“Saya pertama mulai lumpuh saat umur 24 tahun. Sekarang saya sudah 42 tahun,” tutur Fransiskus Saverius sambil menganyam irisan gelas air mineral untuk dijadikan keranjang sampah. VoxNtt.Com berkesempatan menemui Saver pada Sabtu (4/3/2017). Saat didatangi, ia sedang menunjukkan cara membuat keranjang sampah dari bekas air mineral kepada sejumlah pengunjung.
Maumere, VoxNtt.Com- Fransiskus Saverius alias Saver telah lumpuh selama 18 tahun. Tangan dan kakinya lemah. Sehari-hari ia hanya duduk di kursi roda pemberian Caritas Maumere.
Meski menyandang disabilitas, pria asal Hale Hebing, Kecamatan Mapitara ini mengisi hari-hari hidupnya dengan menjadi relawan di Bank Sampah Flores.
“Setiap hari saya punya aktivitas seperti ini. Bergaul dengan sampah,” ungkap anak bungsu dari 6 bersaudara ini.
Meski tampak lemah, kedua tangannya sangat terampil memotong, membersihkan dan merangkai bahan-bahan bekas seperti bungkusan kopi, gelas air mineral, koran, dan lain-lain.
Bahan-bahan bekas itu selanjutnya diubah menjadi barang siap pakai diantaranya tas, keranjang belanja, keranjang pakaian, keranjang sampah, dan tikar, dan piring.
Saver bekerja secara sukarela. “Tidak ada yang menggaji kami,” terangnya. Pada awal didirikan, dia dan kawan-kawannya di Bank Sampah Flores membeli sampah dari masyarakat.
Namun, karena terkendala dana untuk saat ini mereka bersandar pada donasi sampah dari masyarakat.
Mendirikan Bank Sampah Flores
Kedekatannya dengan Susilowati Koopman dan keluarganya sudah berlangsung sejak tahun 2000-an.
“Waktu itu saya tinggal di kakak punya rumah di Terminal Barat (Terminal Madawat-red) dan Ibu Susi dan suaminya mengontrak rumah di dekat situ,” ungkap Saver.
Sebelum mengalami kelumpuhan, Saver muda adalah seorang pedagang keliling. Ia menjual sembako dari pasar ke pasar.
Dia menamai aktivitas tersebut dengan sebutan “jalan pasar”. Semua pasar penting di Sikka dan Flores Timur didatangi setiap minggunya.
Usaha itu bukan turun mendadak dari langit melainkan dibangun dengan kerja keras dan ketekunan.
Saver sudah merantau ke Maumere sejak tamat sekolah dasar. Karena tak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan, ia meninggalkan kampung halamannya berbekas 1 celana pendek, 1 baju kaos oblong dan uang Rp 5000 pemberian ibunya.
Ia lantas bekerja dari toko ke toko. “Awal sekali saya kerja di Toko Lion. Terakhir itu di satu toko di Nita,” ungkapnya.
Dari pengalaman itu, Saver belajar berdagang, membangun jaringan di pasar-pasar dan toko-toko yang menyediakan sembako dalam jumlah besar.
Naas, pada tahun 1999, ia mengalami kecelakaan lalu lintas di Bama, Flores Timur. Meski kakinya sakit namun ia masih bisa berdagang. Baru kemudian di tahun 2000 ia tak bisa jalan sama sekali. Pinggang, kaki serta tangannya lemas.
Hasil pemeriksaan dokter dan laboratorium tak menunjukkan penyakit apa pun. Oleh karenanya, ia pun berobat ke dukun.
Namun, sayang sekali. Sampai dengan 48 dukun ia tak kunjung sembuh. Dengan putus asa ia kembali ke kampung.
“Tahun 2014 Ibu Susi cari saya. Mereka pergi jemput saya di kampung (Hale, Kecamatan Mapitara- red),” tutur Saver.
Sejak saat itu dia tinggal di Bank Sampah Flores, di Jl. Nai Roa, pesisir Pantai Lokaria, Desa Habi, Kecamatan Kangae.
Bersama Susilowati Koopman, Pater Klaus, SVD dan sejumlah orang lainnya Saver terlibat mendirikan Bank Sampah Flores.
Namanya ada dalam daftar kepengurusan Bank Sampah Flores. “Kehadiran Saver ini sangat membantu sekali di sini,” ungkap Ibu Susi kepada VoxNtt.Com beberapa waktu lalu.
Selain Saver masih ada beberapa penyandang disabilitas yang menjadi relawan Bank Sampah Flores.
“Mereka tinggal di luar. Kalau ada waktu kosong mereka datang bantu di sini,” tutur Saver.
Berbeda dengan sahabat-sahabat lainnya yang masih bisa bisa bermobilisasi, Saver hanya terpaku di kursi rodanya.
Ia tidur di tempat tidur kecil di dalam bengkel kerjanya. Setiap pagi, suami Ibu Susi, Mr.Koopman memindahkan dia dari tempat tidur ke kursi roda.
Begitu sebaliknya di malam hari. “Kalau ibu mereka tidak ada biasanya saya minta bantuan keponakan atau tamu yang datang,” ungkapnya.
Menurut Ibu Susi, bila ada tamu yang berkunjung, Saver-lah yang akan menyambut mereka. Ia memberikan buku tamu untuk diisi oleh pengunjung. Selanjutnya ia akan menjelaskan kerja-kerja Bank Sampah atau memberikan contoh bagaimana membuat keranjang, tas atau piring.
Saver sendiri mengaku kesulitan apabila harus harus berhadapan dengan wisatawan mancanegara. Ia tak kuasai Bahasa Inggris. Meski demikian ia enggan belajar.
“Biar sudah saya cukup begini dulu,” ujarnya sambil tertawa.
Sering putri bungsu Ibu Susi, Isabel yang memaksanya belajar Bahasa Inggris. Siswi SMPK Frateran Maumere tersebut selalu meminta Saver membaca bahan pelajaran Bahasa Inggris yang diperolehnya dari sekolah.
Di Bank Sampah, Saver pernah menjadi pengelola gudang penampungan sampah. Namun karena tak tahan nyamuk, Saver minta dipindahkan. Saat ini tak ada yang mengurus gudang penampungan sampah yang terletak Perumnas tersebut.
Saver juga telah memberikan pelatihan di sejumlah tempat. Ia pernah memberikan pelatihan di Desa Wairkoja, Desa Kewapante, dan Desa Waiara. Dia hanya terlibat memberikan pelatihan di tempat-tempat yang dekat.
“Ke depan pasti akan ada pelatihan di Desa Perumaan dan Koting D, tetapi saya tidak pergi karena jauh,” ungkapnya.
Bertemu Joko Widodo
Pengetahuan mengolah sampah menjadi barang daur ulang siap pakai didapatkan Saver dari Ibu Susi.
Di balik penderitaannya dan kerja sukarela yang dijalaninya, Saver punya pengalaman menarik. Ia sering mewakili Ibu Susi menerima tamu asing.
“Awalnya saya gugup sekali, tetapi lama kelamaan saya mulai terbiasa,” ujarnya sembari tersenyum.
Mengolah sampah bukan hanya aktivitas sampingan. Inilah bagian penting hidupnya saat ini.
“Saya senang dengan begini saya ada teman. Ada yang datang ajak cerita,” tutur Saver.
Tak hanya menerima tamu asing, Saver pernah mewakili Bank Sampah dalam Rapat Dengar Pendapat di DPRD Sikka terkait pengendalian sampah.
“Waktu itu Ibu Susi sedang ke Jakarta, jadi Pater Klaus bawa saya ke sana mewakili Bank Sampah,” terangnya.
Satu hal yang tak pernah dilupakannya adalah kesempatannya bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada Desember 2015 lalu.
Jokowi datang ke Kupang untuk menghadiri Natal Bersama. Bank Sampah saat itu membuka pameran hasil pengolahan sampah di acara tersebut. Jokowi yang berkesempatan melihat-lihat mendatangi stand Bank Sampah Flores.
“Beliau hanya bicara begitu saja tetapi itu buat saya sangat bahagia,” ungkap Saver polos.
Meskipun dirinya lumpuh namun dia bangga berkesempatan berbincang-bincang dengan Sang Kepala Negara itu.
Saat itu, Jokowi dihadiahi Bank Sampah dengan satu keranjang karyanya. Bagi Saver itu adalah obat bagi penderitaannya.
Dia sangsi apakah berkesempatan menemui Jokowi andaikata ia tak lumpuh. Menurut dia Bank Sampah Flores masih membutuhkan relawan dan sokongan dana.
Selama ini, dia dan teman-temannya hanya hidup dari hasil berjualan produk daur ulang.
“Kalau sudah sembuh saya ingin berdagang lagi sembari tetap urus sampah,” ungkapnya.***(Are De Peskim/VoN)