Ruteng, VoxNtt.com- Awal tahun 2017 ini tabir isu tambang di Manggarai mulai terbuka kembali setelah beberapa tahun terakhir sempat redup.
Reaksi penolakan mulai muncul setelah pemerintah kabupaten (Pemkab) Manggarai menggelar rapat Analisis Menggenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Master Long Mining Resources (MMR) pada 7 Januari lalu.
Perusahan pertambangan ini mengajukan permohonan izin lingkungan untuk melakukan eksplorasi mangan di Blok Nggalak dan Maki, Kecamatan Reok Barat.
Kabar adanya upaya PT MMR tersebut menuai gelombang penolakan dari beberapa pihak. Salah satunya lembaga Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng.
Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kongregasi SVD Ruteng ini pun mendatangi Komisi Penilai AMDAL Kabupaten Manggarai, Rabu (11/1/2017) di kantor RSPD Ruteng. Mereka datang bersama utusan masyarakat dari Nggalak, lokasi dimana yang nantinya akan dilakukan penambangan mangan.
Selain menyampaikan penolakan lisan, JPIC SVD Ruteng juga menyerahkan tanggapan tertulis terhadap permohonan izin AMDAL PT MMR tersebut.
Dalam surat yang ditandatangani Kordinator JPIC SVD Ruteng Pastor Simon Suban Tukan ini menyatakan, mereka menolak rencana kegiatan pertambangan di Desa Nggalak dan Desa Kajong.
Sebagai bahan pertimbangan Pemkab Manggarai, Pastor Simon juga membeberkan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait kasus pertambangan di Manggarai dan Manggarai Timur.
Menurut dia, rekomendasi bernomor; 02.160/K/PMT/VIII/2013 tertanggal 20 Agustus 2013 lalu telah memuat sejumlah pesan penting dalam menjawab pengaduan masyarakat lingkar di Manggarai dan Manggarai Timur.
Salah satu rekomendasi penting yang ditujukan kepada Pemkab Manggarai adalah menghormati dan melindungi hak-hak dan tatanan masyarakat adat.
Simon menegaskan, masyarakat Manggarai mempunyai filosofi hidup yang masih sangat kuat yaitu, Mbaru Bate Ka’eng (rumah sebagai tempat tinggal) dan Uma Bate Duat (lahan/ladang sebagai sumber hidup).
Keduanya sering dipadukan dalam pepatah Gendang One, Lingko Pe’ang (rumah adat di dalam, lahan usaha di luar) dan Natas Bate Labar (halaman kampung untuk kreasi dan perayaan kehidupan). Selain itu filosofi hidup orang Manggarai juga bertautan dengan ungkapan Compang Takung (tugu persembahan) dan Wae Teku (air minum).
“Kelimanya adalah sistem kehidupan yang utuh dan tak terpisahkan dalam hidup masyarakat Manggarai,” beber Simon.
Karena itu, kata dia, Komnas HAM merekomendasi agar Pemkab Manggarai merumuskan peraturan daerah (Perda) atau keputusan bupati yang mengakui, menghormati, dan melindungi masyarakat adat.
“Tua Gendang dan sejumlah tokoh adat dari Nggalak ikut hadir dalam pertemuan dengan Komisioner Komnas HAM di Desa Lente pada awal Agustus 2013, dalam rangka mendengar langsung pengaduan warga lingkar tambang,” tutur Simon.
Sementara itu, Ketua Komisi Penilai AMDAL PT MMR Kabupaten Manggarai Silvanus Hadir mengaku, semangat mereka dengan JPIC SVD sama yaitu menyelamatkan lingkungan.
“Membangun dengan tidak merusak lingkungan. Mengapa kami proses, karena mereka (PT MMR) mengajukan AMDAL. Hasil nanti bisa positif, bisa negatif. Kalau nanti hasilnya banyak yang negatif maka kami pasti rekomendasi tidak layak,” ujar Silvanus dalam kesempatan diskusi. (Ardy Abba/VoN)