaan korban.
“Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia mengajak seluruh elemen untuk mencari cara terbaik dalam penanganan dan pemenuhan hak korban terorisme,” kata Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai pada workshop tingkat nasional dengan tema “Project 0n Supporting Measures To Strengthen The Rights And Role Of Victim Of Terorism Frameworks In Indonesia”.
Workshop yang dilaksanakan di Jakarta (25/10) ini merupakan kerja sama antara LPSK, Kementerian Luar Negeri dan United Nations Office Drugs and Crimes (UNODC)
LPSK melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 13, Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tercantum pada pasal 6 ayat 1 dimana korban memiliki hak memperoleh bantuan medis dan rehabilitasi psikososial, salah satunya korban tindak pidana terorisme.
Ketua LPSK juga mengimbau masyarakat dan para aparat penegak hukum serta kementerian dan lembaga yang terkait, untuk bersama-sama memperhatikan hak korban terorisme.
Penyelenggaraan workshop tingkat nasional ini dilatarbelakangi permasalahan pemenuhan hak korban terorisme masa lalu yang perlu diselesaikan, dan tidak menutup kemungkinan terjadi tindakan terorime yang menimbulkan korban.
“Dengan upaya penyelesaian hak-hak korban terorisme masa lalu, ke depan tidak menjadi pekerjaan rumah, termasuk apabila peristiwa terorisme tersebut berulang sehingga persoalan menjadi tidak bertumpuk. Workshop untuk mencari best practice (cara terbaik) dalam hal pemenuhan hak korban tindak pidana terorisme,” kata Semendawai.
Workshop tingkat nasional ini dihadiri United Nations Office Drugs and Crimes (UNODC) Indonesia, Kementerian Luar Negeri, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RepubIik Indonesia, Komisi VI DPR, Komisi VII DPR, Panitia Khusus RUU Terorisme, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Pembamgunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Ham, Kementerian Keuangan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepolisian Negara Republik Indonesia, RSPAD Gatot Subroto, RSUPN Cipto Mangunkusomo, RS Polri, Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia(Arsada), Asosiasi Korban Bom Indonesia (Askobi), Kejaksaan Agung, Satgas Terptisme dan tindak pidana lintas Negara, BPJS dan Pers. (Ervan/VoN)