Ende, Vox NTT-Jarum pendek menunjuk angka tujuh pada pagi hari, waktu Syafrudin (55) mulai beranjak menuju lapak beratap terpal di Jalan Soekarno Ende Flores.
Di jalan nama Presiden Indonesia pertama itulah Syafrudin mengais nafkah sepanjang hari untuk kehidupan keluarga.
Siang itu, di depan sebuah warung makan terdapat sebuah gubuk berukuran 2×1 meter. Orang sibuk keluar masuk untuk mengisi perut pada sebuah warung ternama di Ende, Syafrudin malah sibuk menyelesaikan tugas pokoknya sebagi penjahit.
Tumpukan sepatu di hadapan Syafrudin masih memperlihatkan kerja keras yang belum membuahkan hasil. Tangan terampil Syafrudin pun terlihat sedikit bergetar ketika memasukan benang-benang sol ke sepatu hitam pekat yang sedari tadi dia genggam.
“Ya, saya tidak pandang kerja seperti apa. Tapi saya mau menjadikan ini menjadi arti dalam hidup saya,” katanya berpesan di pinggir jalan Soekarno.
Pria separuh baya ini sudah 25 tahun sebagai tukang sol sepatu setelah sebelumnya menjadi buruh kasar. Karena kondisinya semakin tua ia beralih menjadi tukang jahit sepatu sejak gempa Tahun 1992.
Pria yang mengaku nama Syafrudin Yusuf ini memiliki seorang istri yang disebut Arjuna Dauh. Ia dan istrinya dikarunia empat anak.
Ia mengaku sudah membiayai anak pertamanya hingga tamat sekolah menengah atas dari hasil kerjanya. Tiga anak lainnya kini sedang duduk di bangku sekolah.
“Anak saya minta kuliah tapi saya lagi usahakan uang. Saya dan istri saya sedang siap kuliahkan anak kami,” katanya sambil tersenyum.
Pria yang mengaku tamat sekolah dasar ini mengaku penghasilan setiap hari bervariasi. Mulai dari Rp10.000 hingga Rp 60.000. Itupun tergantung dari pesanan.
Semangatnya untuk mengais fulus terus menggebu. Sebab, tekanan ekonomi keluarga menumpuk di pundak Syafrudin.
“Saya tidak pusing ada pesan atau tidak. Intinya saya tetap menanti disini,” katanya singkat sambil menusuk jarum ke sepatu diatas kain kusam itu.
Baju putih berkotak dipadu celana cokelat kehitaman yang dipakai Syafrudin menjadi andalan setiap hari. Beralas sendal jepit hitam pelindung kakinya sepanjang jalan Perwira menuju jalan Soekarno.
Dibawah gubuk kecil, semua jenis sepatu ia perbaiki. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Dari para tengkulak hingga pejabat berjas hitam.
“Semua pesanan dititip ke saya. Anak-anak 10 ribu. Sampai dewasa 15 ribu. Ada pejabat juga bawa ke saya. Ya, harganya sama,”pungkas Syafrudin mengisah.
Syafrudin tidak memisah-misahkan harga untuk pelanggan sekalipun pejabat. Ia mengaku pernah mengembalikan uang pejabat saat membayarnya lebih dari patokan harga olehnya.
Menurut dia, selain isi dompetnya yang digapai ada hikmat yang menjadi cita-citanya. Hikmat yang diperoleh Syafrudin adalah membuat kehidupan menjadi berarti.
“Orang tidak melihat hal yang negatif yang saya kerja. Saya mendapatkan hikmah atau hal yang positif dalam pekerjaan ini,” tutur Syafrudin.
Hampir dua jam lebih perbincangan kami, belum satu jua ada orang mampir ke lapak Syafrudin untuk mengapresiasi jasanya.
Hanya beberapa pemuda pun berdatangan sembari mengiburnya siang itu. Tapi senyum lebar Syafrudin setiap kali berbincang dengan siapa saja tak melihatkan seseorang yang tengah pusing mencari keping. Perbincangan kami pun diakhiri.***(Ian Bala/VoN)