Oleh: Alfred Tuname*
Seturut perkembangan dunia teknologi dan inforamasi (IT), ruang demokrasi politik kian lugas dan transparan. Dengan perangkat teknologi canggih, ruang komunikasi publik semakin terbuka bagi setiap lapis masyarakat.
Dengan adanya kemudahan akses internet, semua pengguna media sosial dapat berpolitik. Politisi tampak percaya pada Facebook, Twitter, YouTube, Instagram etc untuk bermain pengaruh. Sebagian masyarakat (citizens) sudah menjadi bagian dari netizens.
Dengan adanya status netizens, tak ada lagi denizens (masyarakat yang tak dianggap/ditolak). Para netizens bisa memanfaatkan sosial media sebagai ruang publik. Melalui media sosial, netizens mengorganisasi kelompok-kelompok politik untuk berdiskusi ataupun merancang gerakan politik untuk perubahan. Ide-ide bernas tentang politik perubahan kadang lahir dari group-group di media sosial. Hal itu terjadi karena media sosial menjadi ruang publik yang sangat egaliter.
Sifat media sosial yang mudah diakses dan egaliter memiliki pengaruh yang signifikan pada dunia nyata. Informasi dan diskusi di media sosial dapat mempengaruhi dan mem-framing pandangan politik dan cara berpikir seseorang. Dari situlah gerakan-gerakan politik nyata bisa terjadi di masyarakat.
Pada tahun Januari 2011, kita masih ingat cerita tragis tumbangnya rezim Hosni Mubarak yang berkuasa selama 30 tahun di Mesir. Semua itu bermula dari diskusi politik media sosial yang berujung pada gerakan politik revolusioner kolosal kaum muda (Arab Spring). Media sosial menjadi perangkat transformasi politik di Mesir.
Facebook, Twitter dan YouTube telah menjadi perangkat organisasi kritik. Netizens menggunakan media-media tersebut untuk menyampaikan kritik terhadap rezim pemerintah. Tentu tidak hanya kritikan, tetapi ada juga apresiasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro rakyat. Semua disampaikan secara cepat dan interaktif.
Media-media itu diakrapi masyarakat karena ada kemudahan komunikasi, interaksi dan informasi. Dengan begitu masyarakat sekaligus menjadi “information society” dan “network society”. Melalui internet dan media sosial, masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga berjejaring luas dengan netizens lainnya. Itulah “strong democracy” (istilah Benjamin Barber).
Arus informasi yang akurat akan selalu mengarah pada suasana demokrasi politik yang baik. “Democracy functions best when its citizens are politically informed” (Delli Carpini dan Keeter, 1996). Informasi yang cepat dan akuran menjadi penting karena publik butuh informasi untuk mengontrol kebijakan dan merumuskan pilihan politik.
Kampanye Online
Memasuki momentum politik pesta demokrasi lokal, media-media sosial makin digandrungi oleh para politisi, tim sukses, relawan, fans dan lain sebagainya. Media sosial menjadi ruang diskusi paling seru dan ruang debat paling panas. Tujuannya adalah mengkampanyekan dan menokohkan figur-figur politik demi meraih dukungan dalam even politik.
Cliff Angelo, seorang Koordinator E-Campaign “Bush for President” tahun 2000, pernah mengatakan, “not only is [the Internet] a message tool but . . . it is a coordination tool. It allows you to coordinate a nationwide campaign from headquarters”. Melalui internet, informasi kandidasi dan suksesi politik dapat dilakukan secara cepat dan masif. Melalui media sosial, para politisi dan timnya bisa mempercantik kemasan politik. Lalu itu ditawarkan kepada para netizens. Inilah proses “kampanye online”.
Kampanye online diartikan sebagai aktivitas politik kampanye melalui internet atau media-media sosial. Kampanye online tersebut berisi informasi-informasi politik baik berupa tulisan/berita atau pun gambar (potret politisi). Seperti dalam ilmu Marketing, tulisan-tulisan dan design gambar untuk kempanye politik selalu menarik dibaca dan enak dipandang mata. Tujuannya adalah agar tulisan atau gambar tersebut mendapat “like”, “click”, “link”, “re-twitt”, “comment”, “hastag” etc sebanyak-banyaknya.
Diseminasi luas dan proliferasi berlipat atas tulisan atau gambar kampanye politik politisi di internet atau media sosial berarti kampanye politik tersebut mendapat sambutan baik. Boleh jadi ada kenaikan tingkat popularitas seorang politisi, meskipun tidak selamanya linear dengan tingkat elektabilitas.
Bagi seorang politisi “new comer”, internet dan media sosial digunakan untuk memperkenalkan diri dan tebar pesona (biasanya dengan ide-ide baru plus kritikan dan koreksi kebijakan pemerintah). Bagi petahana, internet dan media sosial digunakan untuk mempertahankan popularitas (meskipun seringkali harus menerima banyak kritikan atas kebijakan).
Intensitas dan frekuensi penggunaan internet dan media sosial, sebagai perkakas kampanye online, lebih didominasi oleh politisi “new comer” ketimbang petahana. Bagi politisi “new comer”, kampanye online berjalan searah langkah politik; “every where we go, we’re on sosial media”. Hal itu bisa dipahami sebagai upaya merebut simpati masyarakat (netizens), sekaligus upaya merubuhkan benteng popularitas petahana.
Tetapi itulah geliat politik. Selama kampanye politik berjalan sesuai dengan aturan hukum dan etika, selama itu pulalah politik cenderung demokratis. Politik yang demokratis hanya memberikan jaminan sekaligus melindungi hak-hak politik kepada setiap orang yang terlibat dalam politk kekuasaan.
Kampanye online merupakan bagian dari proses politik demokratis. Oleh karena itu, tiap aktivitas kampanye online tetap taat aturan dan tidak menyinggung pribadi orang lain (ad hominem). Kampanye politik sebaiknya tidak hanya menarik pada kemasan, tetapi berisi pendidikan politik pada kontennya.
Dalam kampanye online pada konteks Pilkada/Pilgub, kita tidak hanya sedang memposting tulisan atau gambar demi meraih simpati. Sesungguhnya, dengan aktivitas itu kita sedang melepas ide-ide dalam sejarah politik. Ide-ide itu akan tergandakan dalam waktu yang super singkat, hingga pada waktunya ide-ide tersebut bermanfaat bagi kehidupan banyak orang.***
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)