Redaksi, Vox NTT-Pemerintah telah menobatkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Tak hanya itu, setiap tanggal 29 Mei-4 Juni, ditetapkan pula sebagai pekan Pancasila.
Berbicara tentang Pancasila, tentu tidak terlepas dari NTT sebagai rahim terbentuknya lima sila sebagai dasar negara.
Permenungan Bung Karno selama di Ende memang menjadi salah satu titik sentral kelahiran ideologi kebangsaan Pancasila. Bahkan menurut Bung Karno Pancasila layak dijadikan sebagai ideologi dunia di hadapan sidang PBB.
Pancasila adalah jalan tengah dari dua kutub ideologi besar (Liberalisme dan Komunisme) yang sempat menggoreskan sejarah kelam dunia. Perang dunia kedua adalah bukti nyata dari perseteruan ideologi itu.
Sebagai provinsi rahim Pancasila, NTT bisa saja berbangga karena menjadi unsur penting dalam dialektika sejarah Pancasila.
Namun kebanggaan ini tentu tidak cukup dengan apel, fashion show, tarian, pentas seni dan beragam ceremonial kepemerintahan lainnya.
Sebagai rahim ideologi bangsa, NTT harus menjadi teladan bangsa dalam membumikan nilai-nilai Pancasila.
Soal toleransi provinsi ini memang layak diacungkan jempol. Bahkan di level nasional nama NTT selalu disebut sebagai Nusa Toleransi Tinggi. Beragam penghargaan toleransi pun mengalir ke provinsi ini. Pemerintah dan masyarakat NTT pun tersanjung dengan pencapaian itu.
Namun jika mendalami spirit Pancasila 1 Juni, toleransi saja tidak cukup untuk menamakan diri sebagai rahim Pancasila.
Salah satu nilai penting yang jauh lebih besar adalah soal kesejahtraan sosial. Apalah artinya kita tersanjung sebagai Nusa Toleransi Tinggi kalau masyarakat NTT masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Mengenai kesejahteraan sosial ini harus diakui bahwa provinsi tercinta ini masih jauh panggang dari api. NTT bahkan lebih dikenal sebagai provinsi Nasib Tak Tentu alias miskin.
Satu pertanyaan penting yang harus dipikirkan bila perlu direfleksikan bersama, mengapa provinsi ini masih miskin bahkan terus miskin?
Soal kesejahtraan sosial, Bung Karno sendiri dalam pidatonya 1 Juni 1945 menegaskan bahwa kesejahteraan itu bisa dicapai melalui demokrasi ekonomi dan politik.
Singkatnya demokrasi ekonomi dan politik atau sosio-demokrasi itu adalah bicara soal demokrasi yang berkeadilan. Itulah hakikat demokrasi Pancasila.
Dalam konteks NTT, sesungguhnya point ini yang menjadi pusat permenungan pemerintah provinsi maupun kabupaten. Apakah demokrasi ekonomi telah dijalankan dengan baik? Apakah demokrasi di level lokal NTT telah berpihak kepada kaum miskin?
Aksi PMKRI cabang Sikka kemarin di Maumere patut diacungkan jempol soal ini. Para aktivis mahasiswa telah jeli melihat relasi pemodal dan pemerintah dalam pembangunan NTT yang kerap memiskinkan masyarakat NTT.
Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Maumere Maumere, Martinus Laga Muli mengatakan pejabat dan pemodal cenderung memanipulasi pembangunan yang seharusnya untuk rakyat, namun demi kepentingan mereka sendiri.
“Yang terjadi hari ini adalah elit-elit politik berkolaborasi dengan para pemilik modal untuk merebut kekuasaan dengan memanipulasi konsep pembangunan,” ujarnya kepada VoxNtt.com saat ditemui usai mimbar bebas yang digelar organisasi tersebut di Perempatan Patung Teka Iku, Maumere, Kamis (1/6/2017).
Relasi yang intim antar pemodal dan pemerintah provinsi dan daerah di NTT turut menyumbangkan minus kesejahtraan sosial bagi NTT. Bahkan riset Cypri Padju Dale dalam bukunya Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik membenarkan praktik perselingkuhan pemodal dan pemerintah yang memiskinkan itu.
Kita kaya dengan gula, kopi, cengkeh, coklat, vanili dan beragam komoditi lainnya. Kita punya faktor produksi. Kita kaya dengan pariwisata. Tetapi mengapa masih miskin? Riset Cypri di atas akhirnya menjawab: Kita Dimiskinkan Oleh Sistem.
Kembali ke soal Pancasila, jika salah satu nilai utama Pancasila 1 Juni adalah soal kesejahteraan sosial, maka sesungguhnya NTT masih belum layak untuk dikatakan sebagai Bumi Pancasila. Pertama dan yang paling utama adalah pemerintah di NTT belum mampu membersihkan dirinya dari praktek korupsi, nepotisme dan bentuk persekongkolan jahat lainnya.
Walaupun Pancasila lahir di NTT, namun jika belum mampu membumikan nilai kesejahtraan sosial dalam setiap kebijakan pemerintah, provinsi tercinta sesungguhnya belum Pancasilais.
Gubernur tidak Pancasilais, Bupati tidak Pancasilais, Pengusaha yang tidak Pancasilais.
Semoga momentum pekan Pancasila menjadi titik refleksi bila perlu kontemplasi pemerintah agar mampu mengeluarkan daerah ini dari gelapnya sejarah kemiskinan. Beta NTT, Beta Indonesia, Beta Pancasila. (Irvan Kurniawan/Pemred Vox NTT).