Bajawa, Vox NTT- Jika Anda bertandang ke Ngada-Flores provinsi NTT, menyebut kata “Reba” sudah pasti tidak asing lagi bagi masyarakat di daerah itu.
Reba adalah warisan budaya non benda nasional yang dalam pelaksanaannya menggabungkan ritual budaya dan agama.
Sebelum upacara dihelat, sehari sebelum perayaan, akan dilaksanakan upacara pembukaan Reba (su`i uwi). Malamnya, warga melakukan acara makan dan minum bersama (ka maki Reba) sembari menunggu pagi. Dan pada saat pagi harinya, warga dijamu dengan disediakan makanan dan minuman (Ngeta kau bhagi ngia, mami utu mogo).
Sebelum upacara adat Reba, warga melakukan upacara “o uwi”. O uwi adalah kegiatan kesenian daerah berupa tari-tarian dan nyanyian yang kemudian digelar misa inkulturasi di gereja pimpinan pater atau romo. kegiatan ini sebagai sebuah bentuk perpaduan adat tradisional dengan agama Katolik. Upacara ini juga menyajikan koor nyanyian gereja dengan menggunakan bahasa lokal daerah Ngada.
Di luar gereja, peserta upacara dan penari akan disuguhi satu dua gelas arak, dimana masyarakat setempat menyebutnya dengan tua ara. Kegiatan adat Reba bukan sekadar pesta hura-hura, tetapi merupakan wujud kegembiraan masyarakat dengan tetap menjaga nuansa rohani.
Upacara adat Reba adalah salah satu bentuk rasa syukur masyarakat Ngada yang ditujukkan bagi leluhurnya. Ubi menjadi hidangan utama dalam upacara adat ini. Hal ini karena bagi masyarakat Ngada, ubi merupakan sumber makanan yang tidak akan habis disediakan oleh bumi manusia. Sehingga, dari sini diharapkan masyarakat Ngada tidak akan pernah mengalami rawan pangan.
Kata Reba jika dihubungkan dengan bahasa melayu memiliki makna “ribut”, dan ribut berarti angin topan. (Pewartanusantara.com).
“Sili Ana Wunga, da Nuka Pera Gua”. Demikian sepenggal kalimat sakral yang biasanya dikumandangkan dalam penyambutan pesta adat “Reba”. Jika diterjemahkan secara harafiah dapat diartikan “Sili sebagai yang pertama (Dibaca Sulung), yang datang dan menunjukkan atau meletakan dasar budaya Ngada termasuk Reba.
Reba wajib dilakukan setahun sekali di kampung halaman, sesuai kalender adat masing masing. Pesta adat ini masih hidup dan terus dilakukan sebagai ritual yang sudah mengalir dalam darah masyarakat Ngada. Biasanya dirayakan sejak akhir Desember sampai Februari bertepatan dengan musim hujan dan angin.
Tanggal penentuan Reba sendiri berdasarkan kalender adat yang disebut Paki sobhi (Tahun sisir) atas petunjuk seorang “Mori Kepo Wesu” (pemegang adat istiadat ) sebagai yang berwenang.
Reba sebagai momen untuk mengenang dan menghormati para leluhur. Secara istimewa, juga menjadi momen permenungan akan nilai mulia yang diwariskan para leluhur. Nilai mulia itu seperti nilai persatuan, gotong royong, dan bekerja tanpa lelah yang menjadi dasar pijak kehidupan manusia.
Budaya Tahun Baru tradisional asli Bajawa ini selain sebagai sarana pemersatu keluarga, suku dan lintas kampung, juga mampu menjaring wisatawan nusantara dan mancanegara.
Bukan hanya soal makan minum dan kegembiraan yang dihadirkan, namun dari Reba akan banyak hal menarik yang didapat di balik ritual ini. Itu seperti tari tarian, pakaian tradisional, berbagai macam bahasa adat atau pata dela dalam upacaranya, dan tahapan upacara Reba yang unik dan sakral.
Masyarakat Ngada pantas berbangga dengan ritual yang sudah mendunia ini. Kebanggaan masyarakat Bajawa akan Reba semakin memuncak saat ini, setelah akhirnya ia ditetapkan sebagai Warisan Budaya Non Benda Nasional, dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas nama Presiden Republik Indonesia.
Bukan tanpa sebab Ngada mesti berbangga. Penetapan ini bukan merupakan proses yang mudah.
Adalah Asri Moi seorang Arkeolog yang banyak berkontribusi menangani warisan budaya Ngada mengisahkan, perjuangan mendapatkan pengakuan dari pemerintah dimulai dari tahun 2015 saat bidang kebudayaan masih bernaung dinas PKPO.
Tidak hanya Reha yang diusulkan kepada kementrian untuk mendapat pengakuan secara resmi, namun juga budaya Ngada lainnya seperti Sagi, Parawitu, Tarian Ja’i, Kain tenun. Selain itu, salah satu upacara adat Sunat Tradisional di Soa yang hampir punah, dan saat ini hanya bisa dijumpai di area kampung Mengeruda.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menetapkan Reba sebagai warisan Budaya non benda Nasional.
Kriteria yang dinilai adalah budaya ini masih hidup, masih dilakukan oleh masyarakat, punya nilai kearifan dan mempengaruhi kehidupan banyak orang.
Selain itu, tim dari Bidang kebudayaan Kabupaten Ngada juga menyiapkan data dukung berupa dokumen, tulisan, visual merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi.
Kelengkapan ini selanjutnya dikirim ke provinsi, berlanjut ke Balai Pelestarian Budaya di Bali hingga akhirnya di tahun 2017 ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. SK sudah ada dan tinggal menunggu hari penerimaan.
Perjuangan untuk menetapan Reba sebagai warisan budaya tak benda Nasional, bukan tanpa tujuan. Ada misi besar yang jika tidak terlaksana, akan juga menjadi ancaman bagi keaslian dan kelestariannya.
Misi besar ini adalah upaya penyelamatan budaya Ngada. Menjadi kekhawatiran bersama bahwa tanpa penetapan dan regulasi, budaya lokal ini akan dianulir dan diklaim oleh orang, daerah atau negara lain.
Perjuangan untuk menjaga warisan leluhur berupa Reba ini, masih akan terus berlanjut dengan menaikan tingkatan dari warisan Nasional menuju Unesco sebagai warisan Budaya dunia melalui kementrian.
Dan ini menjadi catatan yang harus diwujudkan melalui pemerintah dengan dukungan semua pihak terutama pelaku budaya dari masyarakat lokal.
Tidak hanya itu, mengembalikan Reba kepada keaslian dan tujuan murninya juga menjadi tanggung jawab bersama.
Setidaknya kita tidak membiarkan arus modernisasi menggerus makna Reba yang semestinya dan warisan penting bagi generasi muda untuk dapat mengenal, mengalami dan merayakan sesuai Pata Dela (Petuah Leluhur ) dan Lese Dhe Peda Pawe ( Pesan Kebijaksanaan hidup). (Arkadius Togo/VoN)