Sesuatu terwujud bergantung pada niat, kemauan, dan motivasi dari dalam diri yang terus dipupuk. Demikian kisah hidup seorang mantan napi yang kembali mengasah keterampilannya sejak puluhan tahun yang lalu.
Ende, VoxNtt.com- Adalah Yakobus Mbotu, pria kelahiran Ndungga, Ende, Flores. Pria kelahiran 1966 ini adalah mantan napi pada Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Maumere pada tahun 1988 akibat menabrak seorang siswa di Kota Maumere, Kabupaten Sikka.
Akibat insiden itu dia dijerat dua tahun penjara dan dikenakan remisi dua bulan.
Selama ditahanan, ia menghabiskan waktu untuk mengasah keterampilan di bengkel mebel bersama tahanan lainnya.
Kala itu, ia memilih bidang mebel dengan impian besarnya yakni membuka usaha mebel di kampung halamannya di Kilometer 10, Kecamatan Ende Timur, Kabupaten Ende.
Usai masa tahanan pada tahun 1989, mantan supir taksi ini kembali berpikir niat usahanya. Kesempatan itu menguji konsistensinya ketika masa tahanan.
Wujud nyata dia pun tercapai setelah kembali dari perantauan (Malasyia) pada Tahun 1999. Empat tahun di perantauan sejak tahun 1995 itu, ia mengais nafkah untuk memperolah modal awal.
Waktu itu, sisa uang dalam genggamannya sebesar 200 ribu sebagai modal awal membuka usaha perbenkelan.
Awalnya, ia merasa kesulitan sebab pada masa itu, kendaraan di Kabupaten Ende masih sedikit. Mantan napi ini pun mulai berkreasi membuat pot bunga dan ember berbahan dasar ban bekas.
Selain itu, ia membuat dulang, lampu hias berbahan bambu. Keterampilannya berjalan cukup lama hingga tahun 2005.
“Usaha saya itu karena berkat dari penjara. Saya tekun belajar selama 22 bulan di penjara Maumere. Yang paling penting adalah kemauan dan niat dari hati untuk membuat sesuatu,”Ujar Kobus, demikian ia disapa.
Hasil karyanya itu kemudian dipasarkan di wilayah Kabupaten Ende. Dulang dan lampu hias dari bambu itu menjadi target para konsumen. Sebab, pada masa itu banyak orang belum menggemari bidang itu.
Pendapatan yang ia peroleh saat itu cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya. Setengah pendapatan buah tangannya disisip ke koperasi untuk kebutuhan jangka panjang.
Tahun 2006, usaha ayah dua anak ini, menjadi kerajinan bambu yang digemari masyarakat di Kabupaten Ende. Selain dulang dan lampu hias, ia mulai rajin membuat seruling dari bambu bulu.
Buah tangannya itu dijual di sekolah-sekolah. Selain dijual sebagiannya lagi dibagi gratis ke beberapa sekolah seperti SDK Ndetu Mbawa, sekolah tempat asalnya.
“Saya memberikan hasil itu kepada anak-anak karena sebagai media belajar untuk mereka. Saya tidak merasa rugi sedikitpun. Ini mungkin giliran saya, belum giliran mereka,”Ujar Kobus.
Satu-Satunya di Ende
Pria yang hanya berpendidikan sekolah dasar ini, tidak pernah berhenti bermimpi. Salah satu impian nyata yang masih dirajut hingga saat ini adalah membuat Gong dan gendang. Dua alat musik tradisional ini merupakan pekerjaan buronannya setiap hari.
Menurut informasi yang diperoleh, produksi gong dan gendang satu-satunya di Kabupaten Ende adalah miliknya. Sebelumnya, warga Ende-Lio memesan dua jenis alat musik ini di luar daerah Flores seperti Sumba, Bali dan Jogjakarta.
“Satu-satunya pembuatan gong dan gendang saya sendiri. Banyak orang meminta saya untuk mengikuti pelatihan, tetapi saya menolak itu karena saya sudah ada pengalaman waktu di penjara.”Kata Kobus sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hal serupapun diakui istrinya, Elmalinda Rupa (35). Linda, demikian sapaan istrinya mengatakan, Pemerintah sudah berkali-kali mendatangi kediamannya untuk memprofil usahanya. Ia dan suaminya pun melayani pendataan tersebut.
“Mereka (Pemerintah, red) sudah pernah ke sini untuk data dan kami layani. Hanya untuk ikut pelatihan dia (Kobus) tidak pernah ladeni itu,”Pungkas Linda diakui Kobus.
Kesulitan Not
Yakobus menggambarkan kesulitan not pada pembuatan gong. Untuk menentukan nada yang sesuai (do, re, mi, fa, sol, la, si,) membutuhkan waktu yang sangat lama. Lebih sulit lagi nada fa, la dan si.
Mengatasi itu, ia menjelaskan perlu berhati-hati dan konsentrasi penuh mendengar not secara terus menerus. Kesalahan salah satu not, dapat mempengaruhi bunyi gong secara keseluruhan.
“Kesalahan satu nada dapat mempengaruhi yang lain. Jadi perlu hati-hati,”Pungkasnya.
Selama ini, pria berusia 49 tahun itu mengakui lebih mempelajari tentang bunyi not setiap gong. Mengatur not lebih sulit dibandingkan dengan pembuatan gong. Selain itu, bunyi gong juga dipengaruhi dari ukuran plat yang digunakan.
Plat yang biasa digunakan untuk gong berukuran 1,2 milimeter dan 2 milimeter. Dua ukuran plat ini lebih mudah menentukan not dibandingkan dengan ukuran lain. Sebab, ketebalan dua ukuran plat tersebut sama dengan gong yang biasa digunakan dalam ritual adat Ende-Lio.
“Pilih plat itu harus sesuai karena sangat pengaruh bunyi not. Dua ukuran plat seperti itu biasa digunakan untuk gong disini. Kita juga ragu kalau salah menentukan plat,”Ujar ayah dua anak itu.
Ia menjelaskan pembeli biasa memesan terlebih dahulu sesuai dengan bunyi yang digunakan. Harganya berbeda sesuai dengan diameter gong dan ukuran plat. Ukuran 1,2 mm harganya sebesar 25 juta dengan jumlah 7 buah (satu set). Sementara ukuran 2 mm seharga 30 juta perset.
Bangkit Kembali Budaya
Meskipun pekerjaan serupa bukan berasal dari keturunan, tetapi niatnya untuk membangkitkan kembali budaya lokal sangat besar. Ia menilai budaya lokal saat ini telah digerusi oleh budaya-budaya dari luar.
Menurutnya, budaya Ende-Lio dan Flores secara umumnya dipengaruhi pesatnya perkembangan teknologi. Masyarakat sudah mengandalkan alat-alat musik modern dan mengabaikan musik lokal. Padahal, musik lokal mempunyai nilai culture yang menjadi warisan leluhur.
“Niat saya untuk membangkitkan semangat budaya. Kalau nanti saya mendapatkan rejeki, saya akan mengerjakan gong dan gendang sebanyaknya dan membagikan secara gratis kepada setiap suku.”ujarnya penuh optimis.
Selain itu pula, ia berpesan agar masyarakat Ende untuk kembali menghidupkan sanggar-sanggar musik tradisional. Untuk alat musik, lanjut ia tidak diragukan asalnya memiliki niat yang sama yakni membangkitkan semangat budaya.
Pasalnya, niat dan kemauan harus benar-benar muncul dari hati sehingga dapat diwariskan pada generasi berikutnya. Daerah Flores memiliki budaya yang berbeda dengan budaya lain sehingga, mesti dijaga dan dirawat sesungguhnya.
“Kita beda dengan lain, maka kita harus rawat itu. Daerah kita kaya akan budaya.” Ujarnya singkat.
Dalam setahun, kata Kobus, tiga set gong terjual. Selain hasilnya untuk keperluan rumah tangga juga untuk membangkitkan budaya lokal.
Berkat kerajinannya, saat ini masyarakat terlebih Kepala Suku pada masing-masing daerah sudah mulai memesan gong untuk menghidupkan musik tradisional. Mereka juga tidak susah lagi untuk memesan gong di luar NTT.
Bagaimanapun dalam masyarakat adat di Ende-Lio dan NTT pada umumnya dua alat musik ini yakin gong dan gendang sangat penting dalam upacara adat.
Kesakralan dalam sebuah acara atau ritual adat salah satunya disebabkan bunyian gong dan gendang. Gong dan gendang bahkan menjadi media kesakralan budaya.
“Gong dan gendang ini sangat penting dalam acara adat. Kalau bunyi gong itu menandakan sakral dalam sebuah acara adat,”Ujar Kobus yang mengaku keturunan Mosalaki. (Ian Bala/VoN)
Foto Feature: Yakobus Mbotu sedang mengerjakan alat musik gong di kediamanya, Kecamatan Ende Timur,Kabupaten Ende (Foto: Ian/VoN)