Oleh: Herimanto*
Semarak Hari Sumpah pemuda telah kita rayakan pada tanggal 28 Oktober lalu. Beragam aksi dan kegiatan telah dilakukan menyongsong sumpah keramat yang menyatukan Indonesia sebagai suatu bangsa ini.
Momentum ini merupakan sebuah usaha untuk kembali membaca sejarah dan makna dibalik peristiwa yang kemudian menjadi salah satu pedoman terbentuknya negara kesatuan bernama Indonesia.
Dinamikan pasang surut sejarah bangsa ini memang tergolong pelik dengan dinamika yang khas pada setiap fasenya. Kadang pemuda yang hidup tepat di era globalisasi ini tenggelam dalam berbagai tawaran kenikmatan yang datang dari keterbukaan dunia tanpa sekat, ruang dan waktu.
Karena itu tulisan ini selain untuk memaknai Sumpah Pemuda di era global, juga mengandung pesan agar kaum muda sebagai pemegang estafet kepemimpinan masa depan jangan sekali-sekali melupakan sejarah dan makna yang terkandung di dalamnya.
Perlu diingat bahwa Sumpah Pemuda bukan muncul begitu saja, tetapi diawali dengan perjuangan-perjuangan yang masih bersifat kedaerahan dan pengaruh intimidasi dari kolonial.
Seiring perjalanan waktu dan pengaruh pendidikan bagi pemuda Indonesia, maka lahirlah organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 sekaligus sebagai organisasi gerakan pertama dengan tekad untuk mempersiapakan Sumpah Pemuda.Trikoro Dharmo (Jong Jawa), Persatuan Pemuda Sumatera (Jong Sumatera Bond), Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Jong Ambon,Jong Indonesia dan lain-lain adalah organisasi gerakan yang lahir setelah Budi Utomo juga dengan misi yang sama.
Sebagai upaya untuk mempersatukan organisasi pemuda ke dalam sebuah wadah, maka tahun 1926 dilaksanakannya Kongres Pemuda Kesatu yang dilanjutkan dengan pertemuan tanggal 20 bulan Februari 1927 tetapi tidak mencapai kata sepakat.
Pada bulan Mei 1928 kembali diadakan pertemuan dan dilanjutkan pada tanggal 12 Agustus 1928 yang dihadiri oleh seluruh organisasi pemuda dengan mengasilkan keputusan untuk melaksanakan Kongres Pemuda Kedua pada Oktober 1928.
Kongres Pemuda Kedua berlangsung pada tanggal 27-28 Oktober 1928 yang dibagi dalam tiga kali rapat di tiga gedung yang berbeda.Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng).
Ketua PPPI Sugondo Djojopuspito dalam sambutanya berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda.Moehammad Yamin melanjutkan penjelasan tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan untuk berubah.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan.Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah.
Pada rapat ketiga sebagai penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan.
Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Rapat terakhir ini sekaligus menyampaikan tiga poin penting Sumpah Pemuda oleh Mr. Sunario sebagai utusan kepanduan yang dituiskan oleh Moh.Yamin pada selembar kertas.
Isi dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda Kedua adalah sebagai berikut :
PERTAMA: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).
KEDOEA: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).
KETIGA: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).
Globalisasi dan Indonesia
Perkembangan dan sejarah globalisasi bermula dari perjanjian negara-negara besar pada abad ke 19. Bretton Woods adalah sebuah perjanjian untuk menyusun kebijakan moneter internasional sebagai akibat dari pengaruh imperialisme dunia.
Bentuk nyata dari globalisasi ditandai dengan perubahan konsep ruang dan waktu, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantungan sebagai akibat perdagangan internasional.
Peningkatan interaksi cultural melalui media masa dan munculnya persoalan sebagai isu bersama oleh negara-negara yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial negara di setiap belahan dunia.
Dalam konteks kekinian terhadap kondisi negara bangsa kita Indonesia, globalisasi sangat berpengaruh besar terhada semua aspek kehidupan kebangsaan.
Menjadi sebuah hal yang teramat penting untuk kembali merefleksikan di zaman globalisasi ini?.Masih adakah semangat persatuan dan kesatuan Negara bangsaIndonesia? Masih adakah semangat Nasionalisme Indonesia kita?Masih adakah semangat patriotisme pemuda kita?
Sementara di lain sisi masih saja terjadi teror bom di mana-mana. Aksi teror di Thamrin Jakarta 14 Januari 2016 juga di Solo 5 Juli 2016. Kasus penyerangan antar suku di tanah Papua yang terus saja terjadi, tawuran antar warga etnis di Makasar dan juga konflik-konflik agrari terus meningkat tetapi masih terus dipelihara oleh negara.
Kerusuhan dan penjarahan masa pada tahun 1998 di Jakarta dan kekejaman aparat kepolisian terhadap aksi mahasiswa masih saja sering terjadi akhir-akhir ini.Apalagi isu-isu SARA yang terus digulirkan di tengah masyarakat dalam setiap momentum pesta rakyat Indonesia.
Konteks pembangunan perekonomian Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara tetangga di kawasan Asia Tenggara lainnya. Menjadi ironis Indonesia adalah Negara Republik pertama dan terbesar yang memproklamirkan kemerdekaanyapada tanggal 17 Agustus 1945 di kawasan Asia Tenggaratetapi masih sukses sebagai penyumbang TKI terbanyak dengan beragam kasus human traffickingnya.
Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainya, Kemerdekaan Malasiya baru pada tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam, Thailand, dan lain – lain yang tingkat pembangunan perekonomian sudah jauh di atas kita, padahal Indonesia memiliki geopolitik dan geostrategi yang cukup diperhitungkan di ASEAN maupun tingkat dunia.
Dari sisi politik nasional kita yang menganut demokrasi Pancasila sudah tidak berbentuk lagi. Demokrasi yang dibangun sudah keluar nilai-nilai luhur bangsa dan mengarah pada demokrasi suara terbanyak alias demokrasi liberal yang syarat akan kepentingan oligarki kekuasaan dengan capital adalah kekuatan utama demokrasi. UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah (OTDA) sudah mampu membawa Indonesia yang mengarah kepada praktek-praktek feodal (raja-raja) kecil di daerah.
Sementara politisi yang mestinya menjadi panutan bagi generasi muda kita lebih banyak gemar berkelahi di media untuk mencari popularitas diri.
Kebanggan semu yang disematkan oleh publik dunia bahwa Indonesia berhasil melaksanakan demokrasi terbesar dunia sudah membawa kita pada romantisme demokrasi masa kini.
Penegakkan supremasi hukum terlihat jelas penegakan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Seorang nenek mencuri buah senilai kurang dari Rp 10.000,- diganjar penjara 1,5 bulan penjara sementara koruptor yang mengghabiskan uang rakyat miliyaran dan triliunan rupiah bisa diputuskan bebas dan atau lebih ringan dari yang sesuangguhnya.
Ini menandakan bahwa substansi hukum, system hukum dan juga budaya hukum kita memang sudah keluar dari prinsip negara hukum.