*Ama Khurman
Berawal dari Sajak
Pada alam yang harmoni
Bersih tatap keagungan dan keindahan semesta
Sajak berkelana riang bersama mata angin
Menyusuri ribuan mil dalam ketiadaan
Seakan bahtera tengah terapung di atas tak bertepi
Rasa-rasanya sajak cintaku tak lagi suram
Mekar mewangi bercahaya
Maka terjagalah
Cinta!
Aku mengenalmu sejauh sajak berkelana
Segala niat yang suci berbicara
Rasa yang ikhlas di antara bisik sumbang
Telah menyatu dalam aminmu dan aminku
Nadi bergetar lembut, darah mengalir manja
Ketika kubutakan mata
Kutulikan telinga
Dan menepi di bawah rindang kehormatanmu
Maka izinkanlah aku menuntunmu
Bersama-sama mengucap bismilah di hadapannya
Jika ia berkenan memandu, jangan kau menolak rupa
Jika cinta tak memandang itu
(Jakarta, 18 Mey 2017)
Potret Kapal Tua
Ibu!
Petugas di kapalmu telah bertindak semena-mena
Para penumpang sudah tak lagi dihiraukan
Lihatlah ibu,
Abk-abk itu mengobrak-abrik
Mengoyak-ngoyak layar, bangku dan tirai tidur
Suara penumpang menentang,
Tingkah memberontak hanyalah sia-sia
Sedang cleaning service gaduh itu
Membiarkan sampah-sampah berserakan
Membiarkan cat terkupas, kayu-kayu meretak
Tanpa ada lagi rasa iba
Dalam hati ia berkata “Hahaha Aku Pandai Berenang”
Tinggal membuat laporan palsu,
Tugas telah selesai dan aman terkendali,
Laporan selesai
Ulahnya ibu, lampu-lampu kapalmu telah mulai suram
Kompas tak lagi berfungsi
Kapten kocar-kacir pegang kemudi
Kemana lagi harus mengarahkan kapal ini
Ibu,
Izinkanlah kami tunas mudamu
Mewarnai, membersikan, memperbaiki yang retak itu
Dan menyinari, menuntun arah kapalmu ke pelabuhan damai
(Jakarta, 19 Mey 2017)
Sajak Anak Pantai
Di tengah deru ombak
Menggelegar tawa anak tuan
Kami mengeramkan kebahagiaan
Bersama butiran pasir dan pecahan batu karang
Cita, telah terbang melangit dengan bangau
Hanya layar perahu, arah angin yang tenang
Mata kail bapanda
Kami menggantungkan harap
Mengantongi perut hingga hari ini,
Kami telah tumbuh menjadi jalang di birunya
Dan meyakini,
Bahwa nasib telah mati
(Jakarta, 16 Mey 2017)
Penulis adalah Putra Adonara, tinggal di Jakarta.
——————————————————————————————————————————
Kekasih, Ibu dan Masa Kecil
(Catatan atas puisi-puisi Ama Khurman)
Oleh: Hengky Ola Sura, Redaksi Sastra Vox NTT
Membaca tiga puisi dari Ama Khurman pada edisi voxntt.com kali ini kita diajak menyelami pergumulan perjumpaan pada kekasih, ibu dan pengalaman masa kecil.
Ama Khurman saya kira adalah seorang pencinta puisi yang lagi giat-giatnya jatuh cinta pada puisi. Saya sendiri tidak punya catatan tentang dunia menulisnya juga yang intens sekali tentang dirinya.
Saya hanya coba mencari tahu tentang dirinya itu pun akun facebooknya. Yang saya temukan adalah wall penuh sajak. Salut untuk Ama yang telah ikut mencintai dunia bernama puisi. Catatan atas puisi-puisinya ini adalah usaha memasuki kedalaman puisi-puisinya.
Menyelami puisi Berawal dari Sajak, Potret Kapal Tua dan Sajak Anak Pantai pembaca sebetulnya dihadapkan pada satu point kunci yakni jarak.
Dalam banyak pembacaan atas puisi atau karya sastra lainnya, jarak adalah temali yang tak lain adalah sebuah titian dimana rindu, kesedihan, kebahagiaan juga syukur dihubungkan. Simak deret kata pada puisi Berawal dari Sajak berikut;
Menyusuri ribuan mil dalam ketiadaan
Seakan bahterah tengah terapung di atas tak bertepi
Rasa-rasanya sajak cintaku tak lagi suram
Mekar mewangi bercahaya
Maka terjagalah
Cinta!
Deret kata macam ribuan mil dalam ketiadaan adalah semacam sesak rasa yang pesimistis toh rindu pada kekasih pujaan juga harus terus mekar agar munajat cinta yang diikthiarkan terus melaju tak bertepi.
Pada gilirannya rasa sesak dari jarak itu terjaga pada semangat untuk melantunkan bismilah. Puisi pertama Berjarak dari Sajak sungguh sebuah kelana yang selalu memilih jalan pulang untuk bersama.
Pada puisi Potret Kapal Tua, hemat saya butuh pembacaan yang dalam dan kuat. Ama Khurman memulai puisinya dengan kata ibu.
Menyusuri keseluruhan puisi ini, Ama Khurman sesungguhnya melukiskan persepsinya tentang hidup berbangsa dan bertanah air. Ibu dalam puisi ini kiranya adalah tanda ganti untuk negeri tercinta yang disebutnya dengan kapal tua.
Puisi ini adalah pemadangan buruk pada ketidakadilan dan praktek kekuasaan yang sewenang-wenang. Potret Kapal Tua adalah juga seumpama luahan penuh harap agar jarak pada kapal tua itu juga harus jadi perekat saling berbagi dan mengisi.
Pada deret kata ibu izinkanlah kami tunas mudamu mewarnai sampai pada menuntun arah kapalmu ke pelabuhan damai sudah jadi sebuah penegasan tentang maksud dari puisi ini ditulis.
Selanjutnya pada puisi sajak Anak Pantai, suasana seperti ombak, angin yang tenang juga gelegar tawa adalah keriuhan yang semarak. Puisi ini jadi semacam ceracau pada waktu yang akhirnya menciptakan jarak.
Deret kata kami telah tumbuh menjadi jalang pada birunya adalah ungkapan yang kuat dan tegas tetapi tetap pada satu lajur rindu masa kecil penuh riuh suasana pantai. Dua baris terakhir sajak ini khas karena rindu itu pada akhirnya terbata.
Akhirnya tiga puisi dari Ama Khurman edisi kali ini khas puisi yang itulis oleh kebanyakan penulis-penulis puisi dari NTT. Tampak bahwa pada bagian tertentu deret diksiya bernyawa sekali tapi juga pada deret lainnya datar melaju.
Menyitir sajak Chairil Anwar bahwa nasib dalah kesunyian masing-masing maka Ama Khurman dalam puisinya kali ini mengajak kita membaca kesedihan sekaligus kebahagiaan yang menggelora dalam biru api cinta yang menyala-nyala. Kesedihan dan kebahagiaan, kesabaran dan ketabahan, impian dan harapan, terdengar bersahut-sahutan.