Jakarta,VoxNtt.com– Salah seorang praktisi pendidikan, Indra Charismadji ikut berkomentar terkait wacana penghentian sementara (Moratorium) ujian nasional mulai tahun 2017 mendatang. Program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan nasional tersebut belum bisa terwujud setelah Presiden Joko Widodo meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi kembali mengkaji wacana tersebut.
Indra Charismiadji, kepada VoxNtt.com di Jakarta, pada Jumat (9/12/2016), mengatakan satu hal yang segera dilakukan oleh pemerintah adalah mendesain kerangka pendidikan nasional yang disederhanakan dalam blueprint pendidikan.
“Satu yang perlu diperhatikan adalah bleuprint pendidikan. Jika tak ada, lantas mau dibawa kemana dan seperti apa arah dari pendidikan kita. Ini yang harus diperbaiki dulu,” ujar Indra.
Lebih lanjut, Indra mengatakan penilaian banyak pihak tentang kajian standar ujian nasional Indonesia saat ini efeknya lebih banyak negatif. Meski begitu, menurut dia, apa yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla ada benarnya, mengingat ada daerah-daerah tertentu yang membutuhkan model Ujian Nasional dengan teknis pelaksanaan diserahkan kepada daerah.
Dalam wacananya, untuk SMA sederajat diusulkan ditangani oleh pemerintah provinsi, sedangkan tingkat SD dan SMP ditangani pemerintah kabupaten/kota.
Indra menyayangkan jika hal itu terjadi. Menurut dia, ketika guru diberi kepercayaan, misalkan membuat soal untuk UN, sedangkan guru di banyak daerah belum memiliki standar kompetensi.
“Kalau yang didesain itu 75% soal akan dibuat oleh guru, sedangkan kita tahu guru kita jika berdasar pada hasil kompetensi guru, kualitasnya masih di bawah yang kita harapkan. Lantas bagaimana mereka bisa menguji sisiwanya saat UN, lalu mereka sendiri belum menguasai materi yang akan diujikan kepada siswa,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Indra, terlalu cepat kita berbicara moratorium UN. Dia menyarankan agar pemerintah segera ambil langkah dengan berdiskusi bersama pakar dan tokoh-tokoh pendidikan untuk mendesain sebuah blueprint pendidikan nasional, yang nantinya akan dijadikan sebagai standar pendidikan nasional.
Indra mengatakan memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memperoleh hasil yang maksimal. Tapi, dia optimis jika hal tersebut dilakukan maka hasilnya pun bisa terwujud sesuai harapan.
“Saya kira kita mesti berani melakukan itu, daripada kita sama sekali tak melakukan dan tidak mulai mendesain blueprint pendidikan itu. Kan jadi bingung. Besok lahir ide baru, terus hasil akhirnya tidak tahu kemana, dan yang mau dicapai seperti apa. Kita bisa belajar dari fenomena ini,” tandasnya.
Dia mencontohkan negara yang sama dengan Indonesia adalah Tiongkok. Tiongkok mempunyai program seperti Presiden Jokowi yakni program untuk meningkatkan Pendidikan vokasional.
Tapi yang bedanya, jelas Indra, di Tiongkok telah merubah sedikitnya enam ribu Universitas menjadi Perguruan Tinggi Politeknik. Gebrakan ini dianggap sebagai karya yang jelas, nyata dan terukur karena arahnya untuk merubah ke upaya peningkatan atau pengembangan pendidikan keterampilan.
“Tiongkok mulai dengan pendidikan keterampilan, yang saat ini diyakini mampu menjadi solusi dalam mengurangi angka pengangguran,” ujarnya.
Menurutnya, prestasi pendidikan kita masih rendah bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. “Anak-anak Indonesia, soal sains, matematika dan membaca masih rendah, jauh,” sambungnya.
Lebih lanjut Indra mengatakan, tiga hari yang lalu OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mengeluarkan PISA (Progamme for Internasional Student Assessment) untuk anak-anak sekolah usia 15 tahun di tiga bidang yaknimatematika, sains dan membaca.
Indonesia di PISA tahun 2012 menempati rangking 64 dari 65 negara. Sedangkan tahun 2016 ini, Indonesia berada pada urutan ke-62 dari 70 negara dengan rata-rata yang sama yakni sains, membaca, dan Matematika.
“Hal ini membuktikan bahwa pendidikan kita harus diperbaiki. Negara Singapura punya blueprint. Master plan education itu adalah level satu. Malaysia punya blueprint education, kita punya apa?” pungkasnya.
Sementara, praktisi pendidikan lain, Itje Chodidjah mengatakan ujian nasional selama ini seperti benalu yang kemudian dianggap sebagai obat.
“Ujian Nasional adalah salah satu bagian dari standar evaluasi pendidikan. Ada delapan standar pendidikan nasional yang mestinya jika pemerintah melihat output-nya, tujuh standar lain yang diperlukan sebuah sekolah untuk menyelenggarakan proses pendidikan dipenuhi dulu. Baru kemudian melakukan evaluasi nasional dan itupun hanya untuk kepentingan mengambil data nasional,” kata Itje.
Delapan standar pendidikan nasional mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan. Meliputi; standar isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, standar penilaian pendidikan, dan terakhir standar kompetensi lulusan. (Ervan Tou/VoN)