Batang, Vox NTT – Sebuah alat berat yang beroperasi di perairan Roban Timur, Batang, hari ini diduduki oleh sejumlah aktivis yang tergabung dalam koalisi Break Free yaitu Greenpeace, Walhi, dan Jatam.
Aktivis juga membentangkan sebuah banner yang meminta agar proyek pembangunan PLTU Batang tersebut dihentikan.
Masyarakat Batang yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani telah berjuang selama 5 tahun lebih, untuk menentang proyek kotor ini.
“Pasca penandatanganan pencairan dana oleh Presiden Joko Widodo tahun lalu, masyarakat Batang semakin menderita. Akses ke lahan bahkan ke laut ditutup, membuat masyarakat kehilangan pendapatan, mereka kerap mengalami intimidasi hingga kriminalisasi bahkan sebelum PLTU dibangun,” papar Didit Wicaksono, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam press release kepada VoxNtt.com, Kamis (30/03/2017).
PLTU Batang yang direncanakan akan dibangun disebut sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara terbesar di Asia Tenggara berkapasitas 2000 megawatt di tanah dan laut masyarakat Batang.
Jika rencana pembangunan ini diteruskan, jelas Didit, maka PLTU Batubara ini akan dibangun di atas tanah seluas 226 hektar, memangsa lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar.
Tak hanya itu pembangunan PLTU ini juga berdampak pada sawah tadah hujan seluas 152 hektar dan yang paling mengejutkan adalah PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban yang merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu karang.
Kawasan merupakan wilayah tangkapan ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa.
Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Batang, telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut Daerah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional Lampiran VIII Nomor Urut 313, dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029.
PLTU Batang akan memiliki kapasitas 2000 megawatt, dan akan mengeluarkan sekitar 10,8 juta ton karbon ke atmosfer – yang setara dengan emisi karbon seluruh negara Myanmar pada tahun 2009.
“Pembangunan PLTU Batubara telah mengakibatkan dampak lingkungan di berbagai tempat. Dampak yang sangat nyata terlihat terhadap kehidupan nelayan”, ucap Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI.
Dijelaskan Dwi, di lokasi PLTU Batubara berada, kehidupan nelayan kecil yang melakukan kegiatan tak jauh dari garis pantai sangat terganggu. Hasil tangkapan ikan pun menurun drastis.
“Penolakan terhadap pembangunan ini tidak hanya terjadi di Batang tetapi juga di tempat-tempat lain seperti Indramayu, Cirebon, Jepara, Bengkulu, dan Cilacap. Dampak kesehatan akibat polusi seperti penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pernapasan dialami oleh mereka yang tinggal dekat dengan lokasi PLTU Batubara”, jelasnya.
Sementara Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam menyatakan, Klaim Pemerintah bahwa proyek 35.000 MW akan memenuhi pasokan bagi 13% rakyat Indonesia yang belum teraliri llistrik, agaknya jauh panggang dari api.
“Mengingat, sekitar 60% (21.000 MW) dari total 35.000 megawatt pembangkit listrik, justru dibangun di wilayah industri Jawa dan Bali, yang rasio elektrifikasinya sudah hampir mencapai 99%. Artinya, mega proyek ini dibangun hanya untuk memenuhi kebutuhan industri semata”, ungkap Melky.
Masyarakat Batang telah melakukan puluhan aksi di Batang, Semarang, hingga Jakarta. Mereka juga telah melakukan berbagai upaya termasuk menempuh jalur hukum, audiensi dengan berbagai instansi pemerintahan, hingga pergi ke Jepang untuk bertemu dengan investor.
Aksi hari ini, menekankan kembali kepada pemerintah dan investor bahwa perjuangan mereka dalam menolak proyek kotor ini belumlah usai. (Melky/Andre/VoN)