Oleh: Mikhael Wora
(Mahasiswa STFK Ledalero-Tinggal di Biara Scalabrinian, Maumere)
Lahirnya berbagai ormas-ormas dengan semangat radikal yang merongrong keutuhan ideologi Pancasila menjadi santapan renyah di berbagai media, baik media cetak maupun online.
Salah satu ormas yang akan dibubarkan oleh kebijakan pemerintahan Indonesia yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pembubaran HTI dilakukan negara karena disinyalir bertentangan dengan ideologi negara yang dapat menyebabkan pecahnya kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apabila ormas-ormas semacam ini dibiarkan berkembang maka sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum tahun 1924 akan terulang kembali, di mana negara dibangun atas dasar ketuhanan.
Setelah sistem kekalifahan runtuh di tahun 1924, bapak proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno saat itu mengambil kebijakan untuk tidak lagi mendirikan negara di atas sistem semacam itu.
Melalui tulisan ini, penulis berpendapat bahwa ideologi Pancasila sebenarnya sudah membuka peluang besar bagi kebebasan dari setiap individu. Hanya saja ambisi dari setiap penganut agama yang tidak bisa dikontrol oleh terang akal budi membawanya kepada semangat perjuangan yang salah dan kerap buntu.
Benih-benih Kelahiran
Penulis ingin memaparkan beberapa kemungkinan yang menjadi benih-benih munculnya radikalisme agama.
Kemungkinan pertama dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan kedangkalan iman. Para penganut agama yang menafsirkan ajaran agamannya secara dangkal menghantar mereka pada kesalahan dalam menafsirkan ajaran agamanya.
Jika salah dalam menafsir tentu akan salah pula dalam penerapannya. Hal ini dapat dilihat dari sikap para penganut agama yang begitu mudah tersinggung terhadap masalah yang berkaitan dengan agamanya.
Kemungkinan kedua dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan negara yang otoriter. Masyarakat kecil yang tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap pemerintah karena diperlakukan secara tidak adil tentu mempunyai kerinduan untuk membentuk suatu negara yang ideal.
Menurut mereka, negara yang ideal ini bisa dicapai jika dibangun atas dasar ajaran agamanya yang kaya akan nilai-nilai kebenaran.Radikalisme agama akan mudah terbentuk dan menjadi kuat apabila lahir dari rahim agama-agama yang tergolong mayoritas.
Kematian Pancasila?
Perkembangan radikalisme agama boleh dikatakan penulis sebagai awal kematian bagi Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila sudah mendarah daging dalam sejarah kemerdekaan dan dalam diri setiap warga negara Indonesia.
Apabila negara dibangun atas dasar agama maka akan menunjang perpecahan dari setiap agama karena masing-masing penganut akan mengklaim bahwa agamanya yang paling benar dan yang paling pantas untuk dijadikan dasar negara.
Dari sinilah kerusuhan dan kekerasan atas nama agama akan mewabah di setiap wilayah NKRI. Setiap penganut akan memakai agama sebagai dasar tindakan atas kekerasan yang dilakukannya.
Kehadiran agama yang pada mulanya hanya sebatas “sarana” akan berubah dan dijadikan sebagai “tujuan” itu sendiri.
Jika ini terjadi, maka pancasila akan dimakamkan di dalam pusaran sejarah dan juga dikenang oleh sejarah itu sendiri.
Jalan Pemberantasan
Menghadapi kenyataan ini, penulis menawarkan beberapa solusi praktis sebagai jalan keluar untuk memberantasi benih-benih radikalisme agama.
Langkah pertama yakni adanya keterbukaan hati untuk menerima dan menghargai kehadiran agama lain. Sikap saling menghargai perlu ditanamkan dalam diri setiap pribadi mulai dari keluarga sebagai lingkungan yang paling kecil tempat individu tumbuh dan berkembang.
Kedua, membangun sebuah dialog interreligius. Dialog dapat terjadi apabila adanya keresahan bersamaakan terciptanya kerusuhan dan kekerasandari setiap agama yang ada dalam bingkai kesatuan bineka tunggal ika.
Ketiga, peran dari setiap pemimpin agama sangat dibutuhkan demi meluruskan ajaran agama yang benar kepada setiap penganutnya. Hal ini demi menghindari adanya kesalahan dalam menafsirkan ajaran agamanya sehingga para penganut agama tidak begitu mudah tersinggung terhadap isu-isu yang datang dari sumber kebenaran yang belum pasti.
Solusi keempat yang ditawarkan yakni memilih para pemimpin yang jujur dan adil agar tidak terjadi ketimpangan dalam pembangunan suatu wilayah yang menjadi tempat kediaman bersama.***