Maumere, VoxNtt.Com– Banyak nama diberikan untuk pemukiman komunitas pemasak garam di Kota Uneng, Maumere.
Saat ini tempat tersebut lebih dikenal dengan nama Kampung Garam. Beberapa lagi menyebutnya Nangalekong, “nanga” berarti muara sementara “leko/lekong” berarti menghindar.
Sebutan ini merujuk pada muara di sebelah timur laut perkampungan yang sering dihindari apabila orang mau mendatangi lokasi tersebut.
Baik Tedorus Minggo (58 tahun) maupun Veronika Nika (87 tahun) mengatakan nenek moyang mereka menamai tempat tersebut “Utan Tudi”.
“Kami sebut Utan Tudi karena banyak tumbuh tanaman yang berdaun runcing dan panjang yang suka tumbuh di dekat air,” ungkap Minggo, Jumat (24/12/2016) lalu.
“Nama dari kami punya bapa mama dulu itu Utan Tudi. Kalau Nangalekong dan Kampung Garam itu orang luar yang kasi nama,” imbuh Veronika Nika.
Utan Tudi alias Kampung Garam saat ini masuk dalam wilayah RT 013/RW 04 Kelurahan Kota Uneng.
Menurut Ketua RT, Petrus Blasing, saat ini terdapat 37 kepala keluarga yang berdiam di wilayahnya dengan total jiwa 234 terdiri atas 53 laki-laki dan 84 perempuan.
“Dua tahun lalu yang masak garam ada 17 keluarga. Tetapi sekarang tinggal 10 keluarga saja,” ungkapnya.
Ritual Hogor Hini
Jumat (23/12/2016) kira-kira sore hari Pukul 15.00 Wita, masyarakat berkumpul di rumah orang paling tua di Kampung Garam, Veronika Nika (87 tahun).
Piter, anak muda yang oleh masyarakat kampung pemasak garam ini didaulat sebagai RT 013/RW 04 tampak sibuk mempersiapkan perlengkapan ritual tahunan Hogor Hini.
Di atas meja tersedia “lida” atau nyiru yang di dalamnya sejumlah tempurung dan piring serta sebotol “moke”, alkohol lokal hasil sulingan nira lontar.
Di dalam masing-masing tempurung diletakkan manu waten (hati ayam), pare hoban (beras), bako koli (lintingan rokok dari daun lontar), bako wolot (tembakau), wua ta’a (sirih pinang), lengi kabor (minyak kelapa), irisan nenas serta telur dan daging ayam yang sudah dimasak. Itulah semua bahan yang dibutuhkan dalam ritual ini.
Selanjutnya di bawah pimpinan Mama Nika, mereka akan berjalan dari kuwu ke kuwu (dari pondok ke pondok tempat memasak garam) sambil membawa “lida”.
Masing-masing keluarga pemilik pondok harus menyiapkan kelapa muda. Selain itu mereka juga harus memancangkan tiang pendek dari bilah bambu atau kayu yang di bagian atasnya dipasangkan potongan pelepah pinang untuk meletakkan sesajen di samping tungku masak dalam pondok.
Ritual akan berakhir di mahe nuba Hogor Hini di sebelah utara pemukiman dekat hutan mangrove.
Ada satu hal yang menarik adalah “pelat kewik mitak” dimana masyarakat dan tamu yang mengikuti upacara tersebut saling menggosok wajah dengan jelaga kuali yang digunakan untuk memasak garam.
Mereka saling berkejaran dan berbalas-balasan seperti kanak-kanak dengan riang gembira. Bagian ini tentunya juga paling diminati anak-anak.
Hogor Hini itu sendiri berasal dari dua kata bahasa Krowe (bahasa ibu dari para pemukim Kampung Garam) yakni “hogor” yang berarti bangkit, berdiri, bangun dan “hini” yang berarti garam.
Menurut Nenek Nika, disebut Hogor Hini karena disini garam yang digunakan untuk memasak garam halus diambil dari tanah.
Nenek moyang mereka menyebut kristal-kristal garam itu bangkit dari tanah. Sebenarnya kristal-kristal garam tersebut terbentuk dari air laut yang menggenangi lahan di sebelah utara pemukiman setelah diuapkan oleh panas matahari.
Ritual ini diselenggarakan setiap tahun pada tanggal (23/12) berdekatan dengan perayaan Natal atau peringatan kelahiran Yesus bagi umat Kristiani.
Pilihan waktu tersebut sudah berlangsung selama beberapa generasi. Veronika Nika mengatakan sejak zaman orang tuanya Hogor Hini diadakan setiap menjelang Natal.
Sejauh ingatannya, terhitung dari generasi orang tuanya maka sudah 5 generasi garis keturuan Veronika Nika berdiam Utan Tudi. Piter sang Ketua RT menduga pemilihan waktu menjelang natal sudah dipengaruhi oleh budaya Katolik.
Syukur dan Do’a
Pilihan waktu Hogor Hini erat kaitannya dengan periode kerja para pemasak garam yakni pada masa jeda.
Di masa lampau, para pemasak garam hanya memasak garam antara bulan Maret sampai dengan September sementara itu Oktober sampai Februari mereka tidak memasak garam dan melakukan pekerjaan lain.
Hal ini dikarenakan bahan dasar untuk menghasilkan garam diambil dari kristal garam di tanah yang mana di musim hujan tanah menjadi basah dan kristal garam sulit terbentuk.
Selain itu tanah yang basah menyulitkan pemasak memisahkan krital garam dan tanah. Dengan demikian, Hogor Hini merupakan kesempatan bagi para pemasak garam untuk bersyukur pada leluhur dan alam atas hasil kerja selama masa kerja sekaligus kesempatan menyegarkan diri dan usaha sembari memohon hasil yang lebih baik.
Menurut mereka “blatan bilar” atau penyegaran melalui ritual ini penting untuk menjauhkan mereka dari penyakit dan masalah sehingga dapat melanjutkan usaha memasak garam dengan lebih baik.
Tahun ini, ada kegelisahan apakah usaha memasak garam akan dilanjutkan atau tidak. Kesulitan akses modal dan bahan baku, kurangnya dukungan perbaikan kualitas serta persaingan pasar menjadi hambatan.
10 keluarga yang masih bertahan memasak garam berharap ada dukungan lebih pemerintah.
“Ujud kami tahun ini yah biar ada dukungan salah satunya dalam bentuk tambak sehingga kami tidak susah beli garam kasar,” ungkap Piter.
Selain itu, ada niat untuk membentuk kelompok mulai dari 10 keluarga tersebut tersebut sehingga mereka tidak harus berjuang sendiri-sendiri.
Piter meyakini, kalau kelompok kecil ini berhasil menciptakan kemajuan maka keluarga-keluarga lain yang sudah tidak memasak garam akan kembali memasak garam dan menjadikan usaha tersebut sebagai sumber penghidupan mereka. (ADP/VoN)
Foto Feature: Veronika Nika sedang meletakkan sesajen di “mahe” yang terletak di sebelah utara Kampung Garam pada puncak pelaksanaan ritual Hogor Hini ,Jumat (23/12/2016)