Gaduh di Pulau Kecil
Alangkah rindu akan pulang
Melambai darii balik tangisan sang pejuang
Alangkah rindu akan pulang
Melihat ayah mengasah serpihan bambu menjadi bakul tuk para pelacur dikursi panas
Alangkah rindu akan pulang
Melantun syair meneriakan suara bagi pengemis papa
Alangkah rindu akan pulang
Mendengar kakek di negeri dahulu
Alangkah rindu akan pulang
Membawa si kecil pergi dari kegaduhan kota
Ini tentang pentas yang menjijikan
Aku…kamu…kita…
Ya kita…yang rindu akan pulang
Menutup semua mata yang sedang menyaksikan
Menghentikan langkah yang sebentar lagi masuk dalam perangkap para penyebab gaduh
Kau bersembunyi dibalik Jasmu yang biru yang kau pakai disaat menertawakan pentasmu dan yang kau tanggalkan disaat merayu kaumku..
Mungkin kau tak tahu…
Betapa merah darah leluhurku menyaksikan kota yang kini gaduh..
Ahh….
Sudahi semua ini
Mari merindu untuk pulang
Kepada Malam yang Sunyi
Sebungkus sajak..
Ku kemas dalam bingkisan kata
Kepada pemilik malam
Rindu ini hampir jatuh
Bukan mengeluh,hanya ingin mengaduh
Menyaksikan purnama dari balai desa
Malam yang sunyi..
Ahh…bukan maksudku rindu yang sunyi
Mengapa semua sunyi?
Mengapa hanya mendengar dibalik pintu?
Mengapa kaumku enggan berteriak?
Mengapa kau…Kau yang Dia sebut lekakiku hanya merayap dalam sunyi ini?
Tapi maaf…
Aku pun masuk dalam sunyi yang pekat ini…
Wajah Kaku
Di ujung jalan itu
Aku tertegun melihat wajah yang kini kaku…
Dihina dengan kaki para pemenang (palsu)
Diludahi dengan janji dari mulut si Manis
Dinodai dengan semangat kemunafikan…
Tahukah kau..
Dahulu wajah itu semangat
Dahulu wajah itu hidup kami
Dahulu wajah itu jiwa kami
Tak beranikah kau mengangkat wajah itu lagi…
Kini…kata Ibu wajah itu adalah debu