Borong, Vox NTT- Mereka adalah guru honor SMA dan SMK, bukan PNS. Kesehariannya dengan penuh pengabdian. Mereka tampil di depan kelas sebagai penyelamat bagi sekolah-sekolah yang kekurangan guru tetap.
Namun, ketika kewenangan SMA dan SMK beralih ke provinsi, nasib mereka malah tidak ikut “terselamatkan”. Hingga kini para guru itu masih menunggu keputusan pasti Pemprov NTT untuk membayar upah mereka.
Kisah miris ini terjadi di sejumlah daerah termasuk di Manggarai Timur (Matim). Hingga kini nasib ratusan guru di wilayah itu belum jelas. Sejak Januari sampai Mei 2017 ini, penghasilan guru honorer tersebut sudah tidak menentu.
Pelimpahan wewenang pengelolaan SMA/SMK dari Pemerintah Kabupaten Matim ke Provinsi NTT awal tahun ini membuat nafkah guru honor tak lagi bersumber dari APBD II.
Selama ini, mereka sebagai guru komite penerima Bos Daerah (Bosda) memeroleh gaji Rp 600 ribu per bulannya. Upah yang rutin diterima tiap tiga bulan itu meski sedikit tetapi cukup untuk menghidupi keluarga.
Salah satu guru honor yang mengajar di salah satu SMA Negeri di Matim yang berinisial LJ kepada VoxNtt.com, Selasa (23/5/2017), mengatakan kini dengan beralihnya pengelolaan SMA/SMK ke provinsi belum ada kepastian terkait gaji.
“Kami yang di SMA/ SMK ada 2 point saja yang kami keluhkan, terkait soal SK Gubernur untuk THL Provinsi dan SK Gubernur soal gaji 15% bersumber dari dana BOS yang sampai saat ini kami pertanyakan. Mengapa sampai saat ini gubernur belum mengeluarkan SK-nya? Sementara nomenklaturrnya sudah ada dari kementerian,” kata LJ.
Dia mengaku selama ini satu-satunya harapan untuk menopang ekonomi keluarganya hanya bersandar pada uang komite.
“Yah, harapan saya gaji yang bersumber dari komite saja untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Berbicara tentang cukup dan tidaknya, saya pribadi mengaku bahwa pastilah tidak cukup,” ucap dia.
“Tambah lagi punya tanggung jawab menghidupkan keluarga yang berjumlah empat orang. Kami tidak memiliki sumber lain selain gaji komite yang jumlahnya sangat sedikit dibandingkan kebutuhan ekonomi keluarga. Apalagi kami sebagai pendatang di tempat kami mengajar. Mau dan tidak mau, harus bersabar menerima kenyataan kehidupan ekonomi keluarga yang semuanya serba kekurangan,” imbuh LJ.
Gaji terlambat kata dia, memang seringkali menjadi sajian mereka dan itu sudah biasa bagi guru honor.
“Karena biasanya uang komite di sekolah selalu terlambat membayar uang komite dari anak-anak. Karena anak sekolah selalu berharap uang PIP untuk membayar uang sekolah. Jadi biasanya kami terlambat menerima gaji, hal ini biasa terjadi di sekolah tempat saya mengajar,” tukas LJ.
Dikatakan, hingga kini LJ tidak bisa berbuat apa-apa hanya pasrah dengan keadaan. Apalagi keadaan orangtua murid di sekolahnya sangat memperihatinkan. Pendapatan mereka rata-rata kecil dan serba tidak pasti. Semua orangtuanya adalah petani.
Untuk kebutuhan keluarga di kampungnya lanjut LJ, seringkali orangtua marah. Di saat mereka membutuhkan bantuan dalam hal keuangan ia tidak melayani.
“Sedih sebenarnya, sering kali kami menolak dengan alasan tidak ada uang. Tidak jarang juga merasa kasian dengan keluarga. Tapi dengan kondisi keuangan yang sangatlah pas-pasan bahkan seringkali tidak cukup. Beruntung saja, beras masih ditanggung oleh orangtua kalau pas musim panen,” imbuhnya.
LJ sempat berpikir beralih profesi lantaran tak tahan dengan keadaan itu. Misalnya, ingin mengubah perekonomian keluarga dengan membuka usaha, berjualan, berbisnis dan lainnya. Namun, kendalanya yakni modal untuk mulai.
“Yang penting kita melaksanakan tugas kita dahulu. Meski hak kami belum terpenuhi, kami pentingkan pendidikan anak dahulu, seperti itulah tugas utama tenaga pendidik,” kata LJ. (Nansianus Taris/VoN)