Oleh: Andy Tandang*
Gelombang penolakan terhadap kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin kencang dilakukan.
Penolakan terhadap organisasi besutan Syaiqh Taqiyyudinn an Nabhani dan Omar Bakri Muhammad itu telah merembet ke beberapa daerah di tanah air.
Mulai dari Jakarta, ketika Polda Metro Jaya menolak memberikan izin permintaan organisasi HTI yang ingin menyelenggarakan acara internasional Khilafah Forum 1438 H di Balai Sudirman Jakarta pada Minggu kemarin.
Di Bandung, Satuan Koordinasi Wilayah Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Jawa Barat menyatakan sikap tegas membubarkan pawai akbar HTI yang akan digelar di kota Lautan Api itu pada 14-15 April 2017 mendatang.
Penolakan yang sama juga dilakukan oleh Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Barat. PMII secara tegas menyatakan penolakan terhadap setiap agenda kelompok Islam yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah, Negara Islam dan sejenisnya di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, di Semarang, Makasar, Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah lain di Indonesia menyatakan sikap yang sama untuk menolak kehadiran HTI.
Hampir pasti, spirit penolakan itu tersembur dari sebuah kesadaran bersama akan eksistensi bangsa Indonesia yang berasaskan Pancasila dan tidak pernah boleh digeser oleh ideologi apapun.
Tentang HTI
Hizbut Tahrir didirikan sebagai harokah Islam yang bertujuan mengembalikan kaum muslimin untuk kembali taat kepada hukum-hukum Allah SWT yakni hukum Islam. (Hanry Jackson 2009).
Di sisi lain, Hizbut Tahrir hadir untuk memperbaiki sistem perundangan dan hukum negara yang dinilai tidak Islami (kufur) agar sesuai dengan tuntunan syariat Islam, serta membebaskan dari sistem hidup dan pengaruh negara barat.
Di balik tameng hukum Islam tersebut, Hizbut Tahrir mempunyai agenda besar yaitu membangun kembali pemerintahan Islam warisan Rosulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin dalam kerangka spiritualitas Khilafah Islamiyah di dunia dengan kembali memberlakukan hukum Islam.
Dalam sebuah makalah yang dikeluarkan oleh Mabes TNI, secara jelas mendudukkan posisi Hizbut Tahrir sebagai organisasi politik yang menolak ideologi selain Islam.
Mereka anti kapitalisme, anti sosialisme dan anti pancasila. Ideologi-ideologi tersebut telah dinobatkan sebagai sumber perpecahan dan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.
Konstruksi berpikir yang dibangun adalah menganggap ideologi-ideologi itu sebagai buatan manusia yang terbukti kecacatannya dan telah memproduksi berbagai macam persoalan di bumi.
Dengan demikian, semua ideologi yang ada selain Islam tersebut bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya.
Konsekuensinya, semua organisasi atau partai umat Islam wajib berdasarkan Islam semata, baik ide maupun metodenya.
Sebagai sebuah organisasi trans-nasional, Hizbut Tahrir telah bergerak dan beraktivitas di lebih dari 40 negara di 5 benua, termasuk Indonesia.
Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia ketika K.H Abdullah bin Nuh atau yang lebih dikenal dengan panggilan ‘Mamak’ mengajak Syaikh Abdurrahman al Baghdadiy ke Indonesia.
‘Mamak’ adalah seorang ulama, tokoh pendidikan, sastrawan dan pejuang. Pria yang lahir di Kampung Meron Kaum, Kota Cianjur Jawa Barat pada tanggal 6 Juni 1905 ini, sangat gigih menyerukan agar masyarakat berpegang teguh pada ajaran atau syariah Islam. Spiritualitas ini selalu dihembuskan dan menyebar secara agresif hingga saat ini.
Agresi Ideologis
Sepanjang sejarah Indonesia, terdapat dua kekuatan besar yang berusaha mengoyak semangat kebersamaan nasional.
Pertama datang dari Timur Tengah, berupa gerakan Islam politik yang menginginkan terbentuknya negara agama.
Kedua dari Eropa berupa gerakan ekonomi global yang menginginkan penguasaan atas sumber daya alam secara besar-besaran dengan tanpa mempertimbangkan moralitas (Rifkles, 2013).
Dua kekuatan besar tersebut, baik itu kekuatan Islam Politik maupun Ekonomi Global, ibarat dua sisi mata uang yang berbeda satu dengan yang lainnya, namun memiliki visi yang sama, yakni mencerai beraikan kekuatan nasional bangsa Indonesia.
Sejarah mencatat, berdirinya bangsa Indonesia merupakan hasil jerih payah semua elemen bangsa. Seluruh pemeluk agama dan suku bangsa bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari cengkraman imprealisme dan kolonialisme bangsa asing.
Di sana terpancar cahaya persatuan, bukan semata-mata kekuatan individu maupun kelompok tertentu.
Hal tersebut hendak menegaskan kembali bahwa Indonesia lahir dari rahim pluralitas. Diferensitas kultural, agama, suku dan ras telah terbungkus rapi dalam ‘kitab’ kebangsaan kita, Pancasila.
Menggeser Pancasila atas nama doktrin komprehensif agama ataupun ideologi tertentu merupakan bentuk pengkhianatan yang paling keji atas darah dan air mata perjuangan para sesepuh bangsa.
Pancasila telah terpikirkan sejak awal sebagai perekat kebhinekaan. Melalui nilai-nilai yang terkandung di dalmnya, pancasila hadir sebagai antitesa atas ambisi ideologis yang sering mengkapling surga dan kebenaran. Lewat sebuah kontemplasi yang panjang, pancasila sengaja disodorkan Sukarno untuk melumpuhkan arogansi mayoritas.
Semenjak kemunculannya di Indonesia, HTI telah menumbuhkan ketakutan akan lunturnya nasionalisme yang telah diperjuangkan sejak lama.
Ada semacam kekhawatiran atas progresifitas gerakan yang secara lugas menuduh Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini tentu berbahaya.
Ketika logika berpikir secara massif didikte dalam kerangka spiritualitas religius tertentu, kebencian akan Pancasila semakin memuncak, pembrontakan pun bisa saja terjadi.
Saya jadi teringat dengan Kartosuwiryo, sang pelopor DI/TII yang berambisi mendirikan Negara Islam Indonesia.
Mereka berhasil menggaet nurani mayoritas Islam di Jawa Barat kala itu lalu mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, meskipun kemudian berhasil dilumpuhkan. Indonesia tidak akan pernah bisa dipaksakan untuk tunduk pada spirit religiositas tertentu.
Jika cerita Kartosuweryo kembali terjadi saat ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan berhadapan dengan gejolak perpecahan luar biasa.
Konsekuensi terburuk adalah perang. Perang mengandaikan kehancuran. Seluruh kekuatan nasional dilumpuhkan. Kita kehilangan pegangan. Bila darah tak ingin tercecer di bumi pertiwi, negara mesti cepat ambil langkah bijak.
Negara harus mampu membaca pergerakan HTI dalam konteks grand design yang menginginkan Indonesia hancur. Negara mesti mecurigai bahwa gerakan HTI adalah bentuk agresi ideologis –sebuah strategi ekspansi ideologi yang sengaja didesain untuk menghancurkan kekuatan tertentu.
Mereka telah masuk ke segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Lini politik dengan kekuatan politisi-politisi yang menyebar ke partai-partai anti nasionalis.
Ruang akademik kampus dengan meracuni rasionalitas mahasiswa yang sontak berubah menjadi mahasiswa pecundang. Ruang privat agama, dirangsang lewat sabda yang berkali-kali menista asas tunggal kita. Hingga pada akhirnya kita menunggu waktu yang tepat bendera khilafah berkibar di tanah air.
Merupakan tugas bersama seluruh lapisan kekuatan bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara dengan mengupayakan setiap program kemerdekaan untuk membangun kehidupan bersama di atas bumi Indonesia.
Penolakan yang terjadi di bebarapa daerah di Indonesia setidaknya bisa menjadi alarn. Kita mesti bersatu membangun kekuatan bersama untuk secara tegas menolak HTI, sebelum agresi ideologis mereka berubah menjadi kekuatan yang beringas.
*Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Strategik Ketahanan Nasional Universitas Indonesia.