Soe, Vox NTT-Kasus kematian Yohana Da Silva dan bayinya di RSUD Soe saat melahirkan, terus menjadi perhatian publik.
Dokter spesalisi kandungan, Edwar Manurung (EM) yang pada saat itu menangani pasien akhirnya angkat bicara atas peristiwa itu.
Edwar mengatakan bahwa penyebabkan kematian Yohana dan bayinya adalah embli paru.
Emboli paru, jelas Edwar adalah suatu kejadian yang tidak bisa diprediksi sebelumnya dan kejadiannya secara tiba-tiba sehingga tidak bisa ditangani.
Menurut Edwar, dia sudah berusaha semampunya dan tidak menghendaki adanya kematian seorang pesien yang ditanganinya.
“Iya, berdasarkan kesimpulan saya yang menangani pesien, penyebab kematian ibu Yohana karena suatu kejadian yang tidak bisa diprediksi sebelumnya atau disebut emboli paru,”jelasnya ketika diwawancarai usai memberikan klarifikasi di hadapan anggota Komisi IV DPRD TTS pada Senin (8/5/2017) di ruang komisi IV.
Edwar membantah jika kematian Ibu Yohana dan bayinya disebabkan oleh kelalaian dirinya dan bidan yang menangani Yohana ketika melahirkan.
Menurut dia, berdasarkan hasil diagnosa, kematian ibu Yohana adalah emboli paru air ketuban dan pendarahan post partum e,c atonia uteri.
BACA:Istri dan Anak Meninggal, Yafred Nekat Polisikan Dokter dan Bidan RSUD SoE
Edward bahkan menilai ada upaya untuk mengkriminalisasi dokter dengan memanfaatkan kematian Yohana dan bayinya dengan pemberitaan media masa yang kesannya karena kelalaian dirinya dan 4 orang bidan.
Dokter Edward tidak membantah jika pada saat kelahiran bayi dia tidak berada di ruang persalinan karena sedang menangani pesien di klinik miliknya.
Dia mengaku tidak tahu jika ada telepon dari bidan yang menangani Yohana yang sedang mengalami pendarahan hebat. Dia baru datang ketika bayi sudah dilahirkan dan kondisi Yohana sudah dalam keadaan sekarat.
“HP saya ditaruh di dalam laci karena saya sedang lakukan USG pesien di klinik sehingga telepon dari bidan saya tidak tahu,”aku Edward.
BACA:RSUD Soe Tanggapi Kasus Kematian Yohana dan Bayinya
Mengenai upaya keluarga yang menempuh jalur hukum dengan melaporkan dirinya ke aparat penegak hukum, dia bersama manajemen RSUD SoE sedang berupaya untuk menemui pihak keluarga korban untuk menempuh jalan damai.
“Kita akan berusaha untuk melakukan pendekatan dengan pihak keluarga,”jelas Edward.
Sementara Direktur RSUD SoE,dr. Ria Tahun, mengatakan untuk kasus ibu Yohana yang meninggal bersama bayinya, sedang diselidiki oleh pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kupang dan tim dari IDI sudah melakukan investigasi.
“Iya IDI Kupang sudah datang, nanti kita tunggu hasilnya,”jelas Ria Tahun.
Sedangkan hasil AMP belum bisa didapat karena harus menunggu pergantian ketua tim APM dari dokter Edward manurung ke dokter Herman Mella.
Kronologis
Dikisahkan Yafred (suami Yohana), dia membawa istrinya untuk bersalin ke RSUD SoE pada tanggal 25 April 2017 sekitar pukul 10. 00 Wita dan langsung dibawa ke ruang persalinan.
Keesokan harinya tepatnya tanggal 26 April 2017 sekitar pukul 12.00 Wita diberikan obat perangsang oleh dokter untuk membantu kelancaran persalinan.
Selang beberapa saat kemudian terjadinya reaksi sehingga Yohana mengeluh sakit pada bagian perut sementara dokter EM sudah meninggalkan ruang persalinan dan menitipkan kepada 4 orang bidan untuk memantau perkembangan Yohana.
Setelah memberi obat perangsang dokter EM keluar dari ruang persalinan dan menitipakan pesien kepada 4 orang bidan untuk memantau perkembangan selanjutnya.
“Awalnya setelah masuk di ruang bersalin, dokter tawarkan ke saya untuk kasih obat perangsang. Karena saya juga tidak tahu makanya saya setuju,”kata Yafred yang diamini oleh martuanya Magdalena Da Silva Diaz.
Sekitar pukul 17:00 Wita, istri Yafred, Yohana Da Silva merasa sudah hendak melahirkan dengan rasa sakit yang tidak tertahan lagi.
Melihat kondisi sang istri, Yafred memanggil bidan untuk memberikan pertolongan. Tetapi saat itu bidan menjawab belum waktunya untuk bersalin.
Menurut Yafred saat itu bidan-bidan itu malah asyik mencatok rambut mereka. Sempat mengecek dengan tangannya di bagian vital Yohana namun bidan kembali beralasan belum waktunya melahirkan.
“Waktu itu saya panggil bidan karena saya lihat istri saya sudah tidak tahan sakit, bidan datang dan kasi masuk tangan lalu bidannya bilang, ‘sabar itu belum waktunya’, lalu bidan itu pergi untuk lanjut catok rambut,”kata Yafred.
Selanjutnya kata Yafred, sekitar pukul 19.00 wita karena istrinya sudah tidak tahan sakit Yafred kembali memanggil bidan untuk mengecek kondisi Yohana.
Tetap dengan cara yang sama bidan tersebut memasukan tangannya ke organ vital dan seketika itu juga darah pun mengalir begitu banyak disertai pices.
“Waktu bidan kasih masuk tangan lagi setelah itu darah mulai keluar begitu banyak dan juga dengan ta’i, sehingga saya keluar ruang karena tidak bisa liat kondisi istri saya lagi,”tutur Yafred.
Lebih lanjut kata Yafred, setelah melihat kondisi Yohana yang sudah lemas, sesak nafas, pucat serta pendarahan hebat, salah seorang bidan berusaha menelpon dokter EM sembari 3 orang bidan lainnya berupaya membantu persalinan Yohana.
Bayi pun berhasil keluar, namun nyawanya sudah tidak bisa tertolong. Ketika dokter EM datang dia hanya berusaha mengeluarkan ari-ari yang masih tertinggal di dalam perut. Sayangnya nyawa Yohana juga tidak bisa diselamatkan.
Sebelum melakukan pertolongan kata Yafred, dokter EM sempat menawarkan kepada dirinya untuk dilakukan operasi untuk mengangkat ari-ari dengan biaya Rp. 2.750.000.
Namun sebelum dia mengamini permintaan dokter EM, Yohana menghembuskan napas terakhirnya.
Melihat proses penanganan persalinan yang terkesan lalai tersebut, Yafred memilih untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan dokter EM ke polisi.
Laporan itu diterima oleh IPDA Otnial Natonis dengan nomor LP/136/V/2017/Res TTS tertanggal 03 Mei 2017. Sampai berita ini diturunkan dokter EM belum juga berhasil dihubungi. (Paul Resi/VoN).