Ende, VoxNtt.com-Desa Wolosoko, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende-Flores, NTT kerab disebut daerah yang masih melekat dengan tradisi dan budaya Lio.
Pemukiman yang dihuni sekitar 125 jiwa ini, mayoritas mata pencaharian sebagai petani.
Kampung Wolosoko memang didengar asing untuk pendatang apalagi wisatawan manca negara.
Kampung yang berjarak kurang lebih 200 meter dari jalan negara lintas Flores terkesan tersembunyi dari kelayak orang.
Padahal, kampung yang persis di puncak ini menawarkan potensi wisata budaya yang menarik.
Sebab, lengkap dengan rumah adat serta keberadaban masyarakat yang masih fanatik dengan warisan nenek moyang.
Masyarakat Suku Lio umumnya, masih sangat kental dengan tradisi warisan leluhur. Selain menenun, gerabah merupakan hasil warisan yang tak terpisah dengan kehidupan masyarakat dari masa ke masa.
Meski sudah hampir punah, sebagian orang masih meyakini, warisan leluhur itu adalah bagian dari diri mereka.
Entah bagaimana orang memaknai mitos ini, masyarakat Wolosoko misalnya, percaya budaya dan warisan gerabah tidak terpisah dari kehidupan masyarakat setempat.
Adalah Susana Sara, warga Wolosoko, yang masih melanjutkan warisan orang tuanya. Sudah puluhan tahun Susana akrab dengan pembuatan gerabah.
Perempuan sudah berusia 68 tahun ini pun bisa membuat gerabah tanpa harus belajar formal.
Sebab, sejak kecil ia terbiasa melihat orang tua dan warga di lingkungan sekitarnya yang membuat itu.
Menurut Susana, gerabah tidak sekedar kerajinan tangan seperti anggapan orang masa kini. Ia membedakan gerabah dengan kerajinan batik atau perabot rumah.
Di pondok gerabah miliknya, Susana bercerita tentang banyak hal mulai dari munculnya gerabah hingga pemaknaannya dalam kehidupan masyarakat adat suku Lio.
“Saya tidak bisa menentu kapan gerabah muncul. Tapi menurut ayah saya, gerabah sudah menjadi bagian hidup kami disini sejak dulu kala. Saya mengenal gerabah ini saat saya umur empat tahun. Saya sudah mulai membuat”kata Susana.
Gerabah menurut Susana merupakan cerita rakyat yang direkomendasikan oleh para leluhur Lio. Dulu, para leluhur menanamkan makna jati diri ke dalam gerabah.
Cerita gerabah, kata Susana, sebenarnya mengisahkan kehidupan para pewaris. Mereka (leluhur, red) melukiskan sebagai catatan sejarah ke dalam karya gerabah.
“Kami percaya kalau gerabah ini adalah diri kami. Kenapa? Karena gerabah ini menguras tenaga dan pikiran nenek moyang kami dulu”ungkap Susana.
Susana tidak menjelaskan secara rinci tentang makna gerabah dalam kehidupannya. Sebab, ada pemaknaan tertentu yang tidak seharusnya disampaikan.
Berbeda dengan Maria, pembuat gerabah yang tidak jauh dari pondok Susana.
Menurut Maria, gerabah merupakan warisan leluhur yang diperuntukan kepada kaum perempuan suku Lio. Gerabah, jelas perempuan usia 49 tahun ini adalah jati diri kaum hawa.
“Kalau perempuan bisa kerja ini pasti dia merasakan. Ada makna sendiri untuk perempuan.”Jelas dia.
Maria mengisahkan proses pembuatan gerabah membutuhkan waktu tidak sedikit. Selama proses pembuatan berlangsung ada makna sendiri mulai dari menentukan tanah liat hingga proses pembakaran.
Tahap demi tahap, kata Maria dikutip dari orang tuanya, memiliki pesan dan nilai yang bervariasi. Salah satu pesan dalam gerabah adalah ketangguhan seorang perempuan.
“Para pewaris atau leluhur berpesan kalau perempuan punya kemampuan. Kemampuan untuk menciptakan sejarah. Perempuan itu bukan manusia yang lemah”tutur Maria semangat.
Kampung Wolosoko memang sudah lama dikenal sebagai sentra warisan gerabah. Meskipun saat ini sudah berkurang karena perubahan zaman, namun sebagian masih mentaati warisan tersebut.
Beberapa jenis gerabah yang diwariskan leluhur kepada warga Wolosoko adalah perabot dapur mulai dari priuk hingga sendok makan. Mereka mempercayai pesan yang ditanamkan dalam jenis gerabah tersebut.
Adapun jenis lain yang dihasilkan seperti asbak, tempat lilin, pot bunga dan miniatur perhiasan rumah. Itupun keterampilan yang dikembangkan dari masing-masing orang.***(Ian Bala/VoN)