Pada tanggal 10 Desember 2016 lalu, kontributor VoxNtt.com Sumba Timur berkesempatan mengikuti ritual Puru Lamananga di Desa Wanga dan Desa Patawang, Kabupaten Sumba Timur. Melalui ritual yang diadakan setahun sekali menjelang musim tanam ini, masyarakat adat yang memeluk kepercayaan Marapu menemukan beberapa pesan dari Sang Pencipta lewat ritual tersebut. Berikut laporannya.
Waingapu, VoxNtt.com- Puru Lamananga adalah ritual yang dilakukan oleh penganut agama asli orang Sumba (Marapu) yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah lewat surat dari Kemendikbud Dirjen Kebudayaan nomor : TI 313/f.8/n.1.1/2016.
Pengakuan itu juga tertuang dalam surat penyampaian tanda inventarisasi no 48/f4/pkt/2015 serta SKT dari pemda Sumba Timur dengan nomor BKBP 220/365/B.3/VIII/2015.
Ritual Puru Lamananga merupakan ritual tahunan yang dilakukan menjelang awal musim tanam dimana para penganut Marapu memohon kepada Sang Pencipta agar diturunkan hujan yang cukup untuk dapat bercocok tanam pada musim tanam tahun ini.
Tahapan Ritual
Ritual ini dilakukan dalam 4 tahapan. Tahapan pertama dilakukan pada tanggal 10 Desember 2016 lalu di Mananga atau yang dalam bahasa Indonesia disebut muara, tepatnya di Desa Wanga, Kecamatan Umalulu, Sumba Timur.
“Ritual pada tahap pertama ini disebut Ritual Wuku Maundala kapeika nggili duaka (Lamuru lukuwalu)” tutur Umbu Jhon, salah satu tokoh adat dari marga Lukuwalu.
Dalam ritual ini, hewan kurban terdiri dari 1 ekor kambing dan 19 ekor ayam kampung.
Tahapan kedua, ketiga dan keempat dilakukan pada tanggal 12 desember 2016 di Desa Patawang. Tahapan kedua merupakan ritual Laijari hambalolang patawang reti nimbu (mbarapapa).
Pada tahap ini jumlah hewan kurban 19 ayam dan 1 ekor kambing.
Tahapan ketiga ritual Yela Kara Helli Kalumbang Padanjara. Adapun hewan kurban 7 ayam dan 1 kambing.
Pada tahapan akhir ritual dilakukan di Praingu Kapeka di lolang (mbarapapa). Ritual terakhir adalah ritual kunci/penutup dari keseluruhan rangkaian ritual yang ada. Hewan kurban terdiri dari 7 ekor ayam kampung dan 1 ekor babi.
Rangkaian rituai ini dipimpin oleh seorang “Mauratu” yang bertindak sebagai imam dalam ritual. Mauratu tersebut bernama Mmbu Nengi Kola Mbani.
Pesan Marapu
Dari rangkaian ritual yang dilakukan, tetua adat Marapu kemudian bermusyawarah untuk menyimpulkan pesan yang mereka temukan dalam ritual tersebut.
Pertama, pada musim tanam kali ini hujan tidak seperti beberapa tahun yang lalu dimana curah hujannya cukup. Kali ini akan mengalami kemarau panjang.
Kedua, bahwa pesan Marapu kepada turunannya yang masih hidup agar tetap menjaga dan mempertahankan lingkungan /wilayah ulayat dan atau wilayah kelola yang dimiliki. Baik itu Pahomba, Katoda Padandjara Mananga, hutan dan padang pengembalaan yang dimiliki.
Kesemuanya itu harus tetap seperti semula tidak boleh di rusak apalagi di jual.
Ketiga, apa yang menjadi tujuan yang diinginkan akan tercapai atau terkabulkan setelah membaca uratu manu, uratu wei dan uratu kambing. (Kontributor: Fian Deta/VoN).
Foto Feature: Maurat menyajikan sesajen kepada Marapu (Foto: Fian Deta)