Vox NTT- Bangunan gereja itu digunakan sebagai tempat ibadah bagi umat katolik Stasi Bari dan beberapa stasi lainnya di Paroki Bari, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).
Bangunannya memiliki panjang 15 meter dan lebar 8 meter. Sejak lama ia berdiri kokoh di atas lahan seluas 50×50 meter. Berada sekitar 200 meter dari bibir pantai Laut Flores, bagian utara Mabar.
Meski masih belum roboh dan masih berdiri kokoh, namun gereja tua Bari tampak dibiarkan menua. Beberapa bagiannya tampak sudah termakan usia.
Pihak Gereja Katolik Keuskupan Ruteng belum memerhatikan serius kelanjutan bangunan tua itu.
Padahal di sini, gereja berkembang dengan sangat cepat dan tingkat toleransi dengan umat agama lain sangat baik.
Karena, Gereja Katolik Bari hadir dan hidup berdampingan dengan sesama saudara Muslim.
Sejak dahulu Bari dikenal sebagai kota kecil yang damai, indah, dan ramah.
Sejarah
Dalam sejarahnya, gereja katolik hadir di Bari berkat kerja sama tokoh-tokoh terdahulu. Dahulu Gereja Bari menjadi bagian dari Paroki St. Markus Pateng-Rego.
Dari Pateng, adminitrasi Gereja Bari diserahkan kepada Paroki St. Nikolaus Pacar.
Sejak dari Paroki Pacar status Stasi Bari menjadi Pra paroki Bari.
Setelah sekian lama berjalan, pada tahun 2004 menjadi Paroki St. Martinus Bari. Sekilas sejarah adminitratif Gereja Paroki St. Martinus Bari dan perjalanan ini seiring dengan pertumbuhan umatnya.
Gereja tua di Bari pada mulanya terbuat dari gubuk anyaman bambu dan beratap ijuk (Manggarai=wunut), kemudian terbuat dari papan dan kayu. Selanjutnya, dibuat dari tembok semen dan beratapkan sink.
Bangunan gereja lama sampai saat ini masih berdiri kokoh. Sehingga, proses ini menjadi catatan sejarah tersendiri dan mengingatkan umat di sana tentang perjalanan gereja.
Oleh karena itu, gereja ini tetap dijaga dan dilestarikan meskipun untuk sementara waktu tidak dimanfaatkan lagi sebagai tempat beribadah.
Di samping itu, gereja yang baru sudah didirikan pada tahun 2000-an dan berlokasi di wilayah Loger yang letaknya kira-kira 3-4 kilometer dari pantai Bari. Gereja tersebut sudah dipakai sejak diresmikan hingga hari ini.
Kemajuan Gereja Bari itu berkat kerja sama umat katolik dan hierarki gereja. Lebih dari itu dikarenakan tuntutan dan kebutuhan zaman.
Peran dan keterlibatan Pastor Daniel Sulbadri, Pr yang cukup lama sejak tahun 1998 mengabdi di Bari. Itu yang membuat gereja Bari berdiri mandiri.
Di bawah kepemimpinan Pastor Deni Gereja Bari boleh berdiri mandiri setelah dari Paroki St. Nikolau Pacar.
Setelah itu Pastor Deni diganti oleh Pastor Bedi Bomenardjo, Pr. Lalu, sekarang gereja Bari di bawah kendali imam projo juga yaitu Pastor Willy Gandi, Pr.
Beberapa waktu lalu sekelompok orang ingin meminta kembali tanah gereja tua Bari. Mereka meminta Pater EW, SVD untuk memediasi persoalan ini.
Berdasarkan hasil diskusi dan informasi tambahan yang dihimpun, tanah Gereja Bari tersebut memiliki sejarahnya. Para tetua dari kelompok Muslim dan Katolik mengetahui dengan benar tentang tanah gereja tua tersebut.
Hercan Candra, Dosen Widya Mandala dan putra asli Bari menegaskan persoalan ini perlu melihat kembali ke sejarah.
Bagi Hercan, sejarah itu penting untuk melihat kembali seperti apa awal mulanya gereja tua itu didirikan.
Pernyataan ini benar karena ada sejarah yang mengatakan bahwa ada kesepakatan dan persetujuan di kalangan tetua dahulu supaya di atas tanah tersebut dibangunkan sebuah rumah ibadah.
Dan tanah tersebut pada waktu itu tidak diketahui siapa tuannya. Dan tanah tersebut dikenal dengan sebutan tanah ‘ngiang’ dalam sebutan orang Bari saat itu.
Menurut informasi dari beberapa tokoh bahwa tanah itu dahulu seperti berongga dan tidak satu pun orang yang berani menggarap kala itu. Sehingga, ketika Gereja kala itu meminta tanah tersebut maka dengan senang hati mereka menyetujuinya.
Pihak Gereja tidak begitu saja menerima tanah tersebut. Gereja sendiri melalui Dewan Pastoral Paroki Bari pada beberapa tahun silam menyerahkan sejumlah uang sebagai bukti terima kasih.
Pihak gereja menyerahkan uang itu dengan segala dokumen resmi yang dianggap penting. Sehingga, sampai dengan saat ini beberapa tetua Bari baik Muslim dan Katolik mengakui bahwa tanah tersebut adalah tanah milik misi (Gereja). Dan lebih dari itu, tentang tanah tersebut masih tersimpan berbagai dokumen penting.
Terhadap isu ini pihak gereja menanggapi dengan dingin dan tetap berupaya untuk mengklarifikasi kembali tentang lahan tersebut.
Pastor paroki Bari dan beberapa tokoh senior tetap menjaga stabilitas. Segenap umat melalui sidang bersama merespon dan menolak untuk menyerahkan tanah dan bangunan Gereja tersebut kepada pihak manapun. Bangunan ini adalah gambar atau ikon tentang pertumbuhan Gereja Katolik awal di wilayah pesisir terutama di Bari.
Robby Wirawan, salah seorang penggerak Orang Muda Katolik Bari dan pemuda asal Bari menyatakan, gereja tua ini sudah tidak layak untuk dijadikan tempat ibadah.
Namun, di balik bangunan tua ini terlukis banyak makna dan arti. Dengan melihat bangunan tua ini, itu seperti mengatakan tentang apa, siapa, dan bagaimana Gereja Bari dahulu sampai sekarang. Sehingga biarlah gereja tua ini tetap berdiri.
Menyikapi masalah ini pihak paroki dan seluruh pengurus Dewan Pastoral Paroki Bari sudah menemui pimpinan Gereja dalam hal ini Uskup Ruteng.
Sehingga persoalan tidak akan mencederai hidup rukun dan damai yang selama ini sudah terjalin erat di wilayah Bari.
Memang, gereja tua Bari tetap menjadi cerita tersendiri bagi masyarakat di daerah itu. Ini menjadi fakta yang tidak bisa dibantahkan oleh pihak manapun.
Meskipun, kondisi gereja tua ini sudah termakan usia namun tempat ini tetaplah menjadi ikon penting untuk perkembangan Gereja di wilayah setempat.
Pertumbuhan umat Katolik di Paroki St. Martinus Bari seiring waktu sudah mulai bertambah banyak.
Sejak lama umatnya sudah hidup berdampingan dengan umat Muslim yang menempati wilayah pesisir tersebut. Ikatan persaudaraan menjadi sangat kuat sehingga terlihat rukun dan damai.
Demi terhindar dari percederaian dalam lingkungan sosial, harus cari solusi terbaik ditengah arus konflik sektarian yang mewarnai Indonesia, sehingga tidak terjadi konflik horisontal, ujar Hercan.
Maka, demi kebiakan umum bangunan ini tetap diakui sebagai bangunan bersejarah untuk Desa Bari terutama untuk umat Katolik.
Adalah suatu anomali ketika bangunan ini diklaim untuk kepentingan pihak tertentu. Tentu berdirinya gereja tua ini pada masa silam sudah melalui perjanjian dan persetujuan bersama.
Persoalan tentang tanah adalah soal yang cukup riskan sekarang ini. Di tengah arus kemajuan yang cukup pesat, maka segala sesuatu dihalalkan termasuk mengambil hak milik orang lain.
Bari sebagai target wisata adalah isu yang mengendap di lingkup masyarakat Bari sendiri. Sehingga mereka mulai menghalalkan setiap cara untuk mendapatkan keuntungan.
Bari memang masih terbilang tidak maju, masih banyak yang terbelakang.
Tetapi, harus diketahui bahwa Bari adalah ibukota kecamatan, wilayah pesisir yang menawarkan pesona alam laut yang tak dimiliki oleh wilayah lain di Manggarai Barat selain Komodo, Rinca, Padar di Kecamatan Komodo, demikian kata Robby.
Hal inilah yang membuat sekelompok orang mulai mengganggu lahan gereja yang ada di wilayah pesisir tersebut.
Demi kepentingan apapun orang bisa menghalalkan banyak cara termasuk mensengketakan lahan-lahan yang sudah ada. Setiap orang harus tetap berupaya agar selalu menjaga kerukunan dan kedamaian.
Tindakan sekelompok orang tersebut dapat merusak kehidupan bersama.
Sebab, ada orang yang mencoba mengambil keuntungan dari sini. Maka, sangat penting untuk segera menyikapi hal ini agar persoalan tidak berimbas pada situasi sosial lainnya.
Oleh: Yohanes DB Wirawan, asal Bari. Saat ini tinggal di Labuan Bajo