Sangat langka menemukan sebuah kampung yang menghasilkan berbagai karya tangan. Karya yang sudah menjadi turun temurun tersebut masih terus dijaga dan dipelihara hingga saat ini. Berbicara tentang kreativitas, tak dipungkiri kampung yang kerap disebut “Ana Tana Ende” (Tuan Tanah) tersebut menjadi hal yang biasa.
Ende, VoxNtt.com-Woloare secara geografis berada di sebelah utara kota Ende dengan jarak kurang lebih 2 kolimeter ke arah Kampung Nuabosi persis di Kelurahan Roworena, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende.
Kampung ini terkenal dengan berbagai jenis kerajinan tangan mulai dari pengolahan bambu, menenun dan mengerjakan parang atau pandai besi.
Setiap hari, warga mulai beraktivitas sesuai dengan keahlian mereka masing-masing.
Mata pencaharian masyarakat setempat notabene sebagai petani ladang. Kerajinan tangan boleh dikatakan sebagai mata pencaharian, sebab kerap setiap hari bergelut dengan keterampilan itu.
Uniknya, keterampilan masyarakat Woloare tidak sekadar berkah karya yang dimiliki setiap individu namun merupakan sebuah kegiatan rutinitas dari generasi ke generasi.
Jadi, tak heran rutinitas tersebut merupakan warisan para leluhur.
Entah filosofi seperti apa, masyarakat setempat mengakui keterampilan tersebut bagian dari karya generasi.
Selain sebagai pedapatan keluarga masing-masing, mereka menganggap keterampilan tersebut sebuah warisan nenek moyang sejak dulu kala.
“Kami sejak kecil sudah mengolah bambu. Ada yang menenun dan ada juga yang pandai besi. Pekerjaan ini sejak dari nenek kami”ungkap Marselinus Pare (62) warga kampung Woloare saat ditemui di Kediamannya.
Ia menjelaskan meskipun tidak semua penduduk bertindak melakukan warisan tersebut, namun setiap perwakilan keluarga secara otamatis menjalaninya. Hal itu, meyakini mereka bahwa pekerjaan tersebut bukan sekedar kerajinan tangan semata.
“Memang tidak semua, tetapi setiap keluarga pasti ada”kata Marselinus Pengerajin bambu Kampung Woloare.
Hal senada juga dituturkan Agnes Dero (52). Perempuan paruh baya ini pun meyakini, bahwa pekerjaan tersebut bukan kerajinan biasa tetapi kerajinan warisan leluhur.
Agnes, yang mengakui sejak kecil menganyam gedek bambu itu, percaya akan warisan nenek moyang. Mengapa tidak? Keyakinan warga setempat dibuktikan melalui rejeki penjualan kerajinan bambu.
“Saya sejak kecil sudah kerja dengan orang tua saya. Memang ini sudah terbiasa dari dulu. Kalau rejeki ya setiap hari kita dapat. Itu juga kami yakin rejeki yang diberikan nenek moyang”ujar Agnes yang sedikit berlogat Ende.
Kerajinan Bambu
Masyarakat kampung Woloare dominan terampil mengolah bambu. Seperti halnya ibu Agnes Dero.
Jemari yang sudah mulai keriput itu sangat profesional menjepit bilah-bilah bambu. Dengan lincah, ia secara cepat menyulam bilah bambu satu dengan yang lainnya untuk membuat motif bunga sidhu (berbetuk ketupat) untuk menghasilkan selembar gedek bambu.
“Saya sudah biasa nak. Sudah dari dulu,”kata ibu tiga anak ini.
Begitupula beberapa perempuan di kampung itu. Mereka percaya bahwa, pekerjaan itu sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Mereka mengakui sangat mencintai dengan keterampilan membuat gedek dan menenun.
Selain gedeg bambu, mereka juga membuat beberapa keranjang ayam dan sangkar ayam berbahan bambu. Dalam sehari mereka menghasilkan dua hingga tiga keranjang termasuk dengan gedek.
Berbagai jenis motif gedek yang mereka hasilkan seperti motif bunga sidhu, motif bunga bintang dan motif bunga manusia. Motif-motif tersebut memiliki arti hidup kebersamaan mereka.
Motif sidhu, bermakna kerukunan antar umat manusia tanpa pandang bulu. Kerukunan ditandai dengan kebersamaan penduduk kampung Woloare yang beragam.
Motif ini menunjukan keberagaman yang dipayungi dalam satu etnis.
“Motif sidhu itu berlambang sebuah ikatan keluarga. Motif ini maknanya kebersamaan,”ucap Marselinus Pare.
Motif bunga bintang melambangkan pencerahan. Artinya mudah untuk mengais rejeki dari usahanya. Mereka percaya kalau motif ini sebuah pintu masuk untuk mendapatkan sebuah rejeki.
Sementara motif manusia bermakna keberadaban. Dimana, setiap manusia saling menghargai tanpa melihat harta karun. Selain itu juga, motif ini mengarahkan untuk bergotong royong, bahu membahu untuk menyelesaikan permasalahan.
“Ya, pada umumnya semua mempunyai makna kebersamaan. Walaupun di sini ada dua agama yakni Katolik dan Islam tetapi kami tetap bersama. Karena neneka moyang kami sudah mengajarkan hidup damai.”Katanya.
Harga pengolahan bambu sangat bervariasi. Mulai dari harga 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Sejumlah karya warga setempat biasa dipasarkan ke beberapa wilayah seperti, Nagekeo, Ngada, Maumere hingga beberapa wilayah luar Flores seperti Sabu dan Sumba.
Menenun
Selain kerajinan bambu, kampung pinggiran kota ini disebut juga kampung bertenun. Jika berkunjung ke sana, akan menemukan sejumlah ibu-ibu menenun di halaman rumah masing-masing.
Menenun merupakan tradisi yang masih sangat kental dilakukan kaum perempuan di setiap daerah di Flores termasuk di Kampung Woloare.
Menurut Maria Veronika, menenun boleh dikatakan kerajinan tangan. Tetapi lebih diyakini warga setempat bahwa, menenun merupakan hasil tradisi nenek moyang dengan cerita dan nilai kehidupan leluhur.
Setiap motif tenun memiliki cerita sendiri seperti kehidupan bertani, nelayan, perkawinan dan sebagainya.
“Kalau kerajinan tangan seperti pembuatan kursi atau meja. Tetapi kalau di sini, tenun ini bukan dikatakan kerajinan tangan. Karena tenun itu sebuah pekerjaan yang mengangkat martabat kaum perempuan,”kata Veronika, penenun motif Ende saat ditemukan di kediamannya RT 05, Kelurahan Roworena, Kecamatan Ende Selatan.
Hasil tenunan tersebut dipasarkan ke sejumlah daerah seperti Ende, Kupang, Bali, Surabaya dan Jakarta.
Pandai Besi
Selain kerajinan bambu dan menenun, Warga kampung Woloare juga terampil pandai besi. Keterampilan ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja.
Pandai besi ini menghasilkan beberapa produk besi seperti parang, pisau, sabit dan tofa.
Pandai besi ini, biasanya dikerjakan secara kelompok. Ada juga perorangan tetapi hanya se.bagian kecil. Seperti kelompok “kema sama” (gotong royong). Mereka secara bersama-sama mempandai besi.
“Besi ini kita beli di bengkel-bengkel. Harganya memang murah tetapi kerjanya mahal,”papar Hendrikus Renu (72) ketua kelompok “Kema Sama”
Dijelaskannya, kelompok tersebut dibentuk puluhan tahun lalu berjumlah 12 orang. Sistem pendapatan masing-masing anggota sesuai dengan bahan (besi) yang disiapkan.
Hendrikus menuturkan pandai besi untuk menghasilkan parang sudah sejak dulu kala. Aktivitas seperti itu dilakukan untuk kebutuhan hidup rumah tangga.
“Ini sudah tradisi kami disini untuk biaya hidup anak dan cucu. Ya, pasti ada generasi berikut untuk lanjutkan pandai besi,”tuturnya.
Harga produk besi tersebut sesuai dengan besar ukurannya. Paling besar harganya Rp.250.000 ribu, sedang Rp. 150.000 ribu dan ukuran kecil Rp.75.000.
Masyarakat Woloare hingga saat ini masih giat dengan beberapa kerajinan tangan warisan leluhur tersebut. Kehidupan mereka sehari-hari diperoleh dari karya tangan itu.
Karya tangan mereka terus dipromosikan oleh Pemerintah baik Dinas Pariwisata maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Ende.
Beberapa orang pernah diutus mengikuti pelatihan keterampilan baik tingkat Kabupaten, tingkat Propinsi maupun rayon wilayah Nusa Tenggara.***(Ian/VoN).