Oleh: Tedy Ndarung
Mahasiswa STFK Ledalero semester IV
Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang selalu menang dalam nominasi provinsi termiskin di Indonesia. Di balik sebutan si miskin ini, NTT tetap cukup kaya dengan aset wisatanya.
Aset inilah yang membuat kemiskinan di NTT sedikit tertutup, karena para wisatawan selalu menggaungi kekayaan alam di NTT khususnya di Flores ke seluruh penjuru dunia.
Flores itu pulau kaya namun kenyataanya miskin, Flores itu pulau bunga, sungguh indah namun keadaan ekonomi masyarakatnya tak pernah merasa senang.
Inilah yang disebut sebagai ironi pariwisata. Sangat benar jika kita mengambil kesimpulan bahwa pariwisata di Flores belum mampu untuk hadir sebagai motor penggerak pembangunan di Flores. Misalnya, pengeluaran setiap tahun untuk biaya operasional Taman Nasional Komodo (TNK) mencapai 3,5 miliar, sedangkan pendapatan daerah dari TNK pada tahun 2011 mencapai 1,6 miliar dan 1,8 miliar rupiah pada tahun 2012.
Itu artinya biaya operasional TNK belum bisa dibayar dalam tempo dua tahun. Nah, bagaimana dengan Tour de Flores 2016, apakah biaya operasionalnya sudah terbayar sehingga kita cukup antusias untuk menggelarkannya lagi pada bulan Juli 2017 ini? Harus berpikir!
Masih jelas dalam benak saya tentang antusiasme dari Pemprov dan Pemda sedaratan Flores dalam menyambut tamu terhormat Tour de Flores 2016. \
Iya, antusias itu pasti, karena selain itu sebuah budaya yang tidak bisa dihilangkan namun juga sebagai manusia kita pasti bersyukur karena event internasional itu mempunyai misi yang sangat menggembirakan masyarakat.
Misinya bukanlah sebuah ajang untuk membuang waktu, menguras tenaga atau adu otot melainkan sebuah ajang untuk memperkenalkan Flores di mata dunia dan hal utama di dalamnya bukan sekedar promosi melainkan lebih dari itu yakni mampu mengubah nasib rakyat.
Rakyat sangat bahagia karena Penyelenggaraan TdF pertama itu bekeja sama antara pemerintah dengan PB.ISSI (Ikatan Sport Sepeda Indonesia) dan UCI (Union Cycliste Internationale), yang pasti tidak mungkin ada pemerintah yang menghianati rakyatnya sendiri.
TdF 2016 diperkirakan menelan biaya sekitar Rp. 16,5 miliar dari APBD pemerintah propinsi dan beberapa kabupaten di Flores. Dengan investasi yang besar ini, TdF diprediksi akan menghasilkan pendapatan sekitar Rp. 20,4 triliun dari para wisatawan yang berjumlah sekitar 2,1 juta orang (Indoprogress).
Lahirnya wacana TdF jilid dua 2017 yang digelar pada akhir bulan Juli 2017 ini menuai banyak kritikan dari kalangan masyarakat bahwa sepatutnya kita harus berkaca pada pengalaman. Karena rakyat merasa bahwa TdF 2016 tidak ada dampaknya bagi mereka, di balik nama besar TdF yang menggaungi dunia ternyata rakyat Flores hanya menikmati satu detik saja, yaitu pada saat para pembalap melintasi rumah-rumah warga.
Selain itu tidak ada dampaknya bagi rakyat. Namun biaya operasional TdF 2016 setiap kabupaten di Flores dibebani sebesar 1,3 miliar dan 3 miliar dari provinsi. Boleh saja TdF 2017 dibuat asalkan para pemerintah mampu meyakinkan rakyat tentang keunggulan TdF dengan mengevaluasi dampak dari TdF jilid satu (2016).
Apakah TdF 2016 mampu memberikan keuntungan selama satu tahun setelah kegiatan tersebut berakhir atau tidak. Artinya pendapatan dari bidang kepariwisataan setelah TdF 2016 kemarin harus mampu mengimbangi biaya operasionalnya.
Nah, jika hasil kalkulasi jauh di bawah target atau tidak mengimbangi biaya operasional, maka kita dengan tegas untuk menolak TdF jilid dua 2017. Kita harus membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk mengembalikan biaya operasional TdF 2016 setelah itu baru dibuat lagi.
Jangan sampai kita bersusah payah mencari uang miliaran dalam satu tahun hanya untuk mengindahkan event internasional yang dampaknya hanya untuk para birokat, politisi, dan investor.
Jika wacana TdF akan diselenggarakan setiap tahun, maka di sini sudah jelas terjadinya kegiatan pemerasan terang-terangan secara rutin yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat. Alasannya, kita belum mengetahui dampak dari TdF pertama lanjut lagi ke TdF kedua, begitu pun TdF ketiga dan seterusnya.
Sangat disayangkan jika uang miliaran itu dibuang begitu saja tanpa ada efek positifnya untuk rakyat. Kualitas kegunaannya lebih tinggi jika uang miliar itu kita gunakan ke hal lain seperti: pertama, membangun fasilitas pendidikan. Contohnya: bangunan SDK Rangang yang termakan usia namun tidak ada pihak yang memperhatikan (VoxNtt). Baca:SDK Rangang Nasibmu Kini
Faktor utama terjadinya kemiskinan di provinsi NTT adalah sumber daya manusia (SDM) yang masih minim. Oleh karena itu, memperbaiki SDM adalah pintu bagi kita agar bisa keluar dari kemiskinan bukan dengan event internasional.
Kedua, kesehatan masyarakat. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap kesehatan masyarakat dan memberikan fasilitas yang memadai, jangan sampai kita berpesta pora di atas penderitaan rakyat, contohnya: demonstrasi menjelang TdF berlangsung, tentang “perlu adanya dokter kandungan di kabupaten Sikka” yang dilakukan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Baca:Mahasiswa Sikka Kecam Rencana Pemda Gelontorkan Rp 1,1 M untuk TdF 2017
Sudah jelas kiranya kita harus menolak tour de Flores digelar setiap tahun, apalagi tentang wacana TdF jilid dua pada akhir bulan Juli 2017.
Kita harus berpikir secara kritis tentang diri dan keberlangsungan hidup kita di Flores. TdF adalah ajang memeras uang rakyat. Kita harus menolaknya!.***