Karena itu, pembangunan skala masif dalam tempo yang singkat dari BOP tidak singkron dengan potensi SDM lokal. Dengan mudah disimpulkan bahwa keberadaan BOP justru akan mengabaikan potensi SDM lokal sedemikian sehingga hanya berkontribusi sedikit terhadap orang-orang setempat.
“ Porsi investasi antara pemerintah dan sektor privat dalam BOP menimbulkan kesangsian terhadap otoritas negara. Dari target 16 trilliun investasi, pemerintah menanggung sekitar 8 trilliun dari APBN dan 8 trilliun dari sektor privat. Hal itu dapat menunjukkan bahwa pemerintah tidak berdaulat terhadap sektor pariwisata. Apalagi, 8 trilliun dari APBN hanya digunakan untuk membangun infrastruktur pariwisata seperti bandar udara, pelabuhan, dan jalan menuju sentra pariwisata,” tukas mereka dalam kesimpulan diskusi tersebut.
Lebih lanjut forum itu menjelaskan, pembangunan dan pertumbuhan investasi dianggap sebagai obat mujarab terhadap kemiskinan di NTT pada umumnya dan kabupaten Mabar pada khususnya. Jumlah penduduk miskin di Mabar mencapai 20 persen dari 253 ribu total jumlah penduduk atau sekitar 11 ribu jiwa. Angka kemiskinan terbesar dari sektor pertanian.
Diagnosa tersebut dipertanyakan ketika pada saat yang sama provinsi NTT merupakan provinsi terkorupsi di Indonesia. Artinya, kemiskinan bukan semata-mata dianggap karena kurangnya pembangunan, tetapi justru bisa jadi dalam kasus Mabar karena banyaknya pembangunan dan minimnya perhatian terhadap usaha pemberantasan korupsi di NTT.
Apalagi BOP hanya menilik persoalan ekonomi. Padahal kemiskinan di NTT ditandai oleh masalah politik seperti kesenjangan penguasaan sumber daya tanah, laut, pesisir dan pulau-pulau, kesenjangan penghasilan/manfaat dan masalah korupsi, serta kesenjangan akses terhadap kekuasaan.
Target 500 ribu pengunjung pada tahun 2019—naik dari sekitar 90 ribu pada tahun 2015 menimbulkan kekhawatiran dalam upaya konservasi. Ikon pariwisata di Labuan Bajo adalah Taman Nasional Komodo (TNK) membutuhkan suatu proteksi terhadap lingkungan baik di darat maupun di laut. Peningkatan jumlah wisatawan menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian lingkungan terutama pada persoalan sampah.
“Pariwisata di Labuan Bajo saat ini sudah menunjukkan situasi ketidakadilan yang tak pernah tuntas diperbaiki dan menjadi ironi memalukan selama ini. Bahwasannya masyarakat setempat justru menikmati bagian paling sedikit dari pertumbuhan yang masif dari sektor pariwisata,” kata mereka.