Larantuka Vox NTT-Pupuk bersubsidi itu penting tapi belum sepenuhnya dipahami oleh para petani di desa.
Demikian komentar dari Darius Don Boruk, Kepala Desa Boru Kedang menanggapi hasil survey dari Yayasan Ayu Tani dan KRKP (red-Koalisi Rakyat untuk Keadilan atas Pangan) pada Maret 2017 lalu terkait rendahnya pemahaman warga di desanya tentang pupuk bersubsidi.
” Jadi sebetulnya bukan tidak paham tapi tingkat kebutuhannya itu yang belum terlalu. Di desa kami yang paham itu petani-petani yang punya lahan sawah, baik sawah tadah hujan maupun sawah permanen. Itu juga petani yang sudah tergabung dalam kelompok tani Pak” tuturnya.
Menurut Boruk, kondisi tanah di desa yang dipimpinnya itu masih subur jadi mungkin petani-petani belum merasa urgen sekali kebutuhan akan pupuk bersubsidi itu.
Kata Don lebih lanjut, survei yang sudah dilaksanakan menjadi perhatian khusus dari pemerintah desa untuk segera menyusun strategi pemanfaatan pupuk bersubsidi.
Pemahaman akan pupuk bersubsidi di desa Boru dan desa Boru Kedang memang masih minim.
Hal ini mengemuka dalam audit sosial peredaran pupuk bersubsidi di kabupaten Flores Timur khususnya pada dua desa tersebut.
Survei audit sosial ini dilaksanakan selama periode Desember 2016 sampai dengan Maret 2017.
Pelaksanaan survey ini dikerjakan oleh Yayasan Ayu Tani Mandiri dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan.
Pelaksanaan survey audit sosial dimulai dengan pelatihan enumerator audit sosial dan seminar pada 1-3 Desember 2016 bertempat di Hotel Fortuna Larantuka.
Dalam sesi seminar pembahasan tentang pupuk bersubsidi, Sekretaris Dinas PertanianTanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, Gerterudis Lepan Balela mengatakan bahwa pasokan untuk pupuk bersubsidi di kabupaten Flores Timur adalah sebesar 111.57 ton terdiri dari 495.64 ton urea, 87.75 ton SP, 56.78 ton ZA, 414.11 ton NPK dan 59.29 ton pupuk organik.
Jumlah ini kemudian dialokasikan lagi ke kecamatan-kecamatan berdasarkan permintaan yang termuat dalam RDKK ( Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok).
Dalam pelaksanaan survey audit sosial di lapangan selama periode Desember 2016-Maret 2017 berdasarkan catatan para enumerator antara lain ditemukan persoalan paling mendasar adalah pemahaman petani akan pupuk bersubsidi masih minim.
Hal ini diungkapkan Anna Kei, staf Ayu Tani kepada Voxntt.com pada Sabtu, (20/5/2017).
Anna menjelaskan bahwa dari pelaksanaan audit sosial ternyata rata-rata petani belum sepenuhnya paham tentang penggunaan pupuk bersubsidi.
“Mulai dari takaran pupuk untuk luas lahan saja mereka belum sepenuhnya tahu kaka. Persoalan lainnya adalah bahwa karena di dua desa ini memanfaatkan sawah tadah hujan jadi yang gunakan juga hanya petani di lahan basah, sedangkan petani ladang umumnya belum sama sekali paham”demikian kata Anna.
Terkait komentar dari Kepala Desa Boru Kedang terhadap hasil survei yang dikerjakannya bersama para enumerator, Anna mengaku tidak berkeberatan tapi tetap menganjurkan agar hasil ini menjadi catatan bahwa masyarakat petani tahu bahwa ada pupuk bersubsidi.
Filipus Pelipi, petani dari desa Boru mengungkapkan bahwa persolan yang paling mendasar bagi petani itu salah satunya adalah kendala uang.
“Kami petani ini Pak, kami pikir subsidi jadi gratis padahalnya harus bayar juga. Terus itu mental petani-petani kami juga yang masih dengan pola pertanian tradisional. Bertani pun paling untuk makan saja” tutur Filipus.
Terkait dengan hasil survey ini, Veronika Hape Watu, Pegawai PPL dari Kecamatan Wulanggitang- Flores Timur menjelaskan bahwa hasil audit sosial ini sangat bermanfaat karena ikut memberi masukan bagi dirinya dan kawan-kawan penyuluh di Wulanggitang.
Menurut Veronika kendala terbesar yang dialami selama dua tahun menjadi pegawai PPL di kecamatan Wulanggitang adalah mental petani yang belum cukup terbuka menerima masukan dari petugas PPL.
“Jadi yang paling penting itu kita PPL praktekan dahulu cara pertanian di ladang atau sawah kita. Kalau kita jelaskan mana mereka mau terima. Jujur Pak, saya ini kadang pake kejar petani sampe di kelompok-kelompok untuk beri penjelasan tentang teknik pertanian itu” ungkap Veronika.
Khusus di desa Boru dan Boru Kedang menurut Veronika luas lahan sawah pertanian permanen mencapai 34 hektar, sawah tadah hujan 97 hektar dan ladang luasnya mencapai 728 hektar.
Besarnya luas lahan ini belum maksimal dimanfaatkan karena memang polanya masih tradisional.
“Jadi kalau hasil survei kawan-kawan LSM begitu memang benar karena faktor pupuk bersubsidi itu dapat mendongkrak hasil padi”demikian tuturnya.
Terkait peredaran pupuk dari tangan pengecer ke kelompok tani dan para petani menurut Lukas Olak Tukan, Ketua KUD Ile Mandiri yang menjadi pengecer di kabupaten Flores Timur mengemukakan bahwa kendala dari pengecer ke petani tidak ada, yang terjadi selama ini adalah keterlambatan dari distributor kepada pengecer.
“Saya ini kalau pupuk dari distributor Ende itu masuk terlambat saya selalu komplein ke Pabrik di Kalimantan itu. Jawabannya sama saja, nanti kami baru urus dengan distributor. Begitu terus, saya juga kadang kesal” demikian Lukas yang ditemui tim enumerator di KUD Ile Mandiri pada Februari 2017 yang lalu.
Sementara Thomas Uran, Direktur Yayasan Ayu Tani ketika dimintai tenggapannya terkait minimnya pemahaman tentang pupuk bersubsidi menjelaskan bahwa sebetulnya ada dua hal mesti ditata yakni pertama penguatan BUMdes.
Dalam penguatan BUMdes bisa ada celah untuk masyarakat menjadi pengecer lokal di desa. Ini membantu petani yang selalu kesulitan kalau harus membiayai transportasi pengambilan pupuk ke ibu kota kabupaten.
“Nanti bisa diatur cara pengembaliannya dari petani atau kelompok tani ke BUMdes itu” kata Thomas.
Kedua adalah perlu adanya Perda untuk penguatan BUMdes.
“Tentunya akan ada banyak stakeholder untuk kerja-kerja macam ini, tapi kalau kita mau petani berdaulat ya mungkin itu yang bisa jadi masukan” terangnya. (Hengky Olla/VoN).