Oleh: Florianus Sambi Dede
Setahun terakhir, media pemberitaan yang ada di Nusa Tenggara Timur terus menyajikan pemberitaan terkait kasus korupsi Aset Sitaan Negara PT Sagared di Desa Benu, Kabupaten Kupang.
Kasus ini memang menarik karena ada aktor-aktor jaksa yang terlibat dan disebut-sebut terlibat kasus ini.
Awal Kisah
Adalah seorang Paulus Watang, pedagang alat-alat pertanian dan besi tua di Kota Kupang menjadi salah satu tersangka yang kemudian dijerat oleh pihak kejaksaan tinggi NTT (Kejati NTT) atas kasus dugaan korupsi aset sitaan negara PT Sagared.
PT Sagared merupakan perusahaan penambangan dan pabrik marmer, terletak di Desa Benu Kecamatan, Takari Kabupaten Kupang yang kemudian disita negara terkait kasus pembobolan Bank BNI.
Aset PT Sagared Team kemudian disita berdasarkan surat perintah kepala kejaksaan negeri Jakarta Selatan No. Prin-160/O.1.14/Ft.1/09/2004 dan penetapan pengadilan negeri Jakarta selatan No. 097/Pid.B/2004/PN.Jak.Sel serta surat perintah kepala kejaksaan negeri Jakarta Selatan No. Prin- 20/O.1.14/Ft.1/03/2005 dan penetapan pengadilan negeri Jakarta selatan No. 1982/Pid.B/2004/PN.Jak.Sel.
Kasus ini bermula ketika Paulus Watang didatangi oleh seorang suruhan Jaksa (Edu Nawi) dan kemudian Jaksa DRL di kediaman Paulus Watang untuk menawarkan besi-besi tua dari eks aset PT Sagared.
Pada saat itu, Paulus Watang sempat bertanya soal legalitas dari besi-besi tersebut serta soal penanggung jawab.
Jaksa DRL kemudian menjawab bahwa besi-besi tersebut tidak bermasalah (legal) dan menyatakan diri siap bertanggung jawab.
Lebih lanjut, memperkuat persoalan penjualan besi seperti yang ditawarkan ini, maka Jaksa DRL membawa Paulus Watang bertemu Aspidsus Kejati NTT, Gasper Kase dan bertemu pula dengan Kepala Kejati NTT pada saat itu, John W. Purba.
BACA: Memburu Peran John Purba dan Gaspar Kase dalam Kasus PT. Sagared
Dari pertemuan-pertemuan tersebut, dibuatlah Surat Perintah (Sprint) Kepala Kejati NTT tahun 2015 untuk mengangkut barang-barang tersebut dari lokasi di desa Benu.
Surat Perintah yang sama ternyata bukan saja di tahun 2015, tapi sudah ada sejak tahun 2011 dan 2014 dengan “modus” mengamankan dan mengakut ke dari Lokasi Pabrik ke Kantor Kejaksaan Tinggi NTT.
Tapi sampai hari ini tidak ada satu batang besi pun yang terlihat di kantor tersebut.
Kembali ke pertemuan tadi, dalam pertemuan itu membahas dan tawar-menawar soal harga, soal proposal dan bahkan meyakinkan Paulus Watang dengan kalimat-kalimat seperti: “barang itu legal dan dianggap hilang saja”.
Pertemuan dengan oknum kejati NTT bukan saja terjadi di kantor kejati NTT, tetapi juga di Hotel Aston Kupang.
BACA: Getar Nusa Ungkap Misteri Dibalik Mutasinya Kajati NTT
Adapun sebagian hasil penjualan besi-besi tersebut bukan saja diterima Jaksa DRL namun juga sang Aspidsus Kejati NTT baik berupa uang maupun berupa bangku, semen yang kemudian disumbangkan ke Gereja.
Dari fakta persidangan terungkap bahwa besi-besi itu sudah dijual layaknya barang legal dan bahkan mungkin dengan gaya tawar menawar yang sama sudah dilakukan sejak tahun 2011 lalu.
Tahun 2015 masalah ini kemudian muncul ke permukaan. Entah mengapa, Paulus Watang yang saat itu sudah mengeluarkan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan dalam berbagai pertemuan tersebut dijerat merugikan keuangan negara.
Kemudian pada tanggal 05 Desember 2016 ditutuntut tindak pidana korupsi secara bersama-sama, dengan pidana 12 tahun penjara, denda 500.000.000,-, serta membayar uang pengganti 3.988.550.000,- atau disita harta bendanya atau ditambah penjara 10 tahun.
BACA: PMKRI Sebut Petinggi Kejati NTT Terlibat Kasus Jual Aset Negara
Pada tahapan akhir peradilan di Pengadilan Tipikor Kupang 10 Januari 2017, Majelis Hakim memutuskan Paulus Watang bersalah dan divonis 9 tahun penjara.
Tak hanya itu, Paulus Watang juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta wajib mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 3,988 miliar. Jika tidak mengembalikan selama satu bulan, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun.
Lebih mengerikan lagi, harapan akan proses hukum yang jurdil menjadi catatan tersendiri dari kasus ini.
Adalah seorang Jaksa melakukan tindakan pengrusakan rumah dan pemukulan terhadap keluarga Paulus Watang saat menjalankan tugas lalu melakukan publikasi informasi pada media-media seolah-olah sudah melakukan tugas sesuai Protap/SOP yang benar.
Anehnya lagi jaksa penuntut umum dalam kasus ini memobilisasi masa keluarga jaksa pada saat persidangan di pengadilan dan melakukan berbagai aksi-aksi mencoreng marwah sebuah peradilan seperti foto selfie saat persidangan, melakukan kegaduhan dan bahkan beraduh mulut dengan pihak yang sedang menjalani proses hukum.
Mirisnya ketika aksi ini dilakukan oleh keluarga jaksa penuntut umum yang disinyalir punya sentimen pribadi dengan Paulus Watang.
Kita pun kemudian bertanya: “ada apa sebenarnya? Kok jaksa memobilisasi keluarga terkait kasus yang menyeret oknum kejaksaan? Pertanyaan yang mendalam lagi, apa mungkin kejaksaan tinggi NTT berani mengungkap keterlibatan Gaspar Kase dan John Purba yang secara terbuka disebut berulang-ulang dalam persidangan?
Jawaban itu sudah terkuak bahwasanya kejati NTT tidak berani bahkan menyembunyikan keterlibatan orang penting dalam tubuh kejaksaaan itu sendiri.
Lonceng Kematian Hukum
Berdasarkan kronologi dan fakta persidangan, kasus korupsi aset sitaan negara PT Sagared secara telanjang menampilkan bahwa selain Jaksa DRL, ada peran Aspidsus Gasper Kase dan mantan Kepala Kejati NTT, John W. Purba.
Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti seperti rekaman video dan rekaman suara serta keterangan saksi di persidangan.
Lantas mengapa mereka tidak tersentuh hukum dan terkesan dilindungi dalam proses terkait kasus ini? Apakah ini mempertegas bahwasannya hukum hanyalah tajam ke bawah lalu tumpul ke atas?
Atau, apakah hal ini sedang mensosialisasikan pada publik bahwasannya di republik ini ada lapisan elemen bangsa yang kebal hukum?
BACA: Hakim Dinilai Tidak Profesional dalam Putusan Paulus Watang
Jika demikian, dengan semangat reformasi hukum yang sedang gencar dilakukan oleh pemerintahan saat ini maka segala elemen masyarakat perlu dan harus mengawal dan mengontrol roda sistem penegakan hukum yang ada, mengawal kerja dan dinamika aktor-aktor penegak hukum yang ada.
Mengawal bukan berarti membela tindakan korupsi, mengawal bukan menghalang-halangi proses hukum. Namun, mengawal berarti mencintai hukum yang jurdil; bahwa yang benar tetaplah benar dan yang salah tetaplah salah tanpa mengkambing-hitamkan pihak lain atas kebobrokan yang terjadi dalam tubuh kejaksaaan tinggi NTT.
Sebagai pertanyaan penutup untuk kita publik Nusa Tenggara Timur: mungkinkah kasus korupsi aset sitaan negara PT Sagared ini menjadi bagian dari rapor merah penegakan hukum di NTT? Apakah ini menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa NTT tetap menjadi salah satu daerah terkorup di Indonesia?
Mari menyikapi kasus ini dengan kaca mata objektif berbasis hukum yang jurdil sehingga kita dapat menaikan bendera hukum yang jurdil pula.
Mari secara jelih mendengarkan dan membedakan diantara teriakan kejujuran hukum dengan suara teriakan “maling teriak maling”.
Dan pada akhirnya kita berharap tak ada Paulus Watang-Paulus Watang Lainnya yang akan mengalami masalah yang sama. Tuhan dan Leluhur memberkati kita dan Bumi Flobamora tercinta.
Penulis adalah aktivis anti korupsi GETAR NUSA.