(Tanggapan Atas Pernyataan Bupati Mabar)
Oleh: Bonefasius Jehadin
Pemberitaan beberapa media online tentang niat Bupati Manggarai Barat (Mabar), Agustinus C.H Dula (GD) untuk lele tuak dan soor monggo ke Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya (FLR) agar menyerahkan aset Pantai Pede yang selama ini terus diperjuangkan rakyat Mabar menjadi ruang publik menuai banyak komentar dari Netizen, ada yang pro namun tak sedikit pula yang kontra.
Dalam pemahaman penulis, lele (jinjing, genggam) tuak (arak) soor monggo (menjulurkan sambil menggosok tangan ke depan) adalah rangkaian adat dalam etnis manggarai yang menunjukan kerendahan hati di hadapan seseorang dalam memohon atau meminta sesuatu.
Ritus lele tuak dan soor monggo ini dapat dilakukan oleh siapa saja baik secara perorangan maupun secara komunal. Dan tentu saja secara adat, budaya orang Manggarai meminta sesuatu dengan menggunakan ritual seperti ini adalah sesuatu yang sangat baik dan penuh hormat.
Dan lazimnya, si termohon akan merasa sangat tergugah hatinya dan gampang untuk memberikan apa yang dimohonkan oleh orang yang lele tuak dan soor monggo itu. Hal ini tentu saja karena dirinya merasa sangat dihormati.
Namun menurut penulis dalam konteks masalah Pantai Pede yang melibatkan Gubernur NTT dan Bupati Mabar, sangat tidak tepat jika seorang Bupati lele tuak dan soor monggo di hadapan Gubernur.
Sebagai anak kandung Mabar mendengar berita ini, penulis tentu saja merasa terganggu dan tak sudi serta mengusik nurani karena sang pemimpinya bertingkah seperti ini.
Bagi penulis, jikalau hal itu dilakukan oleh Bupati GD, maka tindakan ini sesungguhnya kekonyolan yang sudah dipertontonkan oleh seorang pimpinan daerah.
Ini sangat konyol karena sikap keras kepala Gubernur Frans terhadap masalah Pantai Pede adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum khususnya UU No 8 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat.
Selain terlihat konyol, ini juga bentuk kerendahan diri yang sangat berlebihan dari GD, yang bisa diartikan sebagai sikap menghamba terhadap Gubernur yang dengan gagah beraninya mempertahankan arogansi kekuasaannya selama ini.
Jadi jelas sekali ritual ini bisa berujung pada penghinaan GD terhadap dirinya sendiri, juga terhadap rakyat Mabar yang telah memberikan legitimasi kepada dirinya untuk menjadi pemimpin Mabar.
Terminologi bahwa pemimpin memang kerap diibaratkan sebagai seorang “hamba” mesti diakui, namun bukan menghamba pada kekuasaan apa lagi kepada pejabat walau jabatannya lebih tinggi. Seorang Bupati hanya bisa dan harus menghamba kepada rakyatnya sendiri.
Karena itu dalam konteks polemik Pantai Pede, GD sebagai seorang kepala daerah mesti menjadi pemimpin yang menghamba kepada rakyat yang merindukan adanya ruang publik bukan kepada Lebu Raya sebagai Gubernur yang saat ini juga sedang menyembah Korporasi.
Upaya pendekatan terhadap Lebu Raya sudah cukup dilakukan baik melalui jalan dialogis maupun aksi demonstrasi, toh sampai hari ini Lebu Raya tetap acuh tak acuh dengan berbagai upaya itu.
Di sini Lebu Raya telah menunjukan arogansinya, dan orang yang arogan tak pantas menerima penghormatan lele tuak dan soor monggo. Upaya hukum adalah langkah tepat yang harus dilakukan Bupati GD.
Baca Dan Eksekusi Perintah UU
Niat GD dalam melakukan upaya lele tuak dan soor monggo hemat penulis adalah bentuk minimnya pengetahuan Dula dalam memahami perintah UU No. 8 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Mabar.
Karena itu saran penulis Bupati Dula mesti membaca kembali dan memahami isi dan perintah UU tersebut untuk segera dieksekusi.
Dalam UU No. 8 Tahun 2003 tersebut, BAB IV: KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 ayat (1) bahwa:
Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manggarai Barat, Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Bupati Manggarai sesuai dengan peraturan perundanhg-undangan mengiventarisasi, mengatur, dan melaksanakan penyerahan kepada pemerintah Kabupaten Manggarai Barat hal-hal sebagai berikut: Poin b). Barang milik/kekayaan daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak dan barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh pemerintah Nusa Tenggara Timur dan kabupaten Manggarai yang berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Ayat (2) menyatakan bahwa Pelaksanaan penyerahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diselesaikan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak persemian kabupaten dan pelantikan penjabat Bupati. Ayat (3) Dalam hal penyerahan barang sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dilaksanakan, pemerintah Manggarai Barat dapat melakukan upaya hukum.
Pemahaman penulis perintah UU No. 8 tahun 2003 ini final dan mengikat, tidak ada tawar menawar. Itu artinya Gubernur wajib hukumnya untuk menjalankan perintah UU ini.
Rakyat Mendukung
Kealpaan Lebu Raya dalam mengeksekusi UU ini adalah sikap tidak terpuji dan telah merendahkan martabat Bupati Dula dan seluruh rakyat Mabar.
Karena itu Bupati Dula mesti harus tegas dan melakukan upaya hukum atas sikap arogansi Lebu Raya yang mengabaikan segala upaya rakyat Mabar selama ini sejak tahun 2012.
Jadi sesungguhnya yang menjadi penentu apakah Pantai Pede tetap menjadi ruang publik atau diprivatisasi adalah satu-satunya Bupati Mabar, bukan Lebu Raya.
Posisi Lebu Raya saat ini adalah orang yang secara membabi buta menabrak aturan, yang mestinya tidak boleh dilakukan oleh seorang Gubernur, apa lagi harus berperang melawan rakyatnya sendiri.
Karena itu Bupati Dula mestinya tidak boleh ragu-ragu apa lagi takut, rakyat Mabar siap mendukung.
Selain dukungan penuh dari rakyat Mabar, juga dikuatkan Perintah Mendagri pada (13/9/2016) sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Mendagri No. 170/3460/SJ.
Ini sesungguhnya amunisi yang mumpuni di tangan seorang Bupati Dula. Sekarang tinggal menunggu kemauan dari Bupati saja.
Kalau ini sampai terjadi maka itu bisa jadi kado terindah sepanjang hayat yang diberikan Bupati Dula untuk dipersembahkan untuk rakyat Mabar. Dan sepanjang itu pula Bupati Dula akan dikenang sebagai pahlawan bagi rakyatnya sendiri.***