Oleh:Eras San
(Mahasiswa STFK Ledalero)
Terorisme di Indonesia bukanlah masalah baru, hal ini didukung oleh fakta bahwa setiap tahun selalu ada jaringan teroris baru yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Baru- baru ini kita dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, yang terjadi pada Rabu (24/5/2017) sekitar pukul 21.00 WIB dan 21.05 WIB. Ledakan ini menyebabkan tiga orang (yang merupakan anggota kepolisian) meninggal dunia (DetikNews).
Maraknya aksi teror di Indonesia berdampak pada seluruh komponen dalam masyarakat. Masyarakat seolah hidup di bawah bayang-bayang teror.
Fenomena terorisme menjadi momok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal penting yang harus ditelaah dari fenomena ini adalah; mengapa terorisme masif terjadi di Indonesia?
Menyadari urgennya masalah terorisme ini, melalui tulisan ini penulis mencoba mengaitkan fenomena aksi kejahataan terorisme dengan pemikiran dari filsuf perempuan Hannah Arendt tentang worldlessness.
Worldlessness dan Terorisme
Menurut Arendt, dalam analisis politiknya terhadap kejahatan politik pada awal dan pertengahan abad ke-20, ada keterkaitan timbal balik antara kejahatan melawan kemanusiaan dan worldlessnesss, sebuah term yang diciptakan untu menggambarkan kondisi di mana warga Negara dirampas hak-hak asasi mereka dan dijadikan mengambang di luar dunia bersama orang lain.
Bagi Arendt, worldlessness di satu pihak, menggiring orang kepada perilaku jahat atau menjadi pelaku kejahatan; dan di pihak lain, menjadikan orang sebagai korban kejahatan.
Telaah penulis dari pemikiran Hannah Arendt lebih kepada worldlessness menjadikan orang sebagai pelaku kejahatan. Titik terang pemikiran Arendt dengan fenomena terorisme adalah bahwa pelaku kejahatan terorisme (teroris) merupakan hasil dari penanam ideologi radikal atau proses “cuci otak”.
Seorang awam yang masuk dalam suatu institusi radikal (jaringan terorisme) akan mengalami indokrinisasi, bahwa hakya untuk berpikir dan bebas dirampas oleh pemimpin gerakan radikal (misalnya; ISIS).
Melalui ideologi negatif, seorang yang pada awalnya awam mengenai hal ini digiring kepada suatu pemahaman sesat, misalnya; membunuh orang-orang kafir. Hal ini tentu sangat berbahaya dalam kehidupan kita.
Kekafiran manusia tidak bisa ditentukan oleh sesama manusia. Pemahaman- pemahaman sesat ini tentu pada akhirnya akan melahirkan banyak tindakan kejahatan, pembunuhan massal merupakan salah satunya (Bdk. Aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur).
Keberadaan teroris di Indonesia tidak terlepas dari dari regenerasi teroris, setiap tahun seolah ada kaderisasi untuk menjadi teroris. Kaderisasi inilah yang tercakup dalam worldlessness, bahwa orang selalu digiring untuk melakukan tindakan kejahatan.
Hal ini diafirmasi oleh Arendt sendiri bahwa ia sungguh yakin ketika orang tidak mampu berpikir dan kehilangan kebebasan untuk bertindak, mereka dengan gampang dimobilisasi, khususnya oleh Penguasa (dalam hal ini pemimpin kelompok teroris) untuk mengambil bagian dalam kebijakan-kebijakan yang tidak manusiawi.
Relevansi pemikiran Arendt dengan fenomena terorisme tercakup dalam poin berikut bahwa individu yang tidak memiliki kebebasan berpikir akan mudah digiring untuk melakukan suatu tindakan kejahatan.
Menimbang pentingnya kebebasan berpikir tersebut, maka segenap individu harus diberi ruang untuk bebas berpikir (jernih) agar tindakan yang dilakukannya murni melalui pertimbangan akal sehat.
Peran pendidikan
Kebebasan berpikir ketika dihadapkan dengan institusi radikal (terorisme) memang susah dijalankan, apalagi di bawah bayang-bayang ancaman.
Namun hal itu bisa di atasi jika sudah ada konsep dalam diri individu mengenai mana yang baik dan benar. Berkaitan dengan konsep ini, maka peran pendidikan harus digalakan.
Individu harus dipersiapkan dengan pendidikan sosial, keagamaan, politik dan Pancasila yang baik dan benar saat masa sekolah. Agar ia benar-benar menjadi seorang pancasilais yang hidup di NKRI.***