Oleh: Alfred Tuname*
Di negeri ini, hukum sudah jadi barang kelontong di lapak-lapak politik. Hukum diperdagangan demi kepentingan politik.
Para elite politik memanfaatkan hukum demi meraih kekuasaan. “Perselingkuhan” hukum dan politik kian mesra. Tujuannya, jegal-menjegal untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan.
Intrik politik jegal-menjegal mungkin hal lumrah dalam politik. Politik Machivellian untuk meraih kursi kekuasaan merupakan bagian dari tabiat politik tanah air.
Politik seperti itu biasanya “memungkinkan yang tidak mungkin”. ”Politics is the art of the possible”, kata Otto von Bismarck.
Celakanya, hukum pun dijadikan mainan “politics is the art of the possible”. Berbagai persoalan hukum “dimanfaatkan” demi kepentingan politik kekuasaan.
Hukum tidak lagi berkenaan dengan rasa keadilan, tetapi soal selera penguasa. Karena itu, setiap persoalan hukum yang berkaitan dengan kekuasaan tidak pernah tuntas. Persoalan hukum selalu “hilang-muncul” tergantung situasi politik dan kekuasaan.
Tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar, tidak lepas dari persoalan kekuasaan.
Suap yang ia terima terkait dengan persoalan politik-ekonomi perdagangan sapi. Di sini, undang-undang menjadi “meterai hukum” yang bisa dipakai untuk mengamankan kepentingan elite ekonomi dan pebisnis besar.
Di luar koridor keadilan, undang-undang menjadi mainan para aparat hukum dan para pemangku kepentingan.
Hukum menjadi “alat tukar” kepentingan yang selalu dipakai untuk menguntungkan elite politik dan ekonomi. Rakyat selalu menjadi korban yang terus dikorbankan oleh sistem hukum itu sendiri.
Dalam keterkaitannya dengan persoalan kekuasaan politik dan ekonomi, hukum selalu punya mata untuk melihat mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan.
Hukum biasanya dilambangkan dengan dewi keadilan yang matanya ditutup, tetapi di Indonesia kain itu sudah diganti dengan uang dan kepentingan pribadi.
Tentu karena aparat penegak hukum memandang ‘kekuasaan pengadil” sebagai sesuatu yang melekat pada pribadi, bukan sebagai pelayanan keadilan.
Di manakah keadilan ketika kekuasaan memangarinya dengan kepentingan politik? Jawabannya, keadilan sudah rendam dalam kasak-kusuk wacana.
Keadilan sudah milik elite politik dan ekonomi. Defenisi keadilan telah simpan dalam saku mereka. Sehingga, untuk kepentingan tertentu, persoalan hukum dapat dibuka dan ditutup.
Hukum pun berjalan seperti drama serial India yang nyaris tidak berkesudahan. Drama hukum pun selalu mengemuka di tiap persimpangan politik yang menguras keseimbangan kekuasaan.
Semua itu karena hukum sudah lama tercelup dalam setting dan skenario politik kekuasaan.
Ketika kita menyimak Pilkada DKI Jakarta, persoalan hukum muncul semata-mata hanya dalam skenario politik.
Perosoalan hukum terkait penistaan agama direkayasa dan dibesar-besarkan untuk menjegal petahana Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama.
Persoalan yang menjerat Antasari Azhar diunggah kembali untuk menampar Pembina Partai Demokrat dan mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus mengganjal laju politik Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvana Murni.
Pasca Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, persoalan-persoalan hukum itu seakan mati suri. Pasangan Agus-Sylvi pun tersingkir dari Pilkada DKI Jakara putaran ke-2, menyisahkan pasangan Ahok-Jarot dan Anies-Sandi.
Untuk Pilkada putaran ke-2 ini, kasus e-KTP pun muncul menyeruak dan sengaja didekat-dekatkan dengan Ahok sebab ia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2009–2014.
Dari persoalan itu, ternyata Ahok bisa menyelamatkan diri. Ia tidak terlibat. Kasus korupsi E-KTP justru menghantam para elite partai Golkar, partai Demokrat, para mantan anggota DPR RI, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, dan para rekanan proyek.
Padahal, hukum harus berada di luar kepentingan apa pun, kecuali keadilan. Itu idealnya. “Nabi hukum positif” Hans Kelsen mengatakan, tidak boleh ada persoalan non-hukum yang mempengaruhi hukum. Itu disebut pure norm.
Bahkan seharusnya, hukum mesti lebih kencang berlari di atas persoalan lainya, termasuk soal kekuasaan politik dan ekonomi. Tujuannya semata demi keadilan dan kebenaran.
Aturan hukum (the rule of law) diciptakan menyongsong keadilan sekalipun langit runtuh. Oleh karena itu, aparat hukum harus menyelamatkan wajahnya dari praktik-praktik kotor kekuasaan.
E. P Thompson dalam buku Whigs and Hunters (1977) menulis, tujuan aturan hukum adalah “to impose effective inhibitions upon power and the defence of citizen from power’s all –intrusive claims”. Suka atau tidak suka, hukum harus melepas kemesraanya dengan politik, dan mempertahankan kepentingan umum dari praktik-praktik politik yang kotor.
Dengan demikian, aturan hukum adalah perangkat demokrasi. Dengan dan melalui hukum, hak-hak publik dan kepentingan publik dilindungi. Ketika praktik politik kekuasaan melenyapkan hak dan aspirasi publik, hukum harus menjadi perisai pelindung kepentingan umum.
Ketika kita kembali pada konsep Rousseau tentang “kontrak sosial” (du social conctracte), suatu negara terbentuk atas perjanjian yakni melindungi segenap kepentingan warganya.
Di situ, aturan hukum menjadi “mata perjanjian” yang harus ditaati dan dilaksakan sejujur-jujurnya demi keadilan. Law is the instrumen of this protection and recourse (Xioabo Zhai, 2014).
Oleh karena itu, mengutip filsuf Prancis Michael Foucault, society must be defended. Masyarakat harus dilindungi. Selain itu masyarakat harus melindungi diri dari praktik-praktik politik kotor dan perilaku hukum yang buruk.
Elemen-elemen masyarakat harus bersatu untuk melawan kemunafikan politik dan hukum.
Kekuatan rakyat adalah nurani. Ketika politik punya panggung dan hukum punya dalil, masyarakat punya nurani untuk mempertahankan supremasi kekuasaannya dan keadilan. Sebab, keadilan itu bukan wacana, tetapi roh kehidupan bersama.***
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)