Maumere, Vox NTT- Bagi pastor Lorens Noi, Pr gereja Katolik bukan hanya semata-mata tentang perayaan, melainkan juga gereja perjuangan.
“Gereja Katolik bukan gereja perayaan saja tetapi gereja perjuangan. Kita diutus ke dalam medan-medan perjuangan hidup,” ujarnya kepada VoxNtt.Com saat ditemui di Pastoran Paroki St. Thomas Morus, Kamis (12/1/2017) pagi.
Gereja sebagai komunitas harus mewujudkan kehadiran Allah dalam bentuk pelayanan kasih kepada sesama melalui aksi solidaritas.
Menurutnya, solidaritas adalah aktus yang bersumber dari ajaran Yesus tentang cinta dan kasih.
“Solidaritas Allah terhadap manusia yang paling agung itu terwujud dalam peristiwa kelahiran Yesus di mana Allah menjadi manusia,” ujarnya.
Natal atau reinkarnasi Allah adalah cara Allah bersolidaritas dengan penderitaan manusia.
Oleh karena itu, manusia juga harus melanjutkannya dengan berbuat baik pada sesama, membantu sesama yang menderita.
“Seperti Yesus katakan; ketika aku lapar kamu memberi aku makan, ketika aku haus kamu memberi aku makan,ketik aku seorang asing kamu memberi aku tumpangan dan ketika aku seorang tahanan kamu melawati aku,” ujarnya merujuk pada salah satu perikop dalam injil.
Solidaritas Allah kepada manusia inilah yang menjadi dasar mengapa dirinya menganggap penting untuk membangun solidaritas antarsesama.
Kunjungan Rumah sebagi Riset Awal
“Pernah saya berkunjung ke rumah seorang janda tua di Beru dan disambut dengan isak tangis. Ibu itu mengaku sampai dengan umur 70 tahun lebih baru kali itu ada pastor yang berkunjung ke rumahnya,” cerita Pastor Lorens.
Sampai dengan saat ini, imam asal Bajawa tersebut telah mengunjungi lebih dari 2000 keluarga Katolik di paroki St. Thomas Morus, salah satu dari tiga paroki yang berada di dalam wilayah Kota Maumere.
“Totalnya ada 3.000 lebih keluarga dan kurang lebih 16.000 jiwa,” ungkapnya.
Kunjungan ke rumah-rumah tersebut merupakan program yang dijalankannya sejak awal ditugaskan di paroki yang berada di Kota Maumere tersebut.
Program kunjungan ke rumah-rumah umat dan keluarga-keluarga dalam paroki tidak datang dengan sendirinya.
Awal tahun 2011, ketika pertama kali ditugaskan ke Paroki St. Thomas Morus, Rm. Lorens sedang sakit.
Pelayanan sakramen yang menjadi tugasnya terpaksa dibantu oleh rekan sesama pastor .
“Beberapa bulan saya tidak memimpin misa untuk umat. Tetapi setiap hari saya lakukan misa pribadi dan meditasi,” ungkapnya.
Dari sanalah lahir keinginan untuk berkunjung ke Komunitas Umat Basis (KUB) di paroki tersebut.
Saat dirinya sudah cukup sehat, rencana kunjungan diumumkan. Kunjungan dilakukan berdasarkan permintaan dari KUB. Artinya, tidak ada paksaan.
“Dengan datang langsung ke rumah-rumah kita bisa tahu kondisi umat; bagaimna rumahnya, ada siapa saja di rumah,” pungkasnya.
Baginya kunjungan rumah itu seperti riset sederhana untuk mengetahui keadaan umat yang dipimpinnya.
Dari kunjungan itu bisa diketahui kondisi rumah, keluarga dan apa problem umat serta bagaimana dirinya sebagai gembala harus memposisikan diri.
Ada suami yang pergi merantau, ada janda yang harus berjuang sendiri menghidupi anak-anak, bahkan ada keluarga-keluarga yang hidup dalam rumah yang sangat tidak layak.
Yang membuatnya terpukul adalah ketika ia menemukan umat yang tinggal dalam rumah yang sangat tidak layak; sebagian berdinding lempengan plat drum bekas di bagian depan dan samping, sementara sebagian lagi memanfaatkan tembok pagar lahan milik pengusaha keturunan Tionghoa sebagai dinding belakang.
Inilah yang memaksanya mengundang Dewan Pastoral Paroki (DPP) untuk membahas program aksi solidaritas.
Kesepakatan pun diperoleh. Langkah paling pertama adalah mengamankan dana hasil derma setiap minggu. Sebagian dari dana tersebut didepositkan untuk aksi soidaritas.
Tujuan didepositkan agar ada pos yang terpisah, ada bunga yang juga bisa digunakan, dan dapat digunakan tanpa harus meminta aksi spontanitas umat.
Enam Gereja Terbakar
“Ada 6 gereja yang terbakar, kita semua harus mengulurkan tangan untuk membantu saudara-saudara kita,” demikian bunyi pengumuman Pastor Lorens usai misa hari Minggu di gereja pada akhir Agustus 2014 lalu.
Sontak umat yang hadir kebingungan. Mereka bertanya-tanya gereja manakah yang terbakar.
Ternyata gereja yang dimaksudkan ialah rumah milik 6 keluarga yang terletak di Nangameting tepatnya di belakang pusat perbelanjaan Barata.
Bagi Romo Lorens, 6 rumah yang terbakar sama saja dengan 6 gereja yang terbakar. Keluarga adalah gereja terkecil.
“Kita mungkin lebih tergerak mengumpulkan uang untuk membangun gereja yang megah, bagaimana dengan rumah sesama kita yang terkena bencana atau musibah?” ujar Pastor Lorens.
DPP St. Thomas Morus pun dikumpulkan, umat dimintai sumbangan sebagai tambahan untuk dana solidaritas yang sudah tersedia.
Hasilnya dana terkumpul mencapai kurang lebih Rp 40 juta. Sebanyak Rp35 juta diserahkan kepada keluarga yang terkena musibah melalui ketua KGB dalam bentuk bahan bangunan sementara sisanya dibelanjakan makanan dan perlengkapan masak.
Siventus Marianus (46) salah satu kepala keluarga yang terkena musibah membenarkan hal itu.
Menurutnya bantuan dari paroki dan umat lainnya adalah suatu pengalaman baru yang belum ditemui di tempat lain.
Sementara itu, bagi Mama Yosefina Jeja (63 tahun) meskipun jumlah dana solidaritas yang diberikan tidak banyak dibandingkan kerugian yang diderita namun itu sangat berarti. Dia memaklumi itu.
“Karena kami ada beberapa rumah dan namanya bencana jadi tidak minta izin dahulu sehingga umat lain dan paroki juga buru-buru,” ujar perempuan lansia yang sehari-hari berjualan sayur di pasar Nangameting ini.
Selain 6 rumah yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa keluarga lain yang dibantu ketika mengalami kebakaran.
Bahkan anak-anak Serikat Kerasulan Anak Misioner (Sekami) juga turut melibatkan diri.
“Anak-anak harus diajak sejak kecil untuk peduli dan berjuang untuk sesama,” tegas Romo Lorens.
Kasus Frans Molo vs BRI Cabang Maumere
Yang paling mengejutkan dari upaya membangun aktus solidaritas ini adalah ketika Paroki Thomas Morus membela salah satu keluarga yang kehilangan 2 rumah dan tanah seluas 1.116 meter persegi akibat kredit macet di BRI cabang Maumere.
Adalah Frans Molo dan istrinya Maria Nyorutaris bersama keenam anaknya yang menjadi korban kapitalisme perbankan.
Molo adalah warga RT 025/RW 005, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang.
Untuk menambah modal pada tahun 2003, Molo meminjam pada BRI cabang Maumere sebesar Rp 20 juta. Karena lancar mengangsur, BRI menawarkan tambahan pinjaman.
Begitulah seterusnya nilai pinjaman meningkat sampai dengan Rp 80 juta. Di tahun 2007-2008, Molo mengalami gangguan jiwa.
Usahanya tak memberi keuntungan dan sang istri kesulitan melanjutkan angsuran.
Tahun 2008 mereka didatangi pihak BRI yang menawarkan alternatif pelunasan dengan menjual sebagian lahannya.
Sayangnya, calon pembeli yang didatangkan BRI malah menawar murah sehingga rencana melego tanah pun batal. BRI lantas menawarkan cara lain yakni menambah pinjaman.
Total pinjaman menjadi Rp 105 juta. Itu pun tak mampu dilunasi. Alhasil, November 2010 tanah tersebut dilelang.
Sebelum pelelangan, Maria bersama kenalan yang hendak membantu melunasi mendatangi BRI mengantarkan uang sebanyak Rp 130 juta.
Namun, penjabat BRI yang berurusan dengan lelang tersebut mengatakan masih ada kekurangan sebesar Rp 9 juta. Maria dan kenalannya, Yoseph Fei bersama istrinya berusaha dan akhirnya mendapatkan sisa dana.
Meskipun demikian, lelang telah dilakukan. Diduga pemenang lelang adalah Aci Lang yang diwakili oleh Aritonang, waktu itu menjabat sebagai Kapolsek Alok.
Pelelangan dilakukan oleh KPKNL Kupang dan Juru Lelang Pengadilan Kelas IA Kupang.
Akhirnya, pada Maret 2016 eksekusi dilakukan. Hilanglah seluruh aset keluarga ini.
Mendengar kejadian ini, hari dimana eksekusi tanah dilakukan Romo mengkonsolidasi pengurus DPP untuk membantu keluarga ini.
Misa dan diskusi dilakukan di lokasi. Elemen gerakan mahasiswa dan praktisi hukum didekati oleh Koordinator Bidang Politik DPP, John Bala.
Publikasi melalui jaringan media pun dilakukan.
“Frans Molo adalah contoh keluarga yang sedang berjuang meningkatkan kesejahteraan. Untuk membantu mereka berjuang mereka menggunakan kredit pada BRI. Terus dijerat dengan utang yang berujung kredit macet, sampai akhirnya harus kehilangan tanah dan rumah” terangnya.
Ada dugaan awal mengenai mafia kredit perbankan. Namun, yang makin meyakinkan dirinya dan para pengurus DPP adalah pertemuan dengan Helena Sunur yang diklaim sebagai pemenang lelang.
Helena mengaku baik melalui telepon ataupun secara langsung di hadapan DPP dan keluarga Molo, bahwa dirinya bukanlah pemenang lelang.
Helena membeli tanah tersebut dari orang bernama Aci Lang. Helena pun mengaku tak mengenal polisi bernama Aritonang.
Meskipun demikian, Romo mengatakan bahwa dalam audiensi dengan BRI yang difasilitasi Bupati Sikka, Ansar Rera kala itu, pihak BRI kembali menyatakan Helena Sunur sebagai pemenang lelang.
“Mereka juga bilang saat itu mereka tunggu sampai jam 1 siang baru lelang tetapi istrinya Molo tidak datang-datang antarkan uang,” ungkap Romo kesal.
Pada akhirnya muncullah dugaan adanya mafia kredit. Langkah hukum ditempuh. Dengan bantuan hukum prodeo dari sejumlah advokat, gugatan Frans Molo terhadap BRI cabang Maumere didaftarkan di Pengadilan Negeri Maumere.
Atas sikapnya tersebut, Romo mengaku pernah ditemui salah seorang tokoh awam yang meragukan pilihan posisinya. Dalam waktu dekat akan ada sidang.
“Kita berharap semoga upaya ini berhasil. Ada banyak Molo yang mungkin selama ini sudah jadi korban, dan akan ada banyak Molo lagi yang akan jadi korban kalau kita diam,” tegasnya.
BACA Juga Berita Terkait:
- Tak Serius Jalani Persidangan, BRI Cabang Maumere Ditegur Hakim
- Maria: Bapa hanya mau anak–anak sekolah agar tak ditipu
Penulis: Are De Peskim
Editor: Irvan K