Ende, Vox NTT-Puluhan ribu masyarakat dari berbagai daerah merayakan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 2017 di Lapangan Pancasila Ende Flores NTT.
Seorang diantaranya adalah pemulung sampah asal Malang Jawa Timur. Sumarsi, begitu nama seorang ibu setengah bayah yang sudah setahun menjadi pemulung sampah di kota sejarah ini.
Mulanya, Sumarsi tidak mengetahui bahwa akan diadakan upacara kebangsaan di Ende. Ia baru ingat setelah diberitahu anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Sebab, prinsip Sumarsi, dimana ada keramaian, disitu ia berada untuk mengais rezeki.
Sampah adalah modal bagi dia bersama kedua anaknya hidup. Niat hati untuk mengubah hidup, Sumarsi harus memungut sampah di Ende.
“Kerja untuk hidup saya dan anak-anak pak,”sahutnya lantas memungut sampah di sudut Lapangan Pancasila.
Sumarsi bereaksi setelah semua rangkaian upacara kebangsaan usai. Berbekal gerobak dan karung, ia memulai mengumpul sampah.
Ia bersama putri anaknya terus memungut sampah dari sudut ke sudut hingga di Taman Bung Karno. Tentu, sampah plastik yang diminati.
“Untuk biaya anak sekolah. Semua masih SD. Saya harus biayai mereka,”katanya.
Beralas sandal jepit, ia melangkah pelan sembari menunduk memilah sampah plastik. Gelas plastik dan botol plastik itu favoritnya.
Sumarsi mengaku sudah delapan tahun bekerja sebagai pemulung. Di Ende, pekerjaan serupa baru berjalan setahun terakhir.
Ia menjadi warga kilometer satu setelah menikah dengan seseorang asal Ende. Sayangnya, suaminya yang tidak disebut nama meninggal dunia beberapa waktu lalu.
“Jadi, sisa saya dan dua anak saya pak. Tidak ada orang yang biayai sekolah. Saya kerja apa saja bisa dapat uang,”pungkas Sumarsi.
Hasil sampah yang dipungutnya setiap hari mencapai 5-6 kilogram. Dengan harga perkilo dua ribu rupiah.
Ia bisa memungut hingga belasan kilo pada hajatan tertentu. Itulah rezekinya untuk membiayai hidup keluarganya.
“Setiap hari saya keliling kota Ende. Saya pungut di jalan, di emperan toko dan di pasar. Ya, lumayan rezekinya gak seberapa,” ujar dia.
Selain pemulung, Sumarsi juga sebagai seorang tukang cuci pakayan di rumah kilometer satu. Itupun tidak seberapa pendapatannya.
Ia berjanji akan menyelesaikan kedua anaknya hingga pendidikan menengah atas dari hasil sampah. Ia mengaku tidak mampu membiayai kuliah sebab usianya semakin tua.
Sebagai seorang ibu, Sumarsi berkomitmen menjaga, merawat dan menghidupkan kedua anaknya laki-laki dan perempuan.
Sikap putus asa jauh dari kehidupan keluarga dia. Sewaktu-waktu dia mengajarkan kedua anaknya untuk bersama memungut sampah plastik di Kota Ende. (Ian Bala/VoN)